Oleh Nurjaya, S.PdI
Pada bulan juni pekan kedua lalu lebih dari 130 kabupaten atau kota mengalami kenaikan harga beras. Harga beras melampaui HET (Harga Eceran Tertinggi) sehingga memberatkan masyarakat kecil. Padahal sebelumnya menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada pekan pertama Juni 2025 lalu hanya terdapat 119 kabupaten atau kota yang mengalami kenaikan harga beras. Dan mirisnya lagi, menurut Pengamat Pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori hal tersebut sudah terjadi berbulan-bulan lamanya harga beras medium di atas harga eceran tertinggi (HET) secara nasional. Begitu pula dengan beras premium.
Data per Selasa, 08 Juli 2025, Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional mencatat rata-rata harga beras (per kg) harian di pasar modern di beberapa provinsi telah menyentuh angka Rp.15,91 ribu per kg. Dan Sumatera Barat menjadi yang termahal se-Indonesia dengan harga jual Rp.18.950 per kg. Kemudian disusul oleh Kalimantan Utara, harga beras dijual seharga Rp.17.300 per kg dan urutan ketiga Maluku seharga Rp.17.300 per kg, Papua Barat Rp.17.250 per kg, dan Sulawesi Utara Rp.16.850 per kg.
Menurut pengamat Pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori kenaikan harga beras ini terjadi salah satunya lantaran sebagian besar gabah/beras diserap oleh Bulog dan menumpuk di gudang Bulog.
Kebijakan yang mewajibkan Bulog menyerap gabah petani dalam jumlah besar ini lah yang justru menciptakan penumpukan stok di gudang. Artinya kenaikan ini bukan karena kurangnya ketersediaan beras tapi karena buruknya distribusi. Akibatnya, suplai beras ke pasar terganggu dan menyebabkan harga naik.
Kesalahan kapitalisme dalam memandang inti persoalan ekonomi bahwa kebutuhan manusia tidak terbatas sehingga untuk memenuhinya harus dengan dilakukannya produksi yang terus menerus. Menurutnya dengan adanya barang yang sudah diprodukdi dan sudah ditetapkannya harga ecer tertinggi maka kelangkaan itu tidak akan ada sehingga kenaikan harga itu tidak akan terjadi. Kapitalisme lupa tentang pentingnya distribusi. Dan ini yang terjadi pada beras yang menumpuk di bulog sementara permintaan masyarakat dipasar tidak mencukupi, akhirnya kondisi ini dimanfaatkan oleh segelintir orang untuk mengendalikan harga dan pasar.
Inilah ciri pengelolaan pangan dalam sistem kapitalisme yaitu tidak pro terhadap rakyat, tetapi tunduk pada mekanisme pasar dan kepentingan elite.
Dalam kapitalisme, pangan bukanlah hak dasar rakyat yang wajib dijamin oleh negara, melainkan komoditas yang bisa diperdagangkan demi keuntungan. Negara hanya bertindak sebagai regulator, bukan pelindung atau penjamin distribusi yang adil. Alhasil, rakyat miskin menjadi korban fluktuasi harga.
Dalam Islam, negara wajib menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok rakyat, termasuk kebutuhan akan pangan. Negara akan mengelola produksi, distribusi, dan cadangan pangan secara langsung, tanpa menjadikannya komoditas dagang. Negara akan memberi subsidi bibit, bubuk, maupun memberikan saprotan kepada petani secara cuma-cuma untuk menjamin kualitas beras yang dihasilkan. Negara juga melarang penimbunan dan memastikan distribusi merata, sehingga harga stabil dan rakyat terjamin kebutuhan pangannya terpenuhi.
Negara akan memastikan harga barang-barang yang tersedia di masyarakat mengikuti mekanisme pasar, bukan dengan mematok harga dengan harga ecer tertinggi. Pemastian ini pun merupakan ketundukan pada syariat Islam yang melarang adanya intervensi harga oleh negara. Maka, solusi hakiki bukan tambal sulam regulasi tapi solusinya adalah perubahan sistem.