Oleh: Ernadaa R
Fenomena meningkatnya angka bunuh diri di kalangan pelajar kembali menggegerkan dunia pendidikan. Dalam sepekan terakhir, dua anak ditemukan meninggal dunia diduga akibat bunuh diri di Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Sementara di Sumatera Barat, dua siswa SMP di Kota Sawahlunto juga ditemukan tewas dengan cara serupa pada Oktober 2025. Berdasarkan penyelidikan, tidak ditemukan tanda-tanda bullying, yang selama ini kerap dianggap penyebab utama kasus bunuh diri di kalangan pelajar.
Fakta ini menunjukkan bahwa masalah bunuh diri anak sekolah tidak sesederhana persoalan perundungan, tetapi lebih dalam: adanya kerentanan psikologis dan kerapuhan kepribadian yang mengakar. Data dari Kementerian Kesehatan bahkan menunjukkan bahwa lebih dari dua juta anak Indonesia mengalami berbagai bentuk gangguan mental. Ini bukan sekadar statistik medis, melainkan cerminan betapa sistem kehidupan terutama sistem pendidikan sekuler yang diterapkan di negeri ini telah gagal menumbuhkan ketangguhan jiwa dan keimanan pada generasi muda.
Kerapuhan Jiwa Anak adalah Cerminan Gagalnya Pendidikan Sekuler
Bunuh diri di kalangan pelajar tidak semata disebabkan tekanan akademik atau konflik sosial. Banyak kasus menunjukkan bahwa penyebab utamanya adalah lemahnya pondasi spiritual dan ketidakmampuan anak menghadapi kesulitan hidup. Mereka kehilangan arah, merasa hidup tak berarti, dan akhirnya memilih jalan pintas: mengakhiri hidupnya sendiri.
Sistem pendidikan sekuler yang diterapkan hari ini memang telah lama menyingkirkan agama dari peran utamanya. Pendidikan lebih menekankan pada pencapaian akademik, kompetisi, dan keterampilan teknis, sementara pembentukan akidah dan kepribadian diabaikan. Agama hanya diajarkan sebatas teori di jam pelajaran, tanpa menginternalisasi nilai iman dalam keseharian siswa. Akibatnya, anak-anak tumbuh dengan mental yang rapuh, mudah putus asa, dan kehilangan makna hidup.
Paradigma Rusak, Anak Dianggap Belum Dewasa Padahal Sudah Balig
Salah satu kesalahan mendasar dalam paradigma pendidikan modern adalah konsep usia kedewasaan. Pendidikan Barat yang diadopsi oleh sistem pendidikan Indonesiamenganggap seseorang baru dewasa pada usia 18 tahun. Akibatnya, anak yang telah balig sering masih diperlakukan seperti anak kecil, tidak diberikan tanggung jawab moral, dan tidak diarahkan untuk berpikir dewasa secara Islam.
Padahal, dalam Islam, balig adalah tanda seseorang telah memikul beban syariat. Sejak itu, ia bertanggung jawab atas amal perbuatannya di hadapan Allah. Oleh karena itu, pendidikan Islam sejak dini harus diarahkan untuk menumbuhkan kedewasaan akal (aqil), bukan sekadar memanjakan anak dengan konsep “usia bermain” yang meninabobokan.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini mengajarkan bahwa lingkungan dan pendidikanlah yang membentuk arah hidup anak. Jika pendidikan tidak berlandaskan akidah Islam, maka anak akan kehilangan pijakan nilai dan mudah terombang-ambing oleh pengaruh budaya sekuler yang serba bebas dan materialistik.
Bunuh diri adalah puncak dari gangguan mental, dan gangguan mental tidak muncul dari ruang kosong. Ia lahir dari berbagai tekanan hidup kesulitan ekonomi, perceraian orang tua, kesenjangan sosial, hingga tekanan gaya hidup yang dibentuk oleh sistem kapitalisme.
Sistem kapitalisme menanamkan nilai bahwa kebahagiaan diukur dari kepemilikan materi dan pengakuan sosial. Media sosial kemudian menjadi corong nilai ini. Anak-anak dibombardir oleh citra kesuksesan palsu: harus cantik, kaya, populer, atau berprestasi sempurna. Ketika realitas tak sesuai harapan, mereka merasa gagal dan tak berharga.
