LHOKSEUMAWE — Gelombang penolakan terhadap pengungsi Rohingya kembali menguat di Aceh. Pantauan media, Sabtu, 1 November 2025, spanduk-spanduk berisi pesan penolakan terhadap kedatangan imigran Rohingya marak terpasang di berbagai titik strategis di Kota Lhokseumawe, seperti kawasan Waduk Pusong, Stadion Tunas Bangsa, Simpang Empat Kota, hingga sejumlah ruas jalan perbatasan dengan Kabupaten Aceh Utara.
Isi spanduk yang terpampang mencerminkan kejenuhan masyarakat terhadap situasi yang berulang setiap tahun. Salah satu spanduk bertuliskan dalam bahasa Aceh, “Adat Aceh memang peumulia jame, tapi meunyo jame yang ka meu thon-thon, nyan kon jame le. Kajet peuteubit awak Rohingya dari Nanggroe Aceh.”
Kalimat ini bermakna bahwa adat Aceh memang menghormati tamu, namun jika tamu sudah terlalu lama menetap, maka bukan lagi tamu, melainkan beban yang sepatutnya dipulangkan.
Spanduk lain menampilkan tulisan “Aceh bukan tempat penampungan permanen bagi pengungsi Rohingya,” “UNHCR dan IOM keluar dari Aceh,” serta “Usut tuntas praktik people smuggling yang melibatkan oknum.” Sebagian warga bahkan menuduh lembaga internasional seperti UNHCR dan IOM menjadikan penanganan pengungsi sebagai ladang bisnis atas nama kemanusiaan.
Tokoh masyarakat pesisir Lhokseumawe menyebut bahwa masyarakat tidak menolak kemanusiaan, namun menolak eksploitasi situasi oleh pihak luar. Mereka meminta agar UNHCR dan IOM tidak menjadikan Aceh sebagai lokasi proyek jangka panjang yang tidak memberi kepastian.
Menurutnya, jika memang Indonesia hanya berstatus negara transit, maka harus ada batas waktu yang jelas bagi para pengungsi Rohingya untuk dipindahkan ke negara tujuan akhir.
Masyarakat menilai lemahnya ketegasan pemerintah pusat dan Pemerintah Aceh terhadap batas waktu transit telah menciptakan ruang bagi pihak-pihak tertentu untuk mengambil keuntungan. Praktik penyelundupan manusia (people smuggling) disebut makin terbuka dengan masuknya kapal-kapal pengungsi ke perairan Aceh tanpa pengawasan ketat.
Berdasarkan Konvensi Pengungsi PBB 1951 dan Protokol 1967, Indonesia tidak berkewajiban menampung pengungsi secara permanen karena bukan negara tujuan, melainkan hanya negara transit. Namun dalam praktiknya, banyak pengungsi Rohingya yang tinggal bertahun-tahun di Aceh tanpa kepastian status dan tanpa arah pemindahan yang jelas.
Hingga berita ini diterbitkan, spanduk-spanduk penolakan masih terpasang di berbagai titik dan belum ditertibkan aparat. Masyarakat menganggap keberadaan spanduk itu sebagai bentuk aspirasi dan peringatan agar lembaga internasional menghormati kondisi sosial serta budaya masyarakat lokal.
Pihak UNHCR dan IOM hingga kini belum memberikan tanggapan resmi, begitu pula Pemerintah Kota Lhokseumawe yang belum mengeluarkan pernyataan terkait meningkatnya penolakan masyarakat terhadap kehadiran pengungsi Rohingya di wilayah Aceh.(")