Oleh: Nurhalisa.S
(Aktivis Muslimah Universitas Mulawarman)
Ironi tengah terjadi dalam distribusi dan kestabilan harga beras nasional. Meskipun ketersediaan beras saat ini sangat melimpah, harga beras justru mengalami kenaikan di berbagai daerah. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), tercatat sebanyak 133 kabupaten/kota mengalami kenaikan harga beras pada pekan kedua Juni 2025, meningkat dari 119 daerah pada minggu sebelumnya (Bisnis.com, edisi 16 & 17 Juni 2025).
Sementara itu, Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC) melaporkan ketersediaan beras mencapai sekitar 49.960 ton. Di sisi lain stok yang tersimpan di gudang Bulog, baik dalam bentuk gabah maupun beras berjumlah antara 4,1 hingga 4,2 juta ton yang merupakan rekor tertinggi sepanjang sejarah (Bisnis.com, 17 Juni 2025).
Namun, meskipun pasokan sangat besar, harga beras jenis medium dan premium tetap melampaui Harga Eceran Tertinggi (HET) di berbagai wilayah. Bahkan, di beberapa daerah Papua, harga beras dilaporkan mencapai Rp54.772 per kilogramnya.
Menanggapi hal ini, Guru Besar UGM Prof. Lilik Sutiarso, menyatakan bahwa situasi tersebut tidak sesuai dengan logika ekonomi, sebab biasanya harga akan turun ketika pasokan melimpah (Beritasatu.com, 24 Juni 2025).
Hal serupa disampaikan oleh Khudori dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), yang menilai bahwa kebijakan menumpuk beras di gudang tanpa distribusi yang efektif justru memperparah ketidakstabilan harga di lapangan (Bisnis.com, 17 Juni 2025).
Kebijakan pemerintah yang mewajibkan Bulog menyerap gabah petani dalam jumlah besar, pada dasarnya bertujuan untuk melindungi harga di tingkat produsen. Namun dalam praktiknya, hal ini justru menciptakan penumpukan stok yang berlebihan di gudang Bulog.
Akibat distribusi yang tidak berjalan secara efektif, suplai beras ke pasar terganggu, sehingga terjadi kelangkaan akibat hambatan distribusi yang menyebabkan harga naik. Kondisi ini menunjukkan adanya kegagalan dalam manajemen rantai pasok dan pengendalian distribusi.
Fenomena semacam ini merupakan gambaran nyata dari karakter sistem pengelolaan pangan dalam kerangka kapitalisme, di mana negara lebih berfungsi sebagai pengatur pasar daripada penjamin kebutuhan dasar rakyat.
Dalam sistem ini, kebijakan publik kerap kali tidak dirancang untuk melayani kepentingan masyarakat luas, melainkan lebih sering mengikuti logika untung rugi dan tunduk pada kepentingan segelintir elite ekonomi.
Dalam sistem kapitalisme, pangan tidak dianggap sebagai kebutuhan dasar yang harus dijamin oleh negara. Sebaliknya, pangan dipandang sebagai barang dagangan yang bisa dijual untuk meraih keuntungan. Negara hanya berperan sebagai pengatur, bukan sebagai pelindung rakyat. Akibatnya, nasib rakyat terutama yang miskin sangat bergantung pada naikturunnya harga di pasar.
Ketika harga pangan naik, orang miskin menjadi korban karena penghasilannya tidak cukup untuk membeli makanan pokok. Sementara itu, negara seringkali tidak banyak membantu. Kebijakan pemerintah cenderung berpihak pada kepentingan pemilik modal, misalnya dengan memberi kemudahan impor, mencabut subsidi, serta membiarkan harga kebutuhan pokok ditentukan pasar tanpa adanya kendali. Akibatnya, para petani merugi dan rakyat kesulitan mendapatkan makanan yang cukup dan sehat.
Dalam kondisi seperti ini, rakyat miskin terpaksa mengurangi porsi makan, membeli bahan makanan yang lebih murah dan kurang bergizi, atau bahkan berutang untuk makan. Hal ini bisa menyebabkan masalah kesehatan seperti kurang gizi atau stunting. Semua ini menunjukkan bahwa sistem kapitalisme tidak memprioritaskan kebutuhan rakyat kecil. Yang diutamakan justru keuntungan bagi segelintir orang yang punya modal besar. Sebaliknya, sistem dalam pemerintahan Islam menawarkan solusi yang bersifat sistemik dan menyeluruh.
Solusi Islam
Dalam sistem pemerintahan Islam yang menerapkan syariat secara menyeluruh, negara memiliki tanggung jawab penuh untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok rakyat, termasuk dalam hal pangan. Negara tidak memperlakukan pangan sebagai komoditas dagang semata yang dikuasai oleh mekanisme pasar, tetapi sebagai kebutuhan dasar yang wajib dipenuhi secara adil dan merata.
Oleh karena itu, negara akan mengelola produksi, distribusi, hingga cadangan pangan secara langsung. Dukungan terhadap sektor pertanian pun diberikan secara optimal, seperti penyediaan bibit, pupuk, dan sarana produksi pertanian (saprotan) secara cuma-cuma kepada para petani. Tujuannya adalah agar hasil pertanian mencukupi kebutuhan masyarakat, berkualitas, dan terdistribusi dengan baik.
Negara juga akan melarang praktik penimbunan barang (ihtikar) yang dapat menyebabkan kelangkaan dan lonjakan harga. Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:
"Barang siapa melakukan penimbunan terhadap makanan kaum Muslimin, maka Allah akan menimpanya dengan penyakit kusta dan kebangkrutan." (HR. Ahmad dan Hakim)
Dalam pengaturan harga, negara tidak menetapkan harga secara paksa. Sebab, syariat Islam telah memberikan batasan bahwa harga hendaknya terbentuk secara alami melalui mekanisme pasar yang sehat. Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda ketika diminta menetapkan harga:
"Sesungguhnya Allahlah yang menetapkan harga, yang menahan dan melapangkan, serta yang memberi rezeki" (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)
Dengan prinsip ini, negara hanya akan memastikan pasar berjalan dengan jujur dan bebas dari manipulasi, bukan melakukan intervensi harga secara langsung. Maka, selama sistem pengelolaan pangan masih berpijak pada logika kapitalisme, krisis semacam ini akan terus berulang. Sudah saatnya umat kembali kepada sistem Islam yang menjadikan negara sebagai pelindung rakyat, bukan hanya penonton di tengah permainan pasar.
Wallahu a'lam bish shawab