Dalam teori demokrasi menyatakan suara rakyat adalah suara tuhan. Namun faktanya tidaklah demikian. Indonesia yang katanya negara demokratis, justru menggunakan berbagai macam cara untuk membungkam suara rakyat untuk berani menyampaikan aspirasinya melalui “tangan besi”. Akhir-akhir ini kita banyak menyaksikan berbagai peristiwa yang mengecewakan hati rakyat atas sikap dan perilaku para wakil rakyat, yang berbuat seenaknya dan zalim kepada rakyat.
Hal ini memunculkan rasa geram, marah dan kebencian menyeruak di hati rakyat, membuat rakyat melakukan perlawan dengan melakukan demonstrasi. Aksi demonstrasi yang digelar sekelompok mahasiswa di Balai Kota Bogor berakhir ricuh dan aksi vandalisme pun tak bisa terelakkan. Unjuk rasa ini dilakukan untuk menuntut agar RSUD Kota Bogor menyelesaikan hutang dan meningkatkan pelayanan. Massa juga menuntut agar ada pihak yang bertanggung jawab atas kematian petugas DLH di TPS Galuga beberapa waktu lalu (detiknews, 22/08/2025)
Sangat disayangkan dalam aksi unjuk rasa ini, justru media menyoroti aksi vandalisme bukan tuntutan yang disampaikan oleh sekelompok mahasiswa. Seharusnya media yang memiliki peran penting untuk memberikan informasi dan berita sesuai fakta yang terjadi, bukan malah sebaliknya. Tidak dipungkiri, terkadang terjadi pergeseran peran media dalam menyajikan berita atau peristiwa yang tengah terjadi. Sehingga masyarakat salah menafsirkan kejadian atau peristiwa yang terjadi yang bertolak belakang dengan fakta yang terjadi.
Hal ini biasa terjadi dalam sistem kapitalis demokrasi yang menghalalkan segala cara untuk memuluskan kepentingan sekelompok orang. Peran media dimanipulasi untuk memuluskan berbagai kepentingan para pemangku kekuasaan. Pada akhirnya, jika masyarakat tidak jeli dan peka membaca dan melihat berita, maka akan mudah sekali terprovokasi oleh berita yang tidak valid. Namun, juga masih ada awak media yang masih memegang tinggi kode etik jurnalis mereka, dengan menuliskan berita sesuai dengan fakta yang terjadi/valid. Walaupun begitu besar kosekuensi yang harus ditanggungnya dan tak jarang nyawa menjadi taruhannya.
Urgensi media pun hilang tak berbekas, karena mereka hanya dijadikan alat oleh penguasa dan kroninya. Aktifitas amar makruf yang menjadi bagian dari peran media pun seketika luntur dan berubah menjadi corongnya penguasa yang selalu menyalahkan rakyat yang berbuat anarkis tatkala aksi unjuk rasa terjadi. Karena penguasa dalam sistem kapitalisme merupakan penguasa anti kritik, sehingga senantiasa membungkam aspirasi dan unjuk rasa yang di lakukan oleh rakyat.
Fakta di atas membuktikan suara demkorasi telah tercederai. Dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat hanyalah slogan tanpa ada realisasinya. Nyatanya, yang boleh berbicara menyampaikan aspirasinya hanyalah para pemangku kekuasaan dan kroninya. Mereka telah mewakili rakyat, tetapi bukan untuk memperjuangkan kepentingan rakyat melainkan kepentingan mereka dan golongannya.
Berbeda halnya dengan sistem yang menjadikan kepentingan rakyat sebagai prioritas utama untuk dilayani dan dipenuhi semua kebutuhannya. Adalah sistem yang menerapkan Islam diseluruh lini kehidupan masyarakat dan sekaligus menjadikannya sebagai problem solving atas setiap persoalan kehidupan. Hubungan negara dan rakyat seperti layaknya hubungan anak dan ibu, yang senantiasa dijaga, dilindungi, didengarkan keluh kesah anaknya dan memastikan anaknya bahagia serta tak merasakan kekurangan apa pun jua. Siapa pun rakyatnya yang ingin menyampaikan pendapat, aspirasi, kritik dan lain sebagainya, diberi keleluasaan untuk menyampaikan, karena hal tersebut merupakan hak rakyat.
Tidak ada hak bagi negara membungkam rakyat yang ingin menyampaikan aspirasi dan pendapatnya, bahkan rakyat boleh memberikan kritik dan saran kepada penguasa tanpa ada rasa takut sedikit pun. Justru hal tersebut sebagai muhasabah (koreksi) dan bentuk amar makruf rakyat kepada negara dan penguasanya. Suasana ini sangat terasa dalam sistem negara yang menerapkan syariat Islam kafah dalam kehidupan. Agar tidak ada hak dan kewajiban rakyat atau penguasa yang terabaikan dan terlalaikan.
Karena yang menjadi landasan penerapan sistem aturan Islam inilah adalah keimanan dan ketakwaan, yang telah tertananm dalam jiwa individu-indivu rakyat, masyarakat, penguasa dan para pejabatnya. Sehingga terwujud suasana saling menasehati yang terangkai dalam bingkai dakwah. Rakyat sayang dan peduli kepada penguasanya dan tidak membiarkannya untuk melakukan pengabaian terhadap amanahnya kepada rakyat. Begitu pun sebaliknya, penguasa senantiasa peka dan menyayangi rakyatnya dengan sepenuh hati serta sangat berhati-hati melayani rakyat dan menjaga agar tidak ada rakyat yang terlukai, baik dari sikap, perkataan, kebijakan yang ditetapkan untuk rakyat dan lain sebagainya.
Kondisi ideal ini tidak akan pernah terwujud dalam sistem demokrasi yang lahir dari buah sistem kapitalisme yang batil dan merusak. Hanya sistem Islam sajalah yang dapat mewujudkan hubungan harmonis rakyat dan penguasa dalam bingkai amar makruf nahi mungkar dan dakwah. Sudah saatnya kita sadar bahwa sistem kehidupan kita hari ini hanya membawa kerusakan dan harus segera diganti dengan sistem Islam yang membawa keberkahan dan keselamatan baik di dunia maupun di akhirat. Wallahua’lam