Oplos Beras Lagi, Rakyat Terus Merugi


author photo

19 Jul 2025 - 10.14 WIB



Oleh: Fatimah Nafis

Kabar beras oplosan telah meramaikan portal berita sepekan ini. Hasil investigasi Kementerian Pertanian (kementan) bersama Satgas Pangan ditemukan sekitar 212 merk beras yang dioplos dan tidak memenuhi standar kualitas dari sisi berat, komposisi dan label mutu. Beras yang tercatat dengan berat 5 kg ternyata hanya berisi 4,5 kg, demikian pula yang disebutkan beras premium nyatanya hanya beras biasa. Parahnya, menurut Menteri Pertanian, Andi Amran, beras-beras oplosan tersebut sudah beredar di pasaran dan sudah terpajang di rak-rak supermarket. Menurutnya pula, kerugian yang dialami negara karena kasus oplosan beras ini mencapai hampir Rp 100 triliun per tahun. (Kompas.com, 17/07/2025)

Kini, kasus tersebut telah diserahkan kepada Kapolri, Satgas Pangan dan Jaksa Agung untuk segera diproses. Mengapa hal ini bisa terus terjadi? Begitu mudahnya para pengusaha tersebut mengelabui para petugas dan lembaga yang diamanahi mengontrol produksi dan distribusi pangan. Akhirnya rakyat lagi yang dikorbankan, mereka keluarkan biaya untuk membeli beras demi mempertahankan hidup nyatanya masih saja terus ditipu dan dibuat rugi.

Menyikapi hal ini, negara seharusnya sigap memberikan sanksi tegas terhadap pelaku penipuan dalam semua sektor kehidupan rakyat. Kasus beras oplosan bukanlah kasus baru, setiap tahun terus terjadi penipuan seperti ini baik dari sisi kuantitas maupun kualitas. Semua terjadi seolah tak bisa diakhiri, dari hulu ke hilir kasusnya terus bergulir. Rakyat jadi mempertanyakan ke mana negara saat rakyat dirugikan? Bukankah mereka yang diserahi amanah mengurus rakyat tidaklah sedikit jumlahnya? Sampai kapan rakyat akan terus dirugikan?

Sungguh nyata kecurangan dalam sistem yang diterapkan saat ini, yakni sistem kapitalisme, yang menjadikan para pemilik modal berkuasa mengatur serta mempermainkan harga dan jenis barang produksi bagi konsumen. Sistem yang menormalisasikan kecurangan dan penipuan demi keuntungan. Dalam sistem ini pula, nyali para pemimpin dalam negara tidak terwujud dalam bentuk ketegasan menghadirkan sanksi yang menjerakan bagi para pelaku kecurangan. Jikapun diberlakukan sanksi, hanyalah sekedar peringatan dan evaluasi perbaikan regulasi. Negara tidak lagi punya nyali di hadapan korporasi. Begitulah pola yang terus diterapkan dalam sistem yang memisahkan agama dari kehidupan. Tak ada lagi rasa malu dan takut ketika melakukan pelanggaran hukum dan syariat. Sistem ini telah gagal membentuk individu yang bertakwa. 

Berbeda dengan sistem Islam, pemimpin di dalam Islam adalah pihak yang diberikan amanah untuk menjaga dan memelihara segala kebutuhan rakyat. Mereka akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Kewajiban negara di dalam Islam terkait pangan adalah memastikan ketersediaan pangan dan mengatur regulasinya dari mulai produksi hingga distribusi. Negara menjamin kemudahan bagi para petani mendapatkan tanah, benih dan pupuk berkualitas serta alat produksi yang dibutuhkan.

Haram hukumnya semua unsur tersebut dikuasai atau diserahkan kepada pihak asing. Negara juga memastikan proses distribusi pangan berjalan secara adil, jujur dan berkelanjutan. Siapapun yang melanggar aturan ini akan ditindak tegas oleh negara. Begitulah aturan yang diberlakukan oleh negara islam yang disebut khilafah. Hanya dalam khilafah lah segala kebutuhan rakyat dapat dipenuhi secara adil dan merata dan segala bentuk kecurangan dapat ditindak tegas sesuai syariat.
Bagikan:
KOMENTAR
 
Copyright @ 2014-2019 - Radar Informasi Indonesia, PT