Mengakhiri Generasi Tanpa Ayah Dengan Sistem Islam Kaffah


author photo

16 Okt 2025 - 18.49 WIB


Oleh: Vinda Puri Orcianda (aktivis dakwah dan pegiat literasi)

Di banyak rumah hari ini, sosok Ayah masih ada, namun hanya sebatas nama di kartu keluarga. Ia tak benar-benar hadir, tidak dalam tawa anaknya, tidak dalam doa sebelum tidur, bahkan tidak dalam pelukan yang menenangkan. Pada akhirnya krisis terbesar masyarakat saat ini, ternyata bukan hanya ekonomi, atau moral, melainkan krisis kehadiran sosok Ayah.

Fenomena fatherless ini bukan hanya tentang ketiadaan fisik seorang Ayah, tetapi juga hilangnya teladan, kasih sayang, dan bimbingan moral yang seharusnya menjadi fondasi kepribadian seorang anak. Di balik wajah-wajah anak yang tampak kuat, tersimpan rindu yang tak pernah benar-benar terjawab; rindu akan kehadiran seorang Ayah yang seutuhnya.

Berdasarkan data UNICEF tahun 2021, penyebab 20,9 persen anak di Indonesia tidak memiliki figur Ayah. Survei BPS pada tahun 2021 menyebutkan bahwa hanya 37,17% anak-anak usia 0-5 tahun yang dirawat oleh Ayah dan Ibu kandungnya secara bersamaan. Hal tersebut terjadi di antaranya akibat perceraian, kematian, atau pekerjaan Ayah yang mengharuskan mereka tinggal jauh dari keluarga. (kompas.id, 09/10/25)

Menurut Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (Mendukbangga)/Kepala BKKBN Wihaji, hampir satu dari lima anak menghadapi kondisi fatherless dalam arti praktis, yaitu kurangnya peran Ayah dalam perkembangan emosional, social, dan kognitif seorang anak. 

Selain itu, penelitian di tingkat lokal memperlihatkan dampak psikologis yang nyata: misalnya pada anak usia dini, mereka akan mengalami gangguan perkembangan emosional, kesulitan dalam beradaptasi social, perasaan kesepian , hingga tekanan psikologis kerena kehilangan figure pengasuhan. (antaranews.com, 10/07/25)

Fenomena fatherless di Indonesia mencerminkan luka social yang kian membesar di tengah derasnya arus modernitas dan tekanan ekonomi. Dalam banyak kasus, Ayah memang tidak meninggalkan rumah secara fisik, tetapi kehadirannya terhapus oleh jam kerja yang, panjang tekanan finansial, atau gaya hidup individualistik yang membuat anak tumbuh tanpa sentuhan emosional seorang Ayah. Hal ini membentuk generasi yang rapuh, kehilangan arah, dan mudah dikendalikan oleh arus kehidupan tanpa pegangan nilai.

Fenomena fatherless tidak muncul begitu saja, ia tumbuh di atas fondasi sosial dan budaya yang perlahan menggeser peran ayah dari pusat keluarga. 

Pertama, tekanan ekonomi menjadi penyebab paling nyata. Banyak Ayah di Indonesia dan negara berkembang lainnya dipaksa oleh tuntutan hidup untuk bekerja jauh dari rumah, bahkan bertahun-tahun di luar kota atau luar negeri. 

Hal ini membuat waktu kebersamaan dengan keluarga menjadi tergerus oleh jarak dan pekerjaan, dan hubungan emosional dengan anak terkikis perlahan. Dalam jangka panjang, anak mungkin memiliki figur Ayah secara hukum, tetapi tidak secara psikologis.

Kedua, budaya modern yang menekankan self-achievement dan gaya hidup meterialistis membuat banyak ayah menilai keberhasilan dari pencapaian karier dan finansial semata, bukan dari keterlibatan dalam pengasuhan. 

Paradigma ini diperkuat oleh media dan budaya popular yang jarang menampilkan peran Ayah sebagai sosok penyayang dan pengasuh. Ayah digambarkan sebagai pencari nafkah, bukan pendidik rumah tangga. Akibatnya laki-laki kehilangan makna sejati dari kepemimpinan dalam keluarga, bukan sekedar menyediakan kebutuhan fisik, tetapi juga membimbing dan menanamkan nilai hidup.

Ketiga, pergeseran budaya keluarga turut memperparah kondisi ini, di tengah meningkatnya angka perceraian, anak-anak seringkali menjadi korban dari relasi orang tua yang tidak stabil. Dalam banyak kasus, hak asuh jatuh kepada Ibu, sementara figur Ayah perlahan hilang dari keseharian anak. 

Belum lagi pengaruh digitalisasi yang semakin menenggelamkan interaksi keluarga. Anak lebih banyak tumbuh bersama gawai, bukan bersama orang tua. Ruang makan, ruang tamu, dan bahkan kamar tidur kini lebih sunyi dari percakapan keluarga.

