Oleh : Purwanti, S.Pd (Guru BK SMP)
FAĶTA
Fenomena tren femboy (cowok gemulai) yang semakin merebak di kalangan pemuda belakangan ini seolah menjadi cermin perubahan sosial yang cukup kompleks. Pemerintah bahkan melakukan pendataan terhadap siswa laki-laki yang berperilaku feminim atau gemulai dengan alasan agar mereka mendapat perhatian khusus untuk “diorientasikan” kembali sesuai karakter pemuda ideal menuju generasi emas 2045. Namun, di balik niat baik tersebut, muncul kegelisahan dan reaksi keras dari kalangan muda yang menilai pendekatan seperti ini kurang tepat dan berpotensi mendiskriminasi.
Untuk memahami fenomena ini lebih dalam, penting menilik konteks sosial yang lebih luas, yaitu sistem sekuler kapitalis yang mendominasi kehidupan masyarakat modern saat ini. Sistem ini menempatkan nilai ekonomi, konsumerisme, dan individualisme pada posisi utama, sementara aspek spiritual dan norma-norma sosial tradisional mengalami banyak perubahan dan tantangan.
Dalam logika kapitalis yang mengedepankan efisiensi, produktivitas, dan pasar bebas, karakter laki-laki ideal seringkali dipersempit menjadi sosok yang kuat, tegas, dan maskulin sesuai standar “formal” untuk mendukung fungsi ekonomi dan sosial tertentu. Sementara itu, ekspresi feminim atau sifat “gemulai” pada laki-laki kerap dianggap sebagai hal yang menyimpang dan tidak sesuai dengan citra maskulinitas tersebut. Akibatnya, bentuk ekspresi diri yang tidak sesuai dengan norma ini mudah dijadikan kambing hitam dan diperlakukan berbeda secara sosial bahkan institusional.
Pendataan terhadap siswa dengan perilaku feminin sebenarnya adalah manifestasi dari cara sistem kapitalis sekuler mempertahankan dominasi norma hegemonik yang sangat kaku terhadap peran gender. Ini adalah bentuk kontrol sosial terselubung yang mendikotomi karakter manusia ke dalam kategori yang sempit demi menjaga agar sistem berjalan efisien tanpa gangguan “ketidaksesuaian.” Dengan kata lain, sistem ini tidak sepenuhnya menghargai keberagaman manusia secara alami dan kompleks.
Padahal, dalam tataran kemanusiaan yang sejati, sifat gemulai atau feminin bukan cerminan kelemahan, melainkan bagian dari spektrum luas karakter manusia yang valid. Menyeragamkan perilaku manusia berdasarkan kerangka maskulinitas tradisional justru mereduksi potensi kreativitas dan perkembangan emosional yang diperlukan dalam kehidupan sosial dan juga ekonomi yang semakin dinamis dan kompleks saat ini.
Dari sudut pandang pendidikan, intervensi yang bersifat pendataan dan koreksi perilaku semacam ini perlu dikritisi secara tajam. Apakah tindakan tersebut hanya menjalankan logika birokrasi yang sekadar mengejar “normalisasi,” ataukah hendak membangun pemuda dengan kesadaran dan karakter yang inklusif, adaptif, dan terbuka terhadap kemajemukan?
Sistem kapitalis yang didukung orientasi sekuler cenderung mengabaikan pentingnya ruhani dan nilai moral yang berakar pada tradisi dan kebudayaan luhur. Akibatnya, problematik identitas dan ekspresi diri yang muncul dalam tren cowok gemulai ini menjadi gejala dari kekosongan nilai-nilai yang autentik dan mandiri, digantikan oleh standar sosial yang seragam dan seringkali tak manusiawi.
Mereka sebenarnya adalah penyakit sosial yang harus dan bisa disembuhkan. Bukan malah dianggap sebagai sifat bawaan yang bisa ditoleransi keberadaannya.
Tidak hanya itu, belakangan juga muncul pendapat bahwa adanya gay, lesbian, biseksual, transgender, dan penyimpangan seksual lainnya merupakan kebebasan orientasi seksual seseorang yang harus diterima oleh siapa pun. Bahkan beberapa pihak mengaitkannya dengan hak asasi manusia. Siapa pun berhak menentukan atas dirinya mau menjadi apa dan tidak boleh ada orang lain untuk mencampurinya, karena dinilai melanggar HAM.
