Aceh Utara — Proyek revitalisasi (Revit) di SMA Negeri 1 Pirak Timu, Kabupaten Aceh Utara, berubah dari harapan menjadi sumber kecurigaan. Program yang semestinya menghadirkan wajah baru sekolah justru diduga dipenuhi praktik monopoli, manipulasi struktur pelaksana, hingga pekerjaan fisik yang dinilai asal jadi. Kamis (20 November 2025).
SMAN 1 Pirak Timu yang beralamat di Jalan Cut Meutia, Desa Alue Bungkoh, Kecamatan Pirak Timu, dengan NPSN 69759157, tercatat mendapatkan paket revitalisasi tahun 2025 berupa rehab berat enam ruang kelas, rehab berat laboratorium, serta satu ruang lain di sudut sekolah. Proyek ini berada di bawah kepemimpinan Kepala Sekolah Samsul Hadi, S.Pd.
Namun, di balik deretan istilah “revitalisasi” dan “peningkatan mutu”, sejumlah temuan di lapangan memunculkan pertanyaan besar benarkah dana negara yang digelontorkan untuk pendidikan ini dikelola dengan benar?
Papan Informasi Menghilang, Transparansi Dipertanyakan
Di lokasi proyek, hal paling mencolok justru adalah sesuatu yang tak terlihat papan informasi proyek.
Tidak ditemukan satu pun papan yang memuat nilai anggaran, sumber dana, waktu pelaksanaan, maupun pelaksana kegiatan. Padahal, keberadaan papan informasi merupakan kewajiban dalam setiap pekerjaan yang menggunakan anggaran negara, sebagai bentuk transparansi kepada publik.
Hilangnya papan informasi ini bukan sekadar kelalaian teknis. Bagi banyak pihak, ini menjadi pintu masuk dugaan bahwa ada sesuatu yang sengaja ditutup-tutupi. Tanpa papan proyek, masyarakat, komite sekolah, hingga guru sulit menelusuri: berapa besar anggaran, siapa penanggung jawab, dan sampai kapan pekerjaan harus selesai.
Struktur Pelaksana Diduga Dirombak Sepihak
Informasi yang dihimpun dari berbagai sumber menyebutkan telah terjadi pergantian susunan pelaksana kegiatan di lapangan. Mulai dari ketua, sekretaris, hingga kepala pelaksana proyek, dikabarkan diganti secara sepihak oleh kepala sekolah.
Pergantian itu diduga tidak melalui mekanisme resmi dan tidak melibatkan pihak-pihak terkait. Padahal, struktur pelaksana sebelumnya disebut telah ditetapkan oleh kementerian. Jika benar demikian, perubahan sepihak ini bukan sekadar soal administrasi, melainkan indikasi intervensi untuk memusatkan kendali pada satu tangan.
Keputusan-keputusan penting terkait proyek, menurut sumber-sumber yang ditemui, mengerucut pada satu figur kepala sekolah.
Komite Sekolah “Hanya di Atas Kertas”
Dalam tata kelola pendidikan, komite sekolah seharusnya menjadi mitra strategis: dilibatkan dalam perencanaan, pelaksanaan, hingga pengawasan. Namun di SMAN 1 Pirak Timu, komite sekolah disebut hanya aktif di dokumen, pasif di lapangan.
“Komite ada cuma di atas kertas,” ungkap seorang sumber yang mengetahui dinamika di internal sekolah.
Komite dikabarkan tidak dilibatkan secara signifikan dalam proses ataupun pengawasan proyek revitalisasi. Ketidakhadiran komite dalam pengambilan keputusan membuat proyek strategis bernilai besar ini berjalan seperti urusan pribadi, bukan program publik yang dibiayai uang negara.
Pekerjaan Fisik Dinilai Asal Jadi
Pantauan di lapangan memperlihatkan kondisi yang mengkhawatirkan. Di beberapa titik, pengecoran lantai selasar dilakukan langsung di atas keramik lama tanpa pembongkaran terlebih dahulu. Praktik ini dinilai bertentangan dengan standar teknis pekerjaan konstruksi, baik dari sisi kekuatan maupun estetika.
Tak berhenti di situ, penggunaan material yang diduga berkualitas rendah juga ditemukan. Rangka baja yang terpasang dinilai tidak memenuhi standar teknis sebagaimana lazim digunakan untuk bangunan pendidikan yang akan menampung ratusan siswa setiap hari.
