Kolusi Korupsi Keniscayaaan dalam Sistem Demokrasi


author photo

26 Jun 2025 - 14.21 WIB



Oleh: Sherlina Sukma

Kasus kolusi korupsi di Indonesia kian hari semakin marak terjadi, banyak kasus korupsi yang terjadi mulai dari kalangan masyarakat biasa, pegawai negeri sipil, pejabat daerah hingaa pejabat tinggi negara. Kondisi ini menunjukkan bahwa korupsi telah mengakar dalam berbagai lapisan kehidupan dan menjadi ancaman yang serius bagi masa depan bangsa. Salah satu fakta kolusi kosupsi hari ini yaitu Kejagung yang menyita Rp11,8 T dari Wilmar Group terkait Korupsi CPO. Terdapat lima perusahaan di bawah Wilmar Group yang termasuk dalam kasus Wilmar Group tersebut. Dalam kasus tersebut tiga terdakwa korporasi ekspor CPO masih belum ada keputusan final dari mahkamah Agung sehingga kasusnya belum dinyatakan inkrah atau berkekuatan hukum.

Presiden Prabowo Subianto sendiri mengatakan bahwa ada bahaya besar yang mengintai Indonesia sebagai negara berkembang, yaitu state capture. State capture merupakan korupsi sistematik yang terjadi ketika kepentingan swasta memengaruhi pembuatan kebijakan untuk keutungan swasta memengaruhi pembuatan kebijakan dan keuntungan bagi mereka sendiri. State capture diantaranya yakni kolusi antara kapital besar dan pejabat pemerintahan serta elite politik.  

State capture sejatinya adalah keniscayaan dalam sistem politik Demokrasi kapitalisme sekuler yang diterapkan hari ini. Akibatnya dunia menjadi tujuan bahkan dengan menghalalkan segala cara. Selain itu, sistem ini juga meniscayakan terjadinya politik transaksional karena penguasa membutuhkan banyak modal untuk maju dalam kontestasi sehingga membutuhkan kucuran dana dari pengusaha. Pengusaha akan menuntut balas budi dalam bentuk kebijakan penguasa yang terpilih dengan bantuan pengusaha tersebut. Tidak heran jika pejabat saat ini banyak melakukan kedzaliman karena mereka hanya mencari keuntungan pribadi dengan jabatan yang dimilikinya.

Selain itu, hukum bagi para koruptor yang cenderung lemah, yaitu hanya berupa hukuman penjara dan denda. Hal tersebut menjadikan calon para korputor tidak takut terhadap sanksi dan denda yang diberikan karena tidak membuat jera serta takut untuk melakukan perbuatan kotor tersebut. Mereka menganggap risiko tertangkap tidak sebanding dengan keuntungan besar yang bisa diperoleh dari korupsi. Apalagi, jika dibandingkan dengan lemahnya penegakan hukum dan masih banyaknya celah hukum yang bisa dimanfaatkan untuk menghindari hukuman maksimal.

Sistem politik demokrasi kapitalisme sekuler akhirnya menjadikan yang kaya makin kaya dan hanya segelintir orang saja yang memiliki kehidupan yang sejahtera. Sistem ini menjadikan peluang besar bagi kelompok elite untuk menguasai sumber daya yang ada. Ditambah dengan kehidupan sekeluer yang memisahkan antara agama dan kehidupan. Akibatnya dalam berkehidupan dan dalam mengambil keputusan-keputusan negara yang penting, tidak mempertimbangkan nilai-nilai agama, padahal sejatinya agama dan kehidupan adalah satu.

Islam menjadikan akidah islam sebagai asas kehidupan setiap individu bukan hanya dalam aspek kehidupan, tetapi termasuk juga menjadi asas negara. Hal ini akan menjadikan setiap individu berbuat jujur dan tidak menjadikan jabatan sebagai sarana untuk memperkaya diri sendiri dengan perbuatan yang curang. Karena akidah islam menanamkan keyakinan bahwa segala perbuatan manusia akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. 

Islam memandang jabatan adalah amanah dan dijalankan sesuai dengan tuntunan hukum syara. Oleh karena itu, sistem pemerintahan dalam Islam dibangun atas dasar ketakwaan, keadilan, dan pengawasan terhadap hukum syara. Islam juga memiliki mekanisme untuk menjaga integritas setiap individu rakyat maupun pejabat termasuk sistem sanksi yang tegas dan menjerakan, sehingga korupsi akan dapat dicegah dalam negara yang menjalankan aturan islam secara kaffah.
Bagikan:
KOMENTAR