Oleh : Andi Putri (Praktisi Pendidikan dan Relawan Penulis)
Rumah tangga adalah pondasi mendasar umat, bagaimana kabar generasi dimasa depan jika kondisi rumah tangga tidak mampu menjadi “rumah” bagi pemiliknya. Atau bagaimana mau ditempati jika kemudian rumah itu hancur. Kasus perceraian menghantui masa depan setiap rumah tangga yang ada. kata kunci ”cerai” mencapai puncak pencarian tertinggi sepanjang tahun pada minggu terakhir agustus di tahun 2025. Bahkan Google Trends turut mencatat popularitas kata kunci tersebut tak surut hingga memuncak lagi di minggu ketiga Oktober.
Lihat saja yang terjadi di Bojonegoro. Angka perceraian di Bojonegoro menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. Hingga akhir Oktober 2025, Pengadilan Agama (PA) Bojonegoro telah memutus sebanyak 2.240 perkara dalam sepuluh bulan pertama tahun ini. Namun disisi lain, angka pernikahan justru menurun. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan tren perceraian terus naik sejak 2019 hingga 2022, sedangkan angka pernikahan justru menurun. Aji Sofanudin, Kepala PRAK-BRIN, menyampaikan bahwa berdasarkan data BPS 2024 yang mencatat sekitar 408.347 kasus perceraian, 78% di antaranya diajukan oleh pihak istri.
Kasus Perceraian Masalah Kompleks yang Tersistematis
Maraknya perceraian hingga terus menjadi permasalahan yang tak kunjung selesai disebabkan oleh banyak faktor. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023, menyatakan lima penyebab utama perceraian yang terjadi di Indonesia adalah perselihan yang terus berlanjut, masalah ekonomi, KDRT, dan mabuk. Namun permasalahan ini tidak hanya sebatas itu saja, jika didetilkan lebih lanjut akan lebih banyak lagi.
Disatu sisi ada upaya dari pemerintah untuk melakukan mitigasi dalam mencegah terjadinya perceraian di Masyarakat. Dari bimbingan perkawinan, membuat program yang bekerjasama dengan Lembaga Masyarakat bahkan sampai pada “tepuk sakinah” yang sempat viral di jagat media sosial. Hanya saja nampaknya belum mampu menjadi solusi tuntas masalah perceraian.
Perceraian sebenarnya tidak hanya berkutat pada dua pasangan, suami dan istri saja atau internal keluarga saja. Nyatanya, keluarga ini adalah institusi kecil yang menjadi bagian dari sistem kehidupan bernegara. Keberadaannya bukan berdiri sendiri, melainkan satu kesatuan dengan sistem kehidupan yang ada diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Pada kondisi saat ini, dasar kehidupan menerapkan sistem kehidupan kapitalisme. Standarnya manfaat, setiap pijakannya adalah nilai materi. Sehingga, yang terjadi banyak pasangan yang menikah hanya sebatas memuaskan syahwat dan meraih manfaat. Walhasil, jika keduanya tidak mampu diraih solusinya diakhiri dengan perceraian. Bahkan mudah berganti ganti pasangan meski masih berstatus menikah, semudah layaknya mengganti pakaian. Jika pakaiannya sudah tidak menarik lagi, ia akan ganti dengan yang lebih bagus.
Bukanlagi didasarkan pada keimanan, apalagi nilai ibadah. Pernikahan akhirnya hanya sekedar formalitas diatas buku nikah. Ditambah lagi sistem pendidikan yang ada, tidak memberikan bekal untuk calon pengantin mempersiapkan masa depan keluarganya. Pendidikan yang sekuler menjadikan pernikahan jauh dari kata keimanan. Keluarga tanpa dibangun oleh landasan keimanan akan mudah kandas. Nilai-nilai ibadah tak dibangun sebagai pondasinya, akhirnya hal sepele mudah menjadi pemicu pertengkaran hingga KDRT.