Alih-alih menunjukkan wajah baru yang kokoh dan aman, hasil pekerjaan fisik justru memunculkan kekhawatiran:
Apakah bangunan ini akan bertahan lama?
Apakah keselamatan siswa dan guru benar-benar dipikirkan?
Dugaan Monopoli Pengadaan Material
Sejumlah sumber menuturkan bahwa hampir seluruh proses pengadaan material, mulai dari semen, pasir, batu bata, kayu, hingga rangka baja, dikendalikan langsung oleh kepala sekolah.
Pengadaan material yang seharusnya melibatkan tim pelaksana atau panitia, disebut-sebut justru dimonopoli. Penentuan pemasok, jenis material, hingga jumlah pekerja, dikabarkan berada di bawah kendali satu orang kepala sekolah.
Minimnya pelibatan warga sekolah, termasuk guru dan komite, memperkuat kesan bahwa proyek ini dikelola secara tertutup, bukannya partisipatif. Dalam konteks penggunaan anggaran publik, praktik seperti ini membuka ruang lebar terhadap penyalahgunaan kewenangan dan potensi penyimpangan anggaran.
K3 Diabaikan, Pekerja Tanpa APD
Aspek keselamatan kerja (K3) yang seharusnya menjadi prioritas di setiap proyek konstruksi nyaris tak terlihat. Di lapangan, para pekerja terlihat bekerja tanpa Alat Pelindung Diri (APD) yang memadai, seperti helm proyek, sepatu safety, maupun perlindungan lain.
Kelalaian ini bukan hanya pelanggaran prosedur, tetapi juga mempertaruhkan keselamatan pekerja. Di lingkungan sekolah, di mana siswa lalu lalang, hal ini menambah daftar masalah serius dalam pelaksanaan proyek.
Respons Kepala Sekolah: Pesan WhatsApp yang Menggantung
Hingga laporan ini disusun, Kepala SMA Negeri 1 Pirak Timu, Samsul Hadi, S.Pd, belum memberikan klarifikasi substantif terkait dugaan-dugaan tersebut.
Melalui pesan WhatsApp yang diterima wartawan, kepala sekolah hanya menuliskan pernyataan singkat dalam bahasa daerah:
“Hana long tuoh peugah bang... berita bak ureng drou neuh... menyo nak rilis hana jeut long tham cit... tugas ureng drou neuh... cm adak jeut beujroh mndum... skedar peng kupi jeut long kirim bg. Neukirim rek..”
Alih-alih menjawab pertanyaan tentang transparansi anggaran, kualitas pekerjaan, dan dugaan monopoli pengadaan, pesan tersebut justru menambah kesan bahwa persoalan krusial ini belum dianggap perlu dijelaskan secara tuntas kepada publik.
Semangat Revitalisasi vs Praktik di Lapangan
Program Revitalisasi Satuan Pendidikan yang digagas Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi sejatinya bertujuan meningkatkan mutu sarana prasarana pendidikan melalui rehabilitasi dan pembangunan fasilitas sekolah.
Di atas kertas, program ini adalah upaya menghadirkan ruang belajar yang aman, layak, dan bermartabat bagi peserta didik. Namun, dugaan pelaksanaan “asal jadi”, monopoli pengadaan, serta pengabaian transparansi dan akuntabilitas di SMAN 1 Pirak Timu justru berpotensi merusak kepercayaan publik terhadap program tersebut.
Pertanyaannya kini mengarah ke para pemangku kebijakan di tingkat kabupaten hingga kementerian:
Apakah mereka mengetahui kondisi di lapangan?
Apakah ada pengawasan yang benar-benar berjalan?
Sampai kapan uang negara untuk pendidikan dibiarkan dikelola tanpa kontrol memadai?
Sementara itu, di tengah bangunan yang dikerjakan terburu-buru dan pekerja yang tanpa APD, para siswa tetap datang ke sekolah setiap hari. Mereka mungkin tidak mengetahui detail anggaran, struktur pelaksana, atau istilah “Revitalisasi Satuan Pendidikan”, tetapi satu hal pasti mereka berhak atas bangunan yang aman, berkualitas, dan bebas dari praktik penyalahgunaan kewenangan.(RB)