Oleh: Syahida Adha
Pemerintah melalui Kementerian Sosial menggulirkan program nasional bertajuk Sekolah Rakyat sebagai solusi pendidikan bagi keluarga miskin. Di Kalimantan Timur, dari lima usulan daerah, baru Samarinda yang siap secara teknis untuk mulai membangun sekolah ini. Sementara daerah lain seperti Berau, PPU, dan Kukar masih terbentur soal lahan.
Pogram Sekolah Rakyat diharapkan bisa menjadi “jalan keluar” dari jerat kemiskinan antargenerasi. Namun, apakah benar Sekolah Rakyat dapat memutus rantai kemiskinan? Ataukah justru mempertegas dikotomi antara si miskin dan si kaya dalam layanan pendidikan?
Jika kita telisik lebih dalam, Sekolah Rakyat lahir dari kesadaran bahwa masih banyak anak-anak dari keluarga miskin yang tidak terlayani pendidikan dengan layak. Maka dibangunlah sekolah khusus berasrama, gratis, dan dibiayai penuh oleh negara.
Sayangnya, pendekatan tersebut tidak menyentuh akar persoalan. Alih-alih memperbaiki sistem pendidikan secara menyeluruh, negara justru membuka sekolah baru yang menyasar kelompok “miskin”. Bukankah ini justru mempertegas segregasi sosial?
Pendidikan seharusnya menjadi layanan publik yang setara, tanpa label miskin atau kaya. Mengapa anak-anak dari keluarga kurang mampu harus disekolahkan secara terpisah? Sebagaimana dikritik oleh tokoh pendidikan Anies Baswedan dalam kesempatan berbeda, “Ketika sekolah dibedakan berdasarkan ekonomi orang tua, maka output-nya pun berpotensi berbeda. Padahal negara seharusnya menjamin kesetaraan layanan pendidikan bagi semua warga negara.”
Program ini juga rawan menimbulkan anggapan bahwa kualitas pendidikan “biasa” tidak lagi cukup mengangkat si miskin dari keterpurukan, hingga harus dicarikan jalur alternatif. Lalu, bagaimana dengan sekolah-sekolah umum lainnya? Apakah tidak lebih strategis membenahi sekolah-sekolah yang sudah ada dengan peningkatan fasilitas, SDM, dan pembiayaan gratis?
Narasi bahwa pendidikan adalah satu-satunya jalan keluar dari kemiskinan adalah narasi khas kapitalisme. Dalam sistem ini, pendidikan bukan diposisikan sebagai hak dasar rakyat, tetapi sebagai alat mobilitas sosial yang tidak semua orang bisa capai secara merata. Padahal, akar kemiskinan bukan hanya pada aspek keterampilan atau kognitif, tapi lebih dalam lagi, yakni sistem ekonomi yang timpang, monopoli kekayaan oleh segelintir elite, dan negara yang abai dalam distribusi kekayaan dan akses publik.
Selama sistem yang mengatur ekonomi dan kesejahteraan rakyat masih kapitalistik, di mana layanan dasar bergantung pada daya beli dan kekuasaan oligarki maka Sekolah Rakyat hanya menjadi solusi tambal sulam yang tidak menyentuh akar permasalahan. Berbeda dengan sistem hari ini, Islam kaffah memandang pendidikan sebagai hak komunal (al-haqqul 'am), bukan komoditas atau sarana elitisme.
Negara dalam Islam diwajibkan memenuhi kebutuhan pendidikan rakyat tanpa memandang status ekonomi. Dalam sejarah peradaban Islam, kita menyaksikan kemegahan sistem pendidikan yang dibangun oleh negara. Baitul Hikmah di Baghdad, Madrasah Nizamiyah di Nishapur, hingga universitas Al-Azhar, menjadi bukti bahwa Islam mampu menciptakan generasi intelektual yang unggul bahkan sebelum dunia barat mengenal konsep universitas.
Semua layanan pendidikan dalam Khilafah Islam diberikan gratis, dari tingkat dasar hingga pendidikan tinggi. Negara memfasilitasi guru terbaik, menyediakan buku, bahkan beasiswa dan kebutuhan hidup bagi siswa yang tidak mampu. Semuanya tanpa segregasi “sekolah rakyat” atau “sekolah elit”.
Lebih dari itu, sistem pendidikan dalam Islam dibangun di atas asas akidah Islam, bukan sekadar mencetak tenaga kerja, tetapi membentuk manusia bertakwa dan berilmu yang mampu membangun peradaban gemilang. Sekolah Rakyat memang terlihat baik, namun hanya menambal lubang dalam sistem pendidikan yang cacat. Jika akar sistem kapitalistik yang melahirkan ketimpangan tidak diubah, maka program semacam ini hanya menjadi pemanis sesaat.
Islam kaffah menawarkan solusi sistemik, yakni pendidikan berkualitas, gratis, merata, dan terintegrasi dengan sistem ekonomi dan sosial yang adil. Maka untuk benar-benar memutus rantai kemiskinan, bukan Sekolah Rakyat yang dibutuhkan, tapi perubahan sistem menuju penerapan Islam kaffah secara menyeluruh.