Gaji Guru PPPK Minim, Islam Punya Mekanisme Adil


author photo

17 Okt 2025 - 14.29 WIB



(Ainayyah Nur Fauzih, S.Pd.)

Kesejahteraan guru di Indonesia kembali menjadi sorotan publik. Meski profesi guru kerap disebut sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, realitas di lapangan justru menunjukkan banyaknya guru honorer dan PPPK yang hidup dalam keterbatasan. Data dari IDEAS menunjukkan bahwa lebih dari 70 persen guru honorer masih menerima gaji di bawah dua juta rupiah per bulan, bahkan sebagian di antaranya hanya ratusan ribu rupiah (Ideas.or.id, 29 Mei 2024). Kondisi ini memantik desakan dari Komisi X DPR agar pemerintah tidak hanya menaikkan gaji ASN, tetapi juga memperhatikan nasib guru honorer yang selama ini menjadi tulang punggung pendidikan, sebagaimana disampaikan Wakil Ketua Komisi X DPR, Lalu Hadrian Irfani (BeritaSatu.com, 22 September 2025).
Keluhan serupa datang dari para guru PPPK yang menyuarakan nasib mereka di DPR. Mereka menegaskan tidak iri kepada PNS, namun berharap tidak dizalimi oleh kebijakan yang tidak berpihak. Mereka menyoroti ketimpangan hak dan kesejahteraan, mulai dari ketiadaan jenjang karier hingga tidak adanya jaminan pensiun (Liputan6.com, 10 Oktober 2025). Sementara itu, kebijakan baru yang mengatur sistem kerja paruh waktu dengan upah sekitar Rp18.000 per jam masih dianggap belum cukup menjawab persoalan mendasar, yakni penghargaan yang layak terhadap jasa pendidik (Sindonews.com, 11 Oktober 2025). Meski pemerintah telah menyiapkan anggaran besar untuk peningkatan kesejahteraan guru pada tahun 2025, kebijakan tersebut perlu dipastikan benar-benar menyentuh seluruh lapisan, termasuk guru non-ASN dan honorer yang selama ini terabaikan. 
Kenyataan pahit juga dirasakan oleh banyak guru PPPK yang meskipun telah menempuh pendidikan tinggi hingga strata dua bahkan tiga, tetap tidak memiliki jenjang karier yang jelas. Mereka tidak bisa naik pangkat seperti halnya PNS, padahal kompetensi dan dedikasi mereka tidak kalah. Kondisi ini membuat semangat mengajar perlahan terkikis, sebab pengabdian yang seharusnya dihargai justru dibatasi oleh status administratif. Tak sedikit di antara mereka yang sudah mengajar belasan tahun, tetapi tetap berada pada posisi dan penghasilan yang sama, tanpa peluang peningkatan kesejahteraan yang berarti.
Selain itu, guru PPPK juga tidak mendapatkan uang pensiun setelah masa pengabdian berakhir. Artinya, setelah puluhan tahun mencerdaskan generasi bangsa, mereka tidak memiliki jaminan hidup di hari tua. Hal ini menjadi ironi di tengah besarnya peran guru dalam membentuk karakter bangsa. Ketimpangan sistem ini seolah menunjukkan bahwa pengabdian tidak selalu berbanding lurus dengan penghargaan. Di sisi lain, gaji yang diterima pun masih jauh dari layak. Berdasarkan berbagai laporan, masih banyak guru PPPK di daerah yang menerima gaji di bawah satu juta rupiah per bulan — jumlah yang tentu tidak sepadan dengan beban dan tanggung jawab yang mereka emban.
Kondisi ekonomi yang sulit ini mendorong sebagian guru PPPK mencari jalan pintas untuk memenuhi kebutuhan hidup, termasuk berutang ke bank atau terjerat pinjaman online (pinjol). Situasi ini menjadi potret buram kesejahteraan pendidik yang seharusnya menjadi prioritas negara. Mereka yang setiap hari mendidik murid agar menjadi pribadi jujur, berakhlak, dan mandiri, justru harus berjuang keras menghadapi tekanan ekonomi yang menyesakkan. 
Berbagai realitas yang terjadi menunjukkan bahwa persoalan rendahnya kesejahteraan guru bukan sekadar masalah teknis penggajian, melainkan cerminan dari sistem yang rusak secara mendasar. Negara dalam sistem Kapitalisme tidak punya anggaran yang cukup untuk menggaji guru secara layak. Sebab, pendidikan tidak dianggap sebagai kebutuhan pokok rakyat, melainkan sebagai beban anggaran yang harus ditekan. 
Dalam sistem ini, negara hanya berperan mengatur, bukan benar-benar menjamin pelayanan publik. Akibatnya, kesejahteraan guru sangat bergantung pada besar kecilnya anggaran negara yang sering kali lebih diprioritaskan untuk proyek ekonomi dan kepentingan politik. Tak heran jika para guru—yang seharusnya menjadi pembangun peradaban—justru hidup dalam kekurangan di negeri yang sebenarnya kaya raya. 
Sumber daya alam yang seharusnya menjadi milik rakyat justru dikelola oleh swasta dan asing atas nama investasi. Kekayaan bumi, laut, dan udara Indonesia yang melimpah—minyak, gas, nikel, emas, batu bara—tidak memberi manfaat maksimal bagi kesejahteraan rakyat, termasuk guru. Sistem Kapitalisme memberikan hak istimewa kepada korporasi untuk menguasai sektor strategis, sementara negara hanya menjadi “penonton” yang menerima royalti kecil. Padahal, jika kekayaan itu dikelola secara mandiri oleh negara untuk kepentingan rakyat, tentu cukup untuk menggaji guru dengan layak tanpa perlu bergantung pada pajak dan utang.
