Keliru Menyamakan Pajak dengan Zakat dan Wakaf


author photo

3 Sep 2025 - 12.39 WIB



Oleh: hj. Syahidah
(Aktifis Dakwah)

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat menjadi pembicara dalam acara Sarasehan Nasional Ekonomi Syariah Refleksi Kemerdekaan RI 2025, Rabu (13/8/2025) lalu mengatakan bahwa kewajiban membayar pajak sama halnya dengan menunaikan kewajiban zakat dan wakaf. Alasannya karena ketiganya memiliki tujuan yang sama, menyalurkan sebagian harta kepada pihak yang membutuhkan.

Pernyataan ibu menteri tersebut menuai banyak respon dari masyarakat, baik lewat dunia maya maupun didunia nyata.
Sri Mulyani menjelaskan bahwa dari pajak yang dibayar oleh masyarakat sebenarnya tidak lain kembali ke masyarakat lagi dalam berbagai bentuk. Seperti adanya program perlindungan sosial, hingga subsidi yang manfaatnya langsung dirasakan oleh masyarakat. Terutama bagi kelompok berpendapatan rendah. Dan pajak itu kembali kepada yang membutuhkan. Menurutnya ada 10 juta keluarga tidak mampu diberikan program keluarga harapan, hingga  sembako untuk 18 juta keluarga. Bahkan  menurutnya substansi dari pajak yaitu berkeadilan itu sama halnya dengan ekonomi syariah.

Pernyataan Sri Mulyani tersebut dinilai oleh banyak pihak bisa jadi bertujuan untuk meningkatkan penerimaan pajak yang saat ini tengah seret. Pajak masih menduduki posisi teratas bagi penopang utama APBN. Meski pemerintah berjanji tidak akan menaikkan tarif pajak pada tahun 2026 nanti, tetapi bukan berarti beban pajak akan tetap atau bahkan turun. Sebab regulasi yang ada saat ini sudah memberikan ruang untuk itu. 

Saat ini bahkan mulai dicari objek pajak baru seperti pajak warisan, pajak karbon, pajak rumah ketiga bahkan pajak setelah mengadakan hajatan. Tanpa menyadari bahwa pajak yang sudah ada saat ini saja sudah cukup memberatkan masyarakat. Tarif pajak bumi dan bangunan misalnya di beberapa daerah saat ini naik hingga 200 bahkan /300% sehingga memicu keresahan masyarakat dan aksi protes terhadap pemerintah daerah.

Ini adalah potret nyata hasil dari penerapan sistem kapitalisme di negeri ini. Pajak dijadikan sebagai tulang punggung ekonomi negara. Tetapi pada saat yang sama, negara menyerahkan pengelolaan sumber daya alam kepada swasta yang memiliki modal besar. Akibatnya, rakyat justru makin dicekik dengan berbagai pungutan hingga banyak yang jatuh ke jurang kemiskinan. Sementara para kapitalis kian bergelimang harta dan menguasai perekonomian karena mendapat fasilitas istimewa dari pemerintah.

Berbagai upaya melalui undang-undang yang disahkan pun nyatanya lebih berpihak kepada kepentingan pemilik modal dan mengabaikan kepentingan rakyat. Makanya tidak heran jika pajak dalam sistem kapitalisme bersifat zalim. Sebab bukan hanya memaksa rakyat miskin untuk menyetorkan harta mereka, tetapi hasil pungutannya pun tidak kembali untuk menyejahterakan rakyat melainkan dialirkan ke segelintir orang yang itu tidak lain adalah para kapitalis.

Lebih parah lagi, kebijakan pajak sering kali memberi jalan tol kepada para konglomerat melalui program-program seperti tax amnesty sehingga semakin jelas bahwa sistem pajak dalam kapitalisme sejatinya hanya menjadi alat eksploitasi rakyat demi keuntungan segelintir orang. Berbeda dengan kapitalisme yang menjadikan pajak sebagai tulang punggung ekonomi negara, Islam menetapkan dharibah atau pungutan kepada rakyat hanya bersifat temporer dan terbatas.

Pungutan ini hanya diberlakukan ketika kas negara yakni Baitul Mal benar-benar kosong dan hanya dari laki-laki muslim yang kaya. Pajak atau dharibah dipungut semata untuk memenuhi kebutuhan yang sifatnya mendesak atau darurat seperti kebutuhan jihad, penyediaan layanan publik mendasar atau jika ada bencana besar yang memerlukan dana ekstra. Ketentuan ini telah dijelaskan dalam kitab Al-amwal Karya Syekh Abdul Qodim Zalum.
Ditegaskan pula dalam kitab tersebut bahwa dharibah atau pajak tidak boleh menjadi sumber tetap pemasukan negara. Dengan kata lain, Islam tidak akan mengeksploitasi rakyat miskin melalui pajak.