Demokrasi dan HAM memang menjamin kebebasan berekspresi, termasuk dalam urusan seksual. Inilah sebenarnya yang menjadi pangkal persoalan diterima atau tidaknya eksistensi kaum gay.
Dengan demikian, tren femboy (cowok gemulai) adalah fenomena sosial yang membutuhkan respon kritis dan dialog terbuka tentang makna maskulinitas, keberagaman, dan karakter pemuda dalam konteks sistem yang selama ini mendominasi, yaitu sekuler kapitalis. Mengabaikan persoalan ini hanya akan memperdalam konflik identitas dan perpecahan sosial yang justru merugikan komitmen kita sebagai bangsa menuju generasi emas 2045.
Akar Masalah dari Trend Femboy (Cowok gemulai) ini Buah dari Penerapan Sistem Sekuler
Fenomena femboy (cowok gemulai) yang kini mulai memicu kekhawatiran di kalangan pemerintah dan sebagian masyarakat menunjukkan betapa kompleks dan sensitifnya persoalan ekspresi gender di era modern. Keputusan pemerintah untuk melakukan pendataan dan intervensi agar siswa yang berperilaku feminin “kembali normal” mencerminkan keresahan akan perubahan pola sosial yang selama ini dianggap menyimpang dari norma tradisional.
Namun, reaksi negatif terhadap rencana tersebut justru mengungkap realitas sosial yang lebih luas. Banyak komunitas dan individu yang mendukung keberagaman ekspresi gender justru menjadi pemicu munculnya resistensi. Hal ini menunjukkan transformasi sosial yang sudah tidak bisa dipandang sebelah mata, di mana batas-batas antara maskulinitas dan feminitas menjadi semakin kabur dan tidak lagi mutlak seperti dulu.
Salah satu faktor utama ketidakjelasan sikap terhadap fenomena ini adalah ketiadaan pedoman yang jelas dari lembaga pendidikan, guru, bahkan orang tua. Dalam praktiknya, banyak sekolah dan keluarga yang bingung menentukan sikap karena memang tidak ada aturan tegas yang mengatur soal ekspresi gender dan moralitas yang berpijak kuat pada nilai agama. Pendidikan formal dan sosial di Indonesia saat ini cenderung berjalan dalam kerangka sekuler yang memisahkan agama hanya pada dimensi ritual, sementara nilai sosial dan budaya berjalan tanpa pijakan moral agama yang terpadu.
Akibat penerapan sistem sekuler ini, pemerintah dan lembaga pendidikan tidak memiliki standar moral yang tegas untuk mengatur batasan ekspresi siswa. Kebebasan berekspresi, identitas, dan perilaku yang dipupuk oleh sistem ini dianggap hak mutlak individu, tanpa dikaitkan dengan kriteria benar-salah berdasarkan syariat agama. Hal tersebut membuka ruang bagi perilaku yang sebelumnya dianggap tabu atau menyimpang menjadi lebih mudah diterima dan berkembang.
Sistem sekuler kapitalis yang mendominasi konteks sosial saat ini juga ikut membentuk dinamika tersebut. Sistem ini memuliakan kebebasan individu secara luas, mengutamakan hak atas ekspresi diri tanpa batasan yang berat secara negara atau sosial kecuali jika menyangkut pelanggaran hukum fisik. Peran negara menjadi sangat minimal dalam mengatur moral atau norma sosial yang bersumber dari ajaran agama dan nilai luhur budaya bangsa.
Karena pembinaan moral dan norma tidak dijalankan secara optimal oleh negara maupun lembaga pendidikan formal, komunitas atau gaya hidup yang mengadopsi ekspresi gemulai sering bebas tanpa pembatasan. Sekolah pun tidak mendapat instruksi kurikulum yang mengintegrasikan nilai agama secara menyeluruh sehingga tidak ada sanksi atau aturan yang mengatur perilaku yang dianggap merusak fitrah laki-laki menurut perspektif islam.
