Oleh: Tri Lusiana, S.Pd (Aktivis Dakwah)
Air adalah sumber kehidupan. Namun ironisnya, di negeri yang diberkahi dengan ribuan mata air, kini banyak di antaranya justru dikuasai oleh perusahaan besar. Fenomena ini mencuat kembali setelah polemik terkait sumber air yang digunakan oleh perusahaan air minum dalam kemasan (AMDK) Aqua milik Danone Indonesia menjadi sorotan publik.
Kasus ini bermula ketika anggota DPR RI Dedi Mulyadi melakukan inspeksi mendadak ke salah satu sumber air yang dikelola Danone di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Ia menyoroti praktik eksploitasi air tanah dalam oleh perusahaan tersebut dan dampaknya terhadap keberlangsungan mata air masyarakat sekitar (tempo). Setelah kunjungan itu, muncul reaksi keras dari masyarakat yang menilai bahwa sumber air milik publik telah dikapitalisasi untuk kepentingan bisnis swasta.
Polemik ini semakin ramai ketika Indonesia Halal Watch mengingatkan bahwa perusahaan bisa terancam sanksi berat jika terbukti menyalahi izin atau merugikan masyarakat dalam pengelolaan sumber air . Bahkan, pakar hidrogeologi ikut menanggapi, menegaskan bahwa pengambilan air tanah dalam secara besar-besaran dapat menyebabkan turunnya muka air tanah, hilangnya mata air sekitar, serta kerusakan ekologis jangka panjang (mediaindonesia).
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa sebagian masyarakat di sekitar area industri air minum justru kesulitan mengakses air bersih, terutama saat musim kemarau. Di saat perusahaan mampu memproduksi jutaan liter air setiap hari untuk dijual, warga di sekitar lokasi sumur bor harus menunggu bantuan air tangki atau bergantian mengambil air dari sumber yang semakin kering. Ironi ini menggambarkan ketimpangan yang nyata dalam pengelolaan sumber daya air di negeri yang seharusnya kaya dan subur.
Kapitalisme dan Komersialisasi Sumber Kehidupan
Fenomena kapitalisasi air ini bukan hanya persoalan teknis, tetapi cerminan dari wajah asli sistem ekonomi kapitalistik. Dalam sistem ini, segala sesuatu yang memiliki nilai ekonomi termasuk sumber daya alam dapat diprivatisasi dan dijadikan komoditas untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya.
Pengambilan air tanah dalam secara besar-besaran menggunakan sumur bor industri tidak hanya mengganggu keseimbangan ekologi, tetapi juga merusak ketersediaan air untuk masyarakat sekitar. Ketika akuifer dieksploitasi tanpa batas, permukaan air tanah menurun, mata air di sekitar bisa mengering, dan tanah berisiko ambles. Dampak jangka panjangnya bukan hanya pada lingkungan, tapi juga pada kehidupan sosial ekonomi masyarakat kecil.
Namun yang lebih ironis, praktik seperti ini dilegalkan oleh sistem yang menempatkan air sebagai komoditas ekonomi, bukan hak publik. Negara tidak bertindak sebagai pelindung rakyat, melainkan sebagai fasilitator korporasi. Regulasi yang seharusnya melindungi rakyat malah sering kali lemah atau tidak ditegakkan. Dewan Sumber Daya Air Nasional (DSDAN) dan Direktorat Jenderal Sumber Daya Air di bawah Kementerian PUPR hingga kini belum mampu menghentikan praktik privatisasi air yang merugikan rakyat kecil.
Sistem kapitalisme memandang air hanya dari sisi nilai pasar. Siapa yang memiliki modal dan izin, dialah yang berhak mengambil dan menjualnya. Masyarakat yang tidak memiliki akses terhadap kekuasaan dan modal akhirnya menjadi korban. Bahkan, korporasi sering kali memanfaatkan celah hukum dan melakukan manipulasi data agar seolah-olah penggunaan air mereka sesuai izin lingkungan. Inilah wajah asli kapitalisme , sistem yang meniscayakan eksploitasi sumber daya demi keuntungan segelintir pihak, meski mengorbankan kemaslahatan banyak orang.