Kehidupan keluarga juga dihantui oleh sistem sosial yang liberal, melahirkan perilaku bebas yang menjamur di Masyarakat. Baik secara langsung maupun tidak langsung melalui sosial media. Hal ini memicu syahwat dan perselingkuhan diluar rumah hanya untuk kenikmatan sesaat. Semakin diperparah dengan sistem hukum yang seolah memberi peluang perilaku tersebut atas nama hak asasi manusia. Selama suka sama suka tidak akan dipidanakan.
Belum lagi sistem ekonomi kapitalis yang tak berpihak pada rakyat, menjadikan hidup sempit keluarga melarat. Yang miskin semakin miskin, yang kaya semakin kaya. Pajak melambung tinggi, lapangan kerja semakin sulit, harga bahan pokok melangit, menjadikan kehidupan keluarga semakin sesak dan sekarat. Bagimanapun kehidupan rumah tangga tidak bisa dilepaskan dari sistem Pendidikan, sosial, ekonomi, hukum dan lain-lain yang diterapkan di negara ini.
Kondisi sistem saat ini sangat rentan menggoyang bahtera rumah tangga, semua saling tarik menarik untuk menjatuhkan intitusi terkecil dari negara ini. Kitapun tidak bisa menutup mata atas hal ini, sebab permasalahan keluarga menjadi penentu kondisi generasi kedepannya. Generasi muda pengisi peradaban dipengaruhi bagaimana kehidupan dirumahnya. Apabila baik rumahnya, maka baik pula output generasinya.
Tidak sedikit masalah kenakalan remaja, bullying, pergaulan bebas pada generasi muda akibat dari rusaknya rumah yang mereka tempati. Gagalnya membentuk rumah tangga menjadikan gagalnya generasi terbaik terbentuk. Generasi yang buruk menjadikan masa depan negara akan ikut memburuk. Sehingga ini menjadi masalah sistemik yang juga harus diselesiakan dengan solusi sistemik juga.
Islam Hadir Sebagai Solusi Ketahanan Keluarga
Islam adalah agama sekaligus sebuah ideologi. Darinya melahirkan Aqidah dan peraturan kehidupan yang tak ada satupun luput untuk disolusikan didalamnya. Hal ini sejalan dengan firman Allah, “Tidaklah kami mengutus kamu (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) Rahmat bagi semesta alam.” (TQS. Al-Anbiya : 107). Dalam ayat ini isitlah islam rahmatan lil ‘alamin bermakna bahwa syariatnya itu jalbu al-mashalih wa dar’u al-mafasid (mendatangkan kemaslahatan dan mencegah kemafsadatan).
Sehingga berpalingnya dari syariat islam menjadikan banyaknya problem di dunia, Allah bahkan sudah mengingatkan didalam firmanNya, “Telah Nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia, supaya Allah menimpakan kepada mereka Sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka Kembali (ke jalan yang benar).” (TQS Ar-Rum : 41). Kehidupan yang sempit itu merupakan cerminan dari berpalingnya manusia dari Al-Qur’an dan As-Sunnah (SyariatNya) sebagai pedoman hidup dan aturan bernegara.
Dalam islam, kehidupan keluarga mempunyai kedudukan besar dalam kehidupan manusia. Keluarga menjadi penting sebab darinya-lah tempat lahir dan tumbuhnya generasi suatu bangsa yang kelak akan melanjutkan estafet perjalanan kehidupan suatu bangsa. Tidak heran akhirnya kehancuran sebuah keluarga menjadi faktor terbesar kehancuran Masyarakat.