Padahal Islam telah menegaskan bahwa tujuan hidup manusia bukanlah materi atau pengakuan sosial, melainkan beribadah kepada Allah SWT.
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.”
(QS. Adz-Dzariyat [51]: 56)
Dengan tujuan hidup yang jelas, seorang Muslim akan memandang setiap ujian sebagai bagian dari takdir Allah, bukan sebagai akhir dari segalanya. Ia akan bersabar, berdoa, dan mencari solusi dengan cara yang diridhai Allah, bukan dengan mengakhiri hidup.
Peran Media dan Lingkungan Sekuler
Tak dapat dipungkiri, media sosial berperan besar dalam meningkatnya angka bunuh diri di kalangan remaja. Banyak konten yang secara tidak langsung menormalisasi bunuh diri, bahkan membentuk komunitas daring yang saling berbagi pengalaman tentang upaya mengakhiri hidup. Hal ini menciptakan efek penularan, di mana anak-anak yang rentan meniru tindakan tersebut.
Namun akar masalahnya tetap sama: sistem sekuler yang membiarkan kebebasan tanpa batas, termasuk dalam penyebaran informasi. Dalam Islam, kebebasan berbicara dan berekspresi diatur oleh syariat. Setiap konten yang merusak akidah atau moral wajib dicegah oleh negara.
Pendidikan Islam Fondasi Kepribadian yang Tangguh
Islam menempatkan pendidikan sebagai sarana utama membentuk kepribadian yang kuat dan beriman. Pendidikan dalam Islam tidak hanya mengajarkan ilmu pengetahuan, tetapi juga menanamkan pola pikir (aqliyah) dan pola sikap (nafsiyah) yang Islami. Anak dididik untuk berpikir dengan standar halal-haram, bukan sekadar baik-buruk menurut manusia.
Tujuan pendidikan Islam adalah melahirkan insan berkepribadian Islam (syakhsiyyah Islamiyyah) yang siap menghadapi realitas hidup dengan iman dan kesabaran. Kurikulumnya memadukan ilmu dunia dan ilmu akhirat secara harmonis. Dengan landasan akidah yang kuat, pelajar akan memiliki daya tahan mental yang tinggi. Ia tidak mudah putus asa, karena tahu setiap ujian datang dari Allah dan selalu ada hikmah di baliknya.
Islam tidak hanya menyembuhkan individu, tetapi juga menciptakan sistem sosial yang mencegah gangguan mental sejak awal. Dalam sistem pemerintahan Islam (khilafah), negara menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar rakyatpangan, sandang, papan, pendidikan, dan kesehatansehingga rakyat tidak tertekan oleh kesulitan ekonomi.
Selain itu, Islam menjaga keharmonisan keluarga melalui aturan pernikahan dan tanggung jawab orang tua yang jelas. Anak tumbuh dalam lingkungan yang stabil dan penuh kasih sayang. Masyarakat juga diatur agar saling menasihati dalam kebaikan, bukan bersaing secara materialistik.
Sistem ini menciptakan ketenangan jiwa (thuma’ninah) karena setiap individu merasa hidupnya bermakna dan terlindungi. Gangguan mental yang disebabkan tekanan sosial dan ekonomi otomatis menurun, karena Islam menghapus akar penyebabnya.
Solusi hakiki hanya bisa ditemukan dengan kembali pada sistem Islam secara kaffah. Dalam sistem ini, pendidikan dibangun di atas akidah Islam, media dikendalikan oleh nilai syariat, dan negara menjalankan fungsi pelindung umat.
Islam hadir dengan solusi menyeluruhbukan hanya mengobati gejala, tetapi menghapus akar penyakitnya. Dengan pendidikan berbasis akidah, sistem sosial yang berkeadilan, dan negara yang menerapkan hukum Allah, maka generasi yang lahir adalah generasi tangguh, beriman, dan siap menghadapi kehidupan tanpa kehilangan arah.