Makanan Haram Bikin Seram


author photo

28 Jun 2025 - 15.19 WIB



Oleh: Mutiara Putri Wardana

Dinas Perindustrian Perdagangan dan Usaha Kecil Menengah (Disperindagkop UKM) Paser menemukan 9 merek jajanan marsmellow mengandung babi (porcine). Hal ini ditemukan saat melakukan pengawasan di sejumlah ritel modern toko tradisional. 

Kepala Disperindagkop UKM Paser, Yusuf mengatakan pengawasan dilakukan menindaklanjuti surat edaran dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kalimantan Timur (Kaltim). Terkait temuan 9 produk jajanan bersertifikasi halal yang mengandung unsur babi. (https://nomorsatukaltim.disway.id/read/57516/disperindagkop-paser-temukan-9-merek-jajanan-marsmallow-mengandung-babi)

Beredarnya produk makanan haram bersertifikasi halal, seperti yang mengandung babi, hanyalah salah satu dari banyak dampak negatif sistem ekonomi sekuler kapitalisme yang diterapkan di negeri-negeri berpenduduk mayoritas Muslim. Masalah ini bukan sekadar persoalan teknis pengawasan atau lemahnya sertifikasi halal, tetapi merupakan cerminan dari kerusakan sistemik dalam paradigma ekonomi yang dianut.

Dalam sistem ini, aktivitas bisnis tidak didasari pada pertimbangan halal dan haram, melainkan semata-mata pada asas keuntungan maksimal. Akibatnya, prinsip-prinsip syariah sering kali diabaikan.

Ketika umat Islam diwajibkan menjaga konsumsi dari yang haram, justru sistem yang mengatur kehidupan tidak mendukung pemenuhan kewajiban tersebut. Negara seolah-olah netral dalam urusan agama, padahal netralitas dalam konteks ini justru membuka peluang lebar bagi masuknya produk dan praktik bisnis yang bertentangan dengan syariah.

Fenomena ini sangat memprihatinkan, terutama bagi Indonesia yang dikenal sebagai negeri dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia. Seharusnya, Indonesia menjadi contoh dalam menerapkan sistem halal yang menyeluruh dan berintegritas. Namun, fakta di lapangan masih menunjukkan adanya celah besar dalam sistem pengawasan dan implementasi jaminan halal.

Masalah kehalalan bukan hanya soal pengawasan administratif atau prosedural, melainkan soal sistem dan paradigma yang mendasari seluruh aktivitas ekonomi. Selama sistem yang berlaku masih sekuler dan kapitalistik yang hanya berorientasi pada keuntungan semata maka halal-haram akan terus terpinggirkan.

Oleh karena itu, solusi atas persoalan ini tidak cukup bersifat parsial atau teknis. Solusinya harus bersifat sistemik. Artinya, dibutuhkan perubahan menyeluruh pada sistem ekonomi, hukum, dan pengawasan, agar semua aspek kehidupan umat selaras dengan nilai-nilai syariat Islam. Pendidikan halal harus diperkuat, kesadaran masyarakat harus dibangun, dan negara harus hadir secara tegas untuk menegakkan aturan berbasis akidah Islam, bukan sekadar regulasi pasar.

Menghindari makanan haram bagi seorang Muslim bukan sekadar pilihan, tetapi merupakan bentuk nyata dari keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT. Allah telah memerintahkan umat-Nya untuk hanya mengonsumsi makanan yang halal dan thayyib (baik), serta menjauhi yang haram karena dampaknya tidak hanya merusak fisik, tetapi juga hati dan ruhani. 

Seperti halnya firman Allah Swt., "Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah dari rezeki yang baik yang Kami berikan kepada kalian, dan bersyukurlah kepada Allah jika kalian benar-benar hanya menyembah kepada Nya." (QS. Al-Baqarah: 172)

"Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi, dan hewan yang disembelih bukan atas nama Allah..." (QS. Al-Baqarah: 173)

Bagi masyarakat Muslim yang bertakwa, tanggung jawab menjauhi makanan haram tidak berhenti pada individu. Masyarakat secara kolektif wajib bersinergi dalam mencegah peredaran produk makanan haram, dengan menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, memberikan edukasi, dan mendesak penguasa untuk bertindak sesuai syariah.

Dalam Islam, negara (dalam bentuk kepemimpinan yang menegakkan syariat) memiliki peran sentral sebagai pelindung umat dari hal-hal yang membahayakan agama dan kehidupan mereka. Negara tidak bersikap netral dalam urusan halal-haram, melainkan menjadi institusi pelindung pertama dan paling utama.

Rasulullah Saw. bersabda, "Imam (pemimpin negara) adalah laksana perisai; orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya."
(HR. Bukhari dan Muslim)

Di dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah), produk makanan yang diimpor ke wilayah Khilafah akan disaring dan diperiksa kehalalannya sebelum masuk pasar. Khilafah tidak akan menjalin kerjasama dagang yang memungkinkan peredaran makanan haram di wilayahnya.

Salah satu contoh pada masa khalifah dari Bani Umayyah yang terkenal adil dan zuhud yakni Umar bin Abdul Aziz, beliau memastikan barang halal dan menghentikan kecurangan. Umar bin Abdul Aziz memerintahkan pegawainya untuk menyelidiki asal-usul makanan yang dipasarkan. Ia melarang masuknya produk dari luar negeri jika tidak ada jaminan kehalalan. Ia juga mencopot pejabat yang terbukti membiarkan kecurangan dalam perdagangan atau makanan.

Rasulullah Saw. dan para khalifah dahulu tidak hanya mendorong individu untuk berhati-hati terhadap makanan haram, tetapi menjadikan kehalalan sebagai tanggung jawab negara. Melalui pengawasan pasar, pendidikan masyarakat, dan penegakan hukum, negara Islam memastikan tidak ada celah bagi masuknya produk haram ke dalam kehidupan umat.

Ini menjadi bukti bahwa jaminan halal dalam Islam bersifat menyeluruh mulai dari individu, masyarakat, hingga negara sebagai perisainya. Wallahu a’lam bishawab
Bagikan:
KOMENTAR