Kekayaan negeri ini karena tidak dikelola untuk kepentingan rakyat, maka pemasukan negara bergantung pada pajak dan utang. Pajak yang seharusnya menjadi mekanisme tambahan justru dijadikan sumber utama untuk membiayai seluruh kebutuhan negara. Akibatnya, beban ekonomi rakyat semakin berat. Di sisi lain, utang luar negeri terus meningkat, menjerat negeri ini dalam ketergantungan pada lembaga keuangan internasional. Dalam kondisi seperti ini, guru tidak pernah menjadi prioritas. Pemerintah hanya berbicara soal “efisiensi anggaran”, sementara para pendidik terus menanggung derita yang seharusnya tidak mereka pikul. 
Dalam sistem Kapitalisme, guru PPPK dan honorer tidak dipandang sebagai pendidik mulia pembentuk generasi, tetapi hanya dianggap sebagai tenaga kerja yang dihitung berdasarkan efisiensi biaya. Nilai kerja mereka diukur dari jumlah jam mengajar dan laporan administrasi, bukan dari pengabdian dan tanggung jawab mereka terhadap masa depan bangsa. Inilah bentuk ketidakadilan dalam sistem yang hanya menilai manusia dari untung dan rugi. Padahal, guru adalah penjaga peradaban yang seharusnya dihormati dan dijamin kesejahteraannya oleh negara.
Semua persoalan tersebut tidak akan pernah selesai selama sistem Kapitalisme masih menjadi dasar pengelolaan negara. Sebab, sistem ini memang tidak dirancang untuk menyejahterakan rakyat, melainkan untuk menjaga kepentingan segelintir pemilik modal. 
Hal ini berbeda dengan sistem Islam yang menempatkan guru dan pendidikan pada posisi yang sangat mulia. Dalam Islam, negara memiliki tanggung jawab penuh terhadap kesejahteraan guru dan penyelenggaraan pendidikan. Semua itu diatur dengan sistem keuangan yang adil dan mandiri, tanpa bergantung pada utang atau pajak rakyat.
Pertama, dalam sistem Islam, pengelolaan keuangan negara diatur oleh lembaga bernama Baitul Maal. Lembaga ini berfungsi mengumpulkan dan menyalurkan harta negara untuk kepentingan umat sesuai ketentuan syariat. Sumber pendapatannya berasal dari tiga pos utama: kepemilikan umum seperti tambang dan energi, kepemilikan negara seperti jizyah dan kharaj, serta harta zakat. Dengan sistem ini, negara memiliki sumber keuangan yang tetap dan mencukupi tanpa bergantung pada utang atau pajak rakyat.
Kedua, pembiayaan sektor pendidikan, termasuk gaji guru, diambil dari pos kepemilikan negara. Harta seperti hasil tambang, minyak, gas, dan kekayaan alam lainnya menjadi milik seluruh umat yang dikelola negara untuk kepentingan rakyat, bukan untuk kepentingan swasta atau asing. Dari sinilah kebutuhan pendidikan dapat dipenuhi secara layak tanpa memberatkan masyarakat.
Ketiga, Islam menilai gaji bukan dari status ASN, PPPK, atau honorer, tetapi dari nilai jasa yang diberikan. Selama guru bekerja untuk kepentingan negara dan umat, mereka berhak mendapat gaji dari Baitul Maal. Artinya, semua guru diperlakukan sebagai pegawai negara dengan hak yang sama, tanpa diskriminasi. Sistem ini menumbuhkan rasa keadilan dan penghargaan yang sebenarnya terhadap peran guru sebagai pendidik generasi.
Keempat, dalam sistem Islam, negara wajib menjamin kebutuhan dasar rakyat seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan secara gratis dan berkualitas. Negara tidak boleh menjadikan pelayanan publik sebagai lahan bisnis, tetapi sebagai amanah untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemuliaan umat. Dengan begitu, guru tidak hanya dihargai secara materi, tetapi juga hidup dalam sistem yang memuliakan perannya sebagai penjaga peradaban. 
Sistem Islam juga telah membuktikan sepanjang sejarahnya bahwa guru tidak hanya dihormati, tetapi juga dijamin kesejahteraannya secara nyata. Pada masa Khalifah Umar bin Khaththab, para guru diberikan gaji tetap dari Baitul Maal karena dianggap berperan penting dalam membina generasi berilmu dan bertakwa. Pada masa Khalifah Harun ar-Rasyid, negara menanggung seluruh kebutuhan para guru dan pelajar, bahkan menyediakan fasilitas pendidikan megah seperti Bayt al-Hikmah di Baghdad—pusat ilmu pengetahuan dunia kala itu.
Di masa Khalifah Al-Ma’mun, para ulama dan guru diberi tunjangan besar serta difasilitasi untuk menulis dan meneliti, sehingga lahir banyak ilmuwan ternama seperti Al-Kindi dan Al-Khawarizmi. Begitu pula di masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, guru-guru dan murid di Madinah diberi bantuan hidup langsung dari kas negara, agar mereka bisa fokus menuntut dan mengajarkan ilmu tanpa terbebani urusan ekonomi. Semua ini menunjukkan bahwa dalam sistem Islam yakni Khilafah, penghormatan terhadap guru bukan sebatas ucapan atau seremoni, melainkan diwujudkan melalui kebijakan nyata yang memuliakan mereka. 
Karena itu, sudah saatnya umat Islam menyadari bahwa kesejahteraan guru sejati hanya dapat terwujud di bawah sistem yang menempatkan ilmu dan pendidik pada posisi terhormat—yakni sistem Islam yang tegak di atas keadilan dan ketakwaan. 
والله أعلمُ بالـصـواب
Bagikan:
KOMENTAR