Islam menetapkan pernikahan sebagai jalan satu-satunya mewujudkan keluarga. Dalam kitab An-Nidzam al-Ijtima’I fi al-Islam karya Syekh Taqiyuddin An-Nabhani menjelaskan bahwa, pernikahan adalah pengatur hubungan antar unsur kelelakian dan keperempuanan yang didasarkan pada syariat islam. Pernikahan dipandang sebagai kebutuhan alami manusia yang terkait erat dengan naluri melestarikan keturunan (gharizatun nau’) dan merupakan pondasi penting dalam sistem sosial islam.
Hanya saja harus disadari bahwa, bangunan keluarga akan kokoh jika didukung dengan sistem kehidupan yang tangguh. Tentunya dimulai dari sistem pendidikannya. Pendidikan dalam keluarga haruslah didukung oleh kurikulum Pendidikan yang diterapkan negara secara formal. Kurikulum pendidikan yang bertujuan membentuk kepribadian dengan menyelaraskan pola pikir dan pola sikap, bahkan memuat skill penguatan karakter pemimpin pada laki-laki dan karakter keibuan pada perempuan. Hal ini harus didukung oleh negara dengan menjaga agar pendidikan yang ada mampu berjalan dengan baik tanpa dirusak oleh informasi dalam media centak maupun online.
Dalam islam melahirkan sistem pemerintahan dan sistem ekonomi dengan konsep yang didasarkan pada akidah islam. Penerapan islam oleh negara tidak hanya mensejahterahkan rakyat tetapi juga memastikan ketentraman setiap individu warganya. Negara memastikan setiap anggota keluarga menjalankan peran dan fungsinya dengan baik. Islam mewajibkan suami atau para wali mencari nafkah (lihat surah Al-Baqarah ayat 233 dan An Nisa ayat 32).
Negara juga akan menyediakan lapangan kerja bagi laki-laki agar bisa memenuhi nafkah pada keluarga, memberikan pendidikan dan pelatihan kerja, bahkan memberikan modal usaha jika dibutuhkan. Bahkan dalam islam, negara akan menindak setiap suami yang tidak memenuhi kebutuhan keluarganya dengan baik tanpa udzur yang syari’.
Perempuan akan dijamin pula haknya dan memastikan pemenuhan kewajibannya sebagai ummun warobatul bait. Perempuan tidak lagi akan disibuki sebagai tulang punggung ekonomi keluarga, sehingga bisa fokus mengoptimalkan perannya. Disisi lain, para anak pun bisa menikmati tumbuh kembang yang sempurna dalam binaan penuh ibu yang cerdas dan terdidik dengan islam.
Walhasil, terciptanya keutuhan dan ketahanan keluarga serta lahirnya generasi hebat nan tangguh tidak akan bisa terwujud jika masih menerapkan sistem kehidupan kapitalis dalam segala aspek. Hanya dengan penerapan islam yang kaffah (menyeluruh) sebagai sistem kehidupan yang menggerakkan roda kehidupan bernegara, akan menjadi penyelamat bagi generasi kedepannya. Islam satu-satunya sistem yang bisa menjamin lahirnya generasi mulia yang tentunya berasal dari Zat Yang Mulia, Allah SWT.
Allah sudah menyempurnakan islam sebagaimana dalam firmanNya, “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan nikmat-Ku kepadamu, dan telah Kuridhai islam itu menjadi agama bagimu. (TQS Al-Maidah : 3)
Juga Allah menambahkan dalam firmanNya yang lain,
“Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam islam secara keseluruhanm dan jangalah kamu ikuti Langkah-langkah setan. Sungguh, ia adalah musuh yang nyata bagimu.” (TQS Al-Baqarah : 208)
Pun Rasulullah SAW sudah mengingatkan kita dalam hadits riwayat Imam Malik, Rasulullah bersabda, “Telah aku tinggalkan padamu dua perkara, kamu tdak akan tersesat selama berpegang teguh pada keduana yaitu, Kitabullah dan Sunnah Rasulullah.” Lantas apalagi yang menghalangi kita untuk tidak mengambil dan menerapkan islam secara menyeluruh? Allahu’alam bi shawab.