Kapitalisasi air juga menunjukkan betapa lemahnya peran negara dalam melindungi kepentingan publik. Negara seharusnya menjadi penjaga amanah sumber daya, tetapi justru sering tunduk pada tekanan investasi dan kepentingan korporasi multinasional. Dalam konteks inilah, kebijakan publik yang seharusnya menyejahterakan rakyat malah dijadikan sarana untuk melanggengkan bisnis privat atas nama pembangunan dan modernisasi.
Kapitalisme: Akar Masalah yang Tak Pernah Usai
Kapitalisme menjadikan semua aspek kehidupan tunduk pada prinsip “keuntungan”. Air yang seharusnya menjadi hak dasar setiap manusia berubah menjadi produk dagangan dengan harga pasar. Dalam sistem ini, akses terhadap air bukan lagi ditentukan oleh kebutuhan, tapi oleh kemampuan membeli.
Logika inilah yang menyebabkan ketimpangan: korporasi bisa menyedot jutaan liter air untuk dikemas dan dijual, sementara masyarakat di sekitar sumber air harus menunggu bantuan tangki air bersih. Kerusakan lingkungan dianggap sebagai collateral damage dari pertumbuhan ekonomi, dan semua diukur dari kontribusi terhadap PDB, bukan terhadap keberlanjutan hidup manusia dan alam.
Sistem kapitalistik juga menciptakan ketergantungan pada korporasi global. Perusahaan multinasional seperti Danone, Nestlé, atau Coca-Cola memiliki kekuatan finansial dan politik yang besar. Mereka mampu menguasai izin eksploitasi sumber daya air bahkan di wilayah yang seharusnya dikelola oleh pemerintah daerah. Dalam banyak kasus, negara justru memberikan karpet merah atas nama investasi. Maka, bukan rakyat yang berdaulat atas air, tapi korporasi.
Solusi Islam: Air sebagai Kepemilikan Umum
Berbeda dengan sistem kapitalisme, Islam memiliki paradigma yang tegas dalam mengatur kepemilikan dan pengelolaan sumber daya alam. Rasulullah ﷺ bersabda:
> “Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api.”
(HR. Abu Dawud dan Ahmad)
Hadis ini menunjukkan bahwa air adalah milik umum, bukan milik individu atau korporasi. Negara tidak boleh menyerahkan pengelolaannya kepada pihak swasta, apalagi asing. Dalam sistem Daulah Islamiyyah, air dikelola langsung oleh negara sebagai amanah untuk kemaslahatan seluruh rakyat.
Negara dalam sistem Islam wajib memastikan seluruh rakyat memiliki akses yang adil terhadap air bersih. Negara boleh memungut biaya distribusi atau pemeliharaan fasilitas, tetapi tidak boleh memperjualbelikan sumber air itu sendiri. Pengelolaan dilakukan dengan prinsip keadilan dan keberlanjutan ekologis, bukan orientasi keuntungan.
Selain itu, negara dalam sistem Islam akan memperketat pengawasan terhadap aktivitas industri yang berpotensi merusak lingkungan. Tidak ada izin eksploitasi besar-besaran terhadap akuifer atau sumber daya alam yang mengancam keseimbangan ekologi. Setiap pelanggaran yang menyebabkan kerusakan lingkungan akan dikenakan sanksi tegas, karena merusak alam berarti juga menzalimi manusia.
Islam juga mengatur etika bisnis dengan menekankan kejujuran dan tanggung jawab sosial. Bisnis yang berorientasi pada keuntungan semata tanpa memperhatikan kemaslahatan umat adalah bentuk kezaliman. Oleh karena itu, dalam ekonomi Islam, kegiatan produksi harus memperhatikan halal-haram serta dampaknya terhadap masyarakat dan lingkungan.
Wallahu'alam bishowab