Oleh : Sitti Kamariah
(Aktivis Muslimah)
Kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Balikpapan belakangan ini menjadi sorotan masyarakat. Banyak warga mengaku terkejut dengan nominal pajak yang melonjak drastis hingga berkali-kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya. Salah satu warga menuturkan, biasanya ia hanya membayar Rp306 ribu per tahun. Namun tahun ini tagihannya mencapai Rp9,5 juta untuk bidang tanah seluas 1 hektar di kawasan Balikpapan Timur. (www.kaltimpost.jawapos.com , 20/08/2025)
Meski akhirnya Pemkot Balikpapan melakukan penundaan dan memberikan stimulus berupa pengurangan PBB hingga 90 persen dari ketetapan pokok. Kebijakan tersebut tetap menuai kritik keras dari Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI). Organisasi mahasiswa itu menilai langkah pemerintah tidak berpihak pada masyarakat kecil. (www.niaga.asia, 21/08/2025)
Belakangan ini kenaikan pajak PBB memang sedang menjadi sorotan dan perbincangan, sebab angka kenaikannya sangat drastis dan cukup gila, dimana pajak PBB naik lebih dari 100% pada beberapa daerah di Indonesia. Balikpapan adalah salah satu yang kenaikan pajak PBBnya lebih dari 100 persen, yaitu sampai 3000 persen.
Kenaikan pajak yang sangat drastis ini tentu sangat membebani rakyat, maka tak heran rakyat akan berontak dengan kebijakan ini. Aksi demo masyarakat Pati yang heboh pada 13 Agustus lalu adalah salah satu bentuk reaksi penolakan atas kenaikan pajak. Tak hanya di Pati, beberapa daerah pun melakukan aksi demo penolakan kenaikan pajak PBB, termasuk di Kota Balikpapan.
Sangat wajar masyarakat melakukan aksi demo penolakan kenaikan pajak, sebab ekonomi mayoritas masyarakat sedang terpuruk. Pemerintah bukannya membantu masyarakat untuk bangkit, namun justru memalak rakyat dengan pajak. Terlebih setiap kenaikan pajak selama ini, tidak menampakkan adanya peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat.
Negara dengan sistem kapitalisme memang akan mengandalkan pajak sebagai sumber utama pendapatan negara, termasuk Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan pendapatan dari pajak dalam struktur penerimaan negara, mencapai 82,4% dari total pendapatan. Oleh karenanya, pajak yang ada naik hingga berkali-kali lipat, bahkan pemerintah juga mencari objek pajak baru, yang sebelumnya tidak dipajak.
Sangat disayangkan, sumber daya alam yang melimpah di negeri ini diprivatisasi, pengelolaan nya diserahkan pada swasta dan asing. Padahal keuntungannya sangat besar, berkali-kali lipat dari angka hasil pungutan pajak. Jikalau SDA tersebut dikelola baik oleh negara dimana keuntungan seluruhnya untuk kepentingan rakyat, maka itu sudah lebih dari cukup sehingga tak perlu ada pungutan pajak.
Kapitalisme menciptakan kebijakan pajak yang zalim, dimana mengambil paksa harta rakyat bahkan kepada rakyat miskin. Ironinya, saat rakyat miskin terus dibebani berbagai pajak, oligarki dan korporasi justru mendapat pengampunan pajak, dan juga pejabat mendapat tunjangan pembayaran pajak. Dan lebih mirisnya lagi, uang hasil pajak pada faktanya tidak untuk menyejahterakan rakyat, tetapi digunakan untuk proyek-proyek yang menguntungkan kapitalis dan wakil rakyat.
Penguasa saat ini menunjukkan pejabat yang populis otoritarianisme, bersikap sebagai pahlawan yang membela rakyat, padahal dia yang membuat kebijakan zalim tersebut kepada rakyatnya. Contohnya pada kasus kenaikan pajak PBB ini, setelah adanya reaksi gelombang penolakan oleh masyarakat, pemerintah akhirnya memberikan penundaan atau pun keringanan pajak PBB. Hal ini terjadi bukan hanya karena siapa penguasanya, namun akar masalahnya adalah akibat penerapan sistem kapitalisme yang rusak oleh negara.
Pajak yang terbukti dzolim terhadap rakyat ini tidak akan terjadi apabila negara menerapkan sistem Islam. Dalam Islam sendiri pajak adalah haram, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّ صَاحِبَ الْمَكسِ فِيْ النَّارِ
“Sesungguhnya pelaku/pemungut pajak (diadzab) di neraka” [HR Ahmad 4/109, Abu Dawud kitab Al-Imarah : 7]
Sistem Islam yang memiliki aturan sempurna, juga memiliki regulasi tentang politik APBN yang dikenal dengan istilah baitulmal. Konsep tentang baitulmal ini sudah diterapkan sejak masa Rasulullah ﷺ hingga era kekhalifahan. Salah satu referensi yang bisa dikaji adalah kitab Al-Amwal karya Syekh Abdul Qadim Zallum rahimahullah, serta kitab Muqaddimah ad-Dustûr. Di sana dijelaskan bahwa baitulmal adalah institusi negara yang khusus menangani harta yang diterima negara dan dialokasikan bagi rakyat yang berhak menerimanya sesuai tuntunan syariat.
Syarak menetapkan tiga pos pemasukan baitulmal. Pertama, sektor kepemilikan individu, seperti sedekah, hibah, zakat, dsb. Khusus untuk zakat tidak boleh bercampur dengan harta yang lain. Kedua, sektor kepemilikan umum yang haram diprivatisasi, seperti pertambangan, minyak bumi, gas, batu bara, kehutanan, dsb. Ketiga, sektor kepemilikan negara yang menjadi pemasukan tetap, seperti jizyah, kharaj, ganimah, fai, ‘usyur, dsb.
APBN dalam Islam (baitulmal) tidak bertumpu pada pajak dan utang. Pajak dalam Islam (dharibah) hanya ditarik jika baitulmal kosong, itu pun sasarannya hanya orang kaya dari kalangan muslim. APBN Islam juga tidak mengenal skema defisit karena pos pemasukannya sangat banyak dan dikelola negara dengan penuh amanah dan profesional. Begitu pula pembelanjaannya, diatur sedemikian sehingga seluruh urusan umat dan negara tertunaikan sesuai tuntutan syarak.
Dengan demikian, hanya dengan penerapan syariat Islam secara menyeluruh (kaffah), kesejahteraan bagi seluruh alam dapat digapai. Bukti nyata kesejahteraan ini ada dalam peradaban Islam selama 1300 tahun dahulu. Maka, tidakkah kita rindu untuk kembali hidup dalam naungan sistem Islam Rahmatan lil'alamin ini?
Wallahu a'lam bishshowab