Adapun zakat memang menjadi salah satu sumber pemasukan Baitul Mal pada pos zakat. Akan tetapi Zakat berbeda dengan jenis harta-harta yang lain baik dari segi perolehannya, berapa kadar yang harus dikumpulkan, dan pembelanjaannya. Zakat, dari segi pemerolehannya, tidak akan dikumpulkan selain dari dari harta orang-orang Islam, dan tidak dari orang non-Muslim. Maka Zakat jelas tidak sama dengan pajak umum.

Zakat tidak lain merupakan salah satu bentuk ibadah dan kedudukannya sebagai salah satu rukun Islam. Zakat, meskipun berupa harta, pembayarannya bisa mewujudkan nilai spiritual, semisal shalat, puasa, dan haji. Hukum menunaikannya adalah wajib bagi setiap Muslim yang memenuhi kriteria. Zakat tidak dilakukan karena ada-tidaknya kebutuhan negara dan kemaslahatan umat, seperti harta-harta lain yang dikumpulkan dari umat. Namun, zakat merupakan jenis harta khusus yang wajib diserahkan ke Baitul Mal, baik ada kebutuhan ataupun tidak.

Zakat tidak gugur dari seorang muslim selama diwajibkan dalam hartanya. Zakat diwajibkan atas seorang Muslim yang memiliki satu nishab, sebagai kelebihan dari utang-utang dan kebutuhan-kebutuhannya zakat tidak wajib atas orang non-Muslim. Zakat merupakan ibadah maliyah (harta), bukan ibadah jasadiyah (tubuh). Adapun dari segi jumlah yang harus dibayarkan, adalah berupa jumlah tertentu yang tidak boleh kurang atau pun lebih. Adapun objek-objek zakat dan penerimanya, syariat telah menentukan dengan tegas yaitu 8 golongan asnaf sebagaimana termaktub dalam firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala.
"Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang Fakir, orang-orang miskin, amil zakat, para mualaf yang dibujuk hatinya, untuk memerdekakan hamba sahaya atau budak, untuk orang-orang yang berhutang, untuk jihad di jalan Allah dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan sebagai kewajiban Allah. Allah Maha Mengetahui lagi maha bijaksana."  Terjemahan Quran surah At-Taubah ayat ayat 60. 

Dengan demikian, zakat memiliki saluran distribusi yang sangat jelas dan tidak boleh dialihkan kepada proyek, tidak boleh dialokasikan untuk urusan perekonomian negara atau kebutuhan lain.
Inilah keunggulan sistem zakat dalam Islam yang memastikan setiap dana benar-benar sampai kepada pihak yang berhak sebagaimana yang telah ditetapkan pencipta alam semesta Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Oleh karena itu penyamaan pajak dalam sistem kapitalisme dengan zakat bahkan sampai menyebutnya sebagai bagian dari ekonomi syariah merupakan bentuk penyesatan sekaligus upaya membodohi umat.

Selain zakat, Baitul Mal memiliki banyak pos pemasukan lain yang bersifat tetap, yaitu: fai', ghonimah, Anfal, kharaj, jizyah, dan pemasukan dari hak milik umum dengan berbagai macam bentuknya; pemasukan dari hak milik negara, usyur, khumus, rikaz, dan tambang yang bersifat tetap dan sangat besar nilainya. Dalam Islam sumber kekayaan alam seperti tambang besar, hutan, air, laut, migas, batubara, dan lain-lain tidak boleh diserahkan pengelolaannya kepada swasta apalagi asing.

Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, "kaum muslim berserikat dalam tiga hal, yakni air, padang rumput, dan api". Hadits riwayat Abu Daud, Ahmad dan Ibnu Majah. Hadits ini menjadi dasar bahwa sumber daya alam berskala besar merupakan milik umum sehingga pengelolaannya wajib dilakukan negara demi kepentingan seluruh rakyat seperti dalam bentuk pendidikan dan kesehatan gratis, transportasi murah, tarif listrik murah, air murah, bahkan bisa gratis, internet gratis, dan berbagai kemudahan lainnya.

Penerapan ekonomi Islam dalam sebuah negara akan menjamin kesejahteraan setiap rakyat bukan hanya segelintir orang atau kelompok. Negara wajib memenuhi kebutuhan pokok individu dari sumber-sumber pemasukan negara tanpa membebani rakyat dengan pajak. Dengan penerapan sistem ekonomi Islam kaffah kesenjangan dan kezaliman ekonomi dapat dihapus. Sementara kesejahteraan pada tiap-tiap individu akan terwujud
Bagikan:
KOMENTAR
 
Copyright @ 2014-2019 - Radar Informasi Indonesia, PT