Bupati Aceh Timur Dinilai Lalai Awasi Anggaran DBH-CHT dan Pajak Rokok: Rawannya Praktik Gelap di Balik Angka Miliaran Rupiah


author photo

24 Nov 2025 - 22.31 WIB


Aceh Timur --- Perencanaan dan penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH-CHT) dan pendapatan bagi hasil pajak rokok tahun anggaran 2025 di Kabupaten Aceh Timur diduga jauh dari asas transparansi. Sejumlah kejanggalan dalam alokasi dan realisasi anggaran ini memunculkan dugaan kuat adanya potensi penyimpangan dan korupsi yang luput dari pengawasan Bupati Aceh Timur selaku pemegang kendali kebijakan daerah. Senin (24 November 2025).

Kepala Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD) Kabupaten Aceh Timur, Zulkifli, SE, M.AP, mengungkapkan bahwa total pendapatan bagi hasil pajak rokok tahun 2025 mencapai Rp 22.260.984.807. Dari jumlah tersebut, terdapat mandatory penggunaan untuk BPJS kesehatan sebesar 37,5 persen atau sekitar Rp 8.347.869.303. Selain itu, tercatat DBH-CHT sebesar Rp 426.690.000 dan DBH Sawit sebesar Rp 3.145.579.000.

Namun, ketika ditanya lebih rinci soal peruntukan dan realisasi penggunaan anggaran, Zulkifli justru melempar tanggung jawab. Ia menyarankan agar wartawan atau pihak yang ingin tahu konfirmasi langsung ke dinas terkait. Jawaban singkat melalui sambungan telepon WhatsApp itu terkesan menghindar dan menambah tanda tanya besar soal transparansi pengelolaan dana publik bernilai miliaran rupiah tersebut.

Lebih jauh, penggunaan anggaran yang semestinya diarahkan untuk sosialisasi dan edukasi ketentuan cukai, bahaya rokok ilegal, serta pemberantasan peredaran rokok ilegal baik melalui kegiatan represif (operasi lapangan) maupun preventif, termasuk operasi bersama pemerintah daerah diduga jauh dari angka ideal minimal 10 persen.

Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Kasat Pol PP) Kabupaten Aceh Timur, Teuku Amran, SE, MN, ketika dikonfirmasi terkait porsi anggaran yang diterima instansinya untuk operasi dan penindakan rokok ilegal, justru mengaku hanya memperoleh sekitar Rp 40 jutaan. Jawaban singkat itu seolah menjadi tamparan keras: di tengah ancaman maraknya rokok ilegal dan potensi kebocoran pendapatan negara, anggaran penindakan justru terkesan “dikecilkan” tanpa penjelasan yang memadai.

Sementara itu, Plt Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Timur, Rijalul Fikri, S.KM, saat dimintai keterangan mengenai total pagu anggaran yang bersumber dari bagi hasil pajak rokok, juga tidak mampu menyampaikan data secara gamblang. Ia mengaku tidak lagi mengingat total pagu, dengan alasan bahwa penggunaan dana tersebut menyebar di semua bidang. “Saya cek dulu data,” ujarnya singkat melalui telepon WhatsApp.

Rangkaian jawaban setengah hati dari para pejabat kunci ini justru menegaskan satu hal: minimnya keterbukaan informasi publik terkait pengelolaan DBH-CHT dan pajak rokok di Aceh Timur. Di atas kertas, dana ini seharusnya digunakan untuk melindungi kesehatan masyarakat, memperkuat jaminan kesehatan, menekan peredaran rokok ilegal, serta mendukung penegakan aturan cukai. Namun di lapangan, yang tampak justru ketidakjelasan aliran anggaran dan lemahnya koordinasi antar instansi.

Kondisi ini menempatkan Bupati Aceh Timur dalam sorotan tajam. Sebagai kepala daerah, ia memiliki kewenangan sekaligus kewajiban untuk memastikan setiap rupiah dana publik dikelola secara transparan, akuntabel, dan berpihak pada kepentingan masyarakat. Ketika pejabat teknis gagap data, saling lempar, dan tidak mampu menjelaskan alokasi anggaran secara rinci, maka wajar jika publik mempertanyakan ada apa dengan pengelolaan DBH-CHT dan pajak rokok di Aceh Timur?

Minimnya transparansi bukan sekadar masalah administrasi. Di balik angka miliaran rupiah yang tidak dijelaskan dengan terang benderang, selalu terbuka ruang bagi praktik mark up, penggelembungan kegiatan, hingga proyek fiktif yang rentan berujung pada tindak pidana korupsi. Apalagi jika fungsi pengawasan internal dan eksternal baik oleh Inspektorat, DPRK, maupun aparat penegak hukum tidak berjalan efektif dan cenderung tutup mata.

Publik Aceh Timur berhak mengetahui berapa sesungguhnya dana yang dialokasikan untuk menekan peredaran rokok ilegal, bagaimana mekanisme penggunaannya, siapa pelaksana kegiatannya, dan sejauh mana hasil yang telah dicapai. Tanpa keterbukaan ini, pengelolaan DBH-CHT dan pajak rokok hanya akan menjadi ladang basah yang dikelola dalam senyap, jauh dari kontrol warga yang sesungguhnya menjadi pihak paling berhak menikmati manfaatnya.(Ak)
Bagikan:
KOMENTAR