Oleh: Ririn Arinalhaq
Pajak di dalam sistem kapitalisme selalu dijadikan instrumen utama dalam sistem keuangan negara yang berfungsi sebagai sumber penerimaan terbesar bagi pemerintah. Melalui pajak, negara memperoleh dana untuk membiayai berbagai kebutuhan publik, mulai dari pembangunan infrastruktur, penyediaan layanan kesehatan, pendidikan, hingga bantuan sosial. Namun, di balik fungsinya tersebut pajak sering menjadi perbincangan hangat karena menyangkut beban yang ditanggung masyarakat.
Seperti kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Balikpapan belakangan ini. Banyak warga mengaku terkejut dengan nominal pajak yang melonjak drastis hingga berkali-kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya. Salah satu warga menuturkan, biasanya ia hanya membayar Rp306 ribu per tahun. Namun tahun ini tagihannya mencapai Rp9,5 juta untuk bidang tanah seluas 1 hektar di kawasan Balikpapan Timur. (Kompas. Com, 25/08/25)
Meski akhirnya Pemkot Balikpapan melakukan penundaan dan memberikan stimulus berupa pengurangan PBB hingga 90 persen dari ketetapan pokok. Kebijakan tersebut tetap menuai kritik keras dari Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI). Organisasi mahasiswa itu menilai langkah pemerintah tidak berpihak pada masyarakat kecil. (Kaltimkita.co, 21/08/25)
Kenaikan pajak ini tentu semakin memberatkan rakyat apalagi tanpa diiringi tingkat kesejahteraan yang layak. Rakyat pun selalu menjadi korban karena pajak dibebankan pada mereka tanpa melihat status ekonominya. Padahal negeri ini kaya dengan SDA namun hasilnya tidak bisa dinikmati karena ciri khas sistem kapitalisme adalah menyerahkan pengelolaan SDA pada asing dan swasta.
Berbeda dengan sistem Islam. Pajak dalam sistem Islam disebut dengan dharibah. Pajak di dalam sistem Islam hanya bersifat temporal, artinya pajak diberlakukan hanya pada situasi tertentu saja yaitu ketika pemasukan tetap baitul mal tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan pokok masyarakat seperti sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan dan keamanan. Pajak juga akan diberlakukan jika negara tidak mampu membiayai jihad dan futuhat.
Ketentuan tersebut diambil dari kaidah fiqih yang berbunyi:
مَا لا يَتِمُّ الوَاجِبُ إِلا بِهِ فَهُوَ وَاجِب
“Sesuatu yang tanpanya kewajiban tidak terlaksana, maka ia menjadi wajib.”
Islam juga menjadikan pajak (dharibah) hanya sebagai alternatif terakhir sumber pendapatan negara yang hanya dibebankan pada laki-laki muslim yang kaya saja. Karena didalam sistem Islam sumber pendapatan negara itu banyak dan beragam seperti zakat, kharaj, jizyah, fay’, ghanimah, hasil SDA, dan lain sebagainya.
Islam juga memandang bahwa posisi penguasa adalah sebagai rain dan junnah, Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah Saw:
"Sesungguhnya seorang imam (kepala negara) laksana perisai rakyat di belakangnya, dan dia menjadi pelindung bagi rakyatnya" (HR Bukhari dan Muslim).
Sehingga atas dasar hadits di atas, Islam mengharamkan penguasa untuk menyentuh harta rakyat secara dzalim seperti pajak dalam sistem kapitalisme. Maka dari itu tidak ada cara lain untuk menghentikan kedzaliman yang disebabkan oleh sistem kapitalisme selain penerapan Islam secara kafah dalam naungan khilafah.
Allah Swt berfirman:
وَلَوْ اَنَّ اَهْلَ الْقُرٰٓى اٰمَنُوْا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكٰتٍ مِّنَ السَّمَاۤءِ وَالْاَرْضِ وَلٰكِنْ كَذَّبُوْا فَاَخَذْنٰهُمْ بِمَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ
Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan. (QS Al-A'raf: 96)
Wallahu a'lam bi ash-shawaab