Namun bila ditelusuri lebih dalam, akar dari fenomena fatherless sejatinya bukan sekadar persoalan ekonomi atau budaya modern, melainkan buah dari sistem sekuler yang memisahkan kehidupan manusia dari aturan agamanya. Ketika agama tidak lagi dijadikan pedoman dalam mengatur keluarga, pekerjaan, dan pendidikan, maka nilai tanggung jawab, kepemimpinan, dan kasih sayang perlahan pudar. 

Sistem sekuler menjadikan manusia hidup dengan orientasi duniawi, Ayah diukur dari harta dan jabatan, bukan dari ketakwaannya; keberhasilan keluarga dinilai dari materi, bukan dari keberkahan dan keutuhan rumah tangga. Akibatnya, peran Ayah tergantikan oleh rutinitas kerja dan ambisi pribadi, sementara ikatan spiritual dalam keluarga tercabut dari akarnya. 

Inilah sebab mendasar mengapa fenomena fatherless terus meluas: karena aturan Allah SWT yang seharusnya menjadi penjaga keseimbangan antara peran, tanggung jawab, dan cinta dalam keluarga.

Islam memandang peran Ayah bukan sekadar pelengkap keluarga, tetapi pilar utama dalam pembentukan kepribadian dan peradaban manusia. Karena itu, solusi terhadap fenomena fatherless harus berakar dari sistem yang mampu menjaga peran Ayah tetap utuh, baik secara fisik emosional, maupun spiritual.

Pertama, dari sisi ekonomi, Islam menolak sistem ekonomi yang menjerat kepala keluarga dalam pusaran kerja tanpa akhir. Dalam sistem kapitalis hari ini, seorang Ayah sering kali di paksa menghabiskan seluruh waktunya di luar rumah demi memenuhi tuntutan hidup yang tak seimbang dengan penghasilan. 

Islam menawarkan solusi dengan sistem ekonomi yang adil, dimana kebutuhan dasar keluarga (pangan, sandang, papan, pendidikan, dan kesehatan) dijamin oleh negara melalui pengelolaan kepemilikan umum, seperti sumber daya alam dan energi, untuk kemaslahatan rakyat.

Dengan sistem ini, Ayah tidak perlu terpaksa menjadi “pekerja jarak jauh” yang berpotensi akan kehilangan peran pengasuhan. Ia dapat Kembali menjalankan fungsi utamanya: mendidik, membimbing, dan melindungi keluarga secara langsung.

Kedua, dari segi budaya dan gaya hidup. Islam membangun budaya keluarga yang berorientasi pada ketaatan kepada Allah, bukan pencapaian material. Keberhasilan seorang Ayah diukur bukan dari seberapa tinggi jabatannya atau banyak hartanya, melainkan dari sejauh mana ia menanamkan iman, akhlak, dan tanggung jawab kepada anak-anaknya. 

Rasulullah SAW mencontohkan bahwa seorang ayah adalah pemimpin (qawwam) bagi keluarganya, yang mencurahkan kasih sayang, menjadi teladan moral, dan menuntun dengan kelembutan. Rasulullah SAW menjadi teladan bahwa Ayah sejati adalah pemimpin penuh kasih, bukan sosok yang hanya hadir di atas meja makan, tetapi juga dalam jiwa anak-anaknya. 

Rasulullah saw mencontohkan untuk kita semua, dari Abdullah bin Ja’far ra. berkata, “Apabila Rasulullah saw. pulang dari bepergian, biasanya beliau disambut oleh anak-anak dan anggota keluarganya. Suatu hari, beliau pulang dari bepergian. Aku lebih dahulu menyambut beliau, maka aku digendongnya. Kemudian, salah seorang anak, Fathimah ra. menyambutnya. Ia pun digendongnya di belakang. Kemudian, kami bertiga memasuki kota Madinah di atas binatang tunggangan.” (HR Muslim).

Ketiga, dari struktur keluarga, Islam menetapkan aturan yang menjaga keutuhan rumah tangga. Suami wajib menjadi qawwam, pemimpin yang adil dan penyayang. Negara pun berkewajiban menegakkan sistem pendidikan dan sosial yang menguatkan peran Ayah serta melindungi keluarga dari keretakan.

Fenomena fatherless adalah bukti nyata rapuhnya peradaban yang menyingkirkan aturan Allah dari kehidupan. Di balik setiap anak yang tumbuh tanpa bimbingan Ayah, ada sistem yang mencabut peran kepemimpinan dan kasih sayang dari akar spiritualnya. 

Islam hadir bukan sekadar menasihati para Ayah agar lebih hadir, tapi untuk membangun tatanan hidup yang memungkinkan mereka memimpin dengan iman dan tanggung jawab.

Kini saatnya umat sadar: selama aturan manusia yang sekuler tetap menjadi dasar kehidupan, keluarga akan terus rapuh dan generasi akan kehilangan teladan. Hanya dengan kembali pada sistem Islam kaffah dalam naungan Khilafah yang akan menerapkan Islam secara menyeluruh, peran Ayah dapat dipulihkan, cinta keluarga disatukan, dan masa depan umat kembali bersinar dengan cahaya ketakwaan.

Wallahu ‘alam bissawab
Bagikan:
KOMENTAR