Langkah ini menuai tanda tanya besar. “Kami mendukung kegiatan itu, tetapi mengapa harus diadakan di luar kota? Apa di Lhokseumawe tidak ada fasilitas yang memadai?” ujar Tri Nugroho, koordinator Satgas PPA, kepada wartawan.
Keputusan BI Lhokseumawe tersebut dianggap kontradiktif dengan mandat kelembagaannya. Alih-alih mendorong perputaran ekonomi lokal, kegiatan justru dipindahkan ke luar daerah. Praktis, aliran dana kegiatan menguntungkan pelaku usaha perhotelan dan jasa di Medan, sementara pengusaha lokal di Lhokseumawe tak tersentuh.
Padahal, sesuai tugas dan fungsi, BI Perwakilan Lhokseumawe mestinya menjadi garda depan pengendalian inflasi melalui Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID), mengembangkan ekonomi inklusif dengan membina UMKM, memperkuat ekonomi syariah, hingga mendorong akselerasi ekonomi digital. Tak kalah penting, BI juga berperan dalam edukasi publik dan distribusi uang layak edar di wilayahnya.
“Kalau kegiatan besar saja dilaksanakan di luar kota, bagaimana mungkin BI bisa disebut penggerak ekonomi lokal? Yang ada justru pemborosan,” kritik Tri.
Langkah BI Lhokseumawe ini memunculkan kesan lembaga negara lebih sibuk memperkaya pengusaha luar daerah ketimbang menumbuhkan denyut ekonomi di rumah sendiri. Sebuah ironi bagi kota yang sedang berjuang keluar dari keterpurukan ekonomi pasca runtuhnya industri migas.(A1)