Di sinilah letak persoalannya: ketika norma moral agama tidak diintegrasikan dengan sistem pendidikan dan aturan sosial, maka kebebasan berekspresi menjadi semu dan tanpa arah yang jelas, memicu keresahan bagi sebagian kalangan yang menjunjung tinggi nilai tradisi dan fitrah. Sekaligus menimbulkan tantangan serius bagi pembangunan karakter bangsa yang membentuk generasi pemuda yang kuat secara spiritual dan mental.
Pendekatan yang hanya menekankan pendataan dan “normalisasi” tanpa akar nilai yang kokoh dan komprehensif akan sulit berhasil dan justru menghadirkan perpecahan. Perlu kebijakan dan pendidikan yang berlandaskan keseimbangan antara menghargai kebebasan individu sekaligus membangun bingkai moral yang jelas berdasar ajaran agama dan budaya untuk membimbing para pemuda dalam mengekspresikan diri secara sehat dan bertanggung jawab.
Dengan demikian, fenomena femboy (cowok gemulai) hari ini sebenarnya adalah panggilan bagi kita semua untuk merefleksikan kembali arah pendidikan, kebijakan sosial, dan peran negara dalam menjaga moralitas sekaligus menghormati keberagaman. Hanya dengan memahami akar persoalan yang berlapis ini, kita bisa merumuskan langkah-langkah strategis yang efektif dan manusiawi.
Solusi Negara Atas Tren Femboy dalam Perspektif Islam kaffah
1. Menjaga dan Memperkokoh Fitrah Identitas Gender
Islam menegaskan bahwa identitas gender laki-laki dan perempuan adalah bagian dari fitrah yang harus dijaga secara tegas agar tidak rusak atau tergeser. Hadis Nabi Muhammad SAW yang menyatakan, “Dan tidaklah laki-laki menyerupai perempuan, dan tidak pula perempuan menyerupai laki-laki” (HR. Bukhari), jelas menjadi pedoman utama dalam membimbing remaja agar tetap sesuai dengan peran yang telah ditetapkan Allah.
Namun, penting diingat bahwa Islam melarang perilaku yang merusak fitrah, bukan membenci atau menghakimi individu yang menunjukkan perilaku tersebut.
2. Peran Keluarga: Penguatan Identitas Sejak Dini
Keluarga adalah institusi utama yang bertanggung jawab membangun keteguhan identitas dan fitrah pada anak sejak usia dini. Orang tua harus aktif membimbing dengan memberikan penguatan yang konsisten terhadap peran dan karakter laki-laki sesuai ajaran Islam. Membekali remaja dengan lingkungan positif sangat penting, misalnya mendorong partisipasi dalam kegiatan olahraga, organisasi pemuda, kegiatan masjid, serta klub yang sehat. Keluarga juga perlu mengarahkan anak memilih pergaulan yang dapat memperkuat karakter Islami, sekaligus mengurangi konsumsi konten media yang mendorong perilaku feminin yang tidak sesuai fitrah.
3. Peran Masyarakat: Menciptakan Lingkungan Sosial yang Melindungi Fitrah sebagai manusia
Masyarakat memegang peranan kritis dalam memberikan ruang aman bagi remaja agar dapat mencari jati diri dan tumbuh kembang sesuai bimbingan agama. Lingkungan sosial harus mencegah dan tidak memberikan panggung apalagi meromantisasi perilaku yang menyimpang dari fitrah. Komunitas dan tokoh masyarakat perlu turut menyampaikan nasehat dan dukungan agar para pemuda merasa didukung untuk menjalankan identitas gender yang benar, tanpa tekanan diskriminatif. Hal ini akan membantu meminimalkan gelombang perilaku gemulai serta menjaga keharmonisan sosial.
4. Peran Negara: Sebagai Pengendali dan Pengawasan Berbasis Syariat
Negara berfungsi mengendalikan paparan informasi dan budaya yang diterima oleh masyarakat dengan mengimplementasikan sistem filtrasi yang ketat terhadap konten tontonan dan hiburan yang mempromosikan feminisasi laki-laki, cross-gender humor, atau gaya hidup hedonis. Negara juga wajib mendorong produksi dan penyebaran konten yang positif, mendidik, dan sesuai dengan nilai-nilai Islam untuk memperkuat akidah dan akhlak generasi muda.
Dalam bidang pendidikan, negara perlu mengatur kurikulum yang berbasis akidah dan akhlak Islam sehingga sekolah menjadi tempat pembinaan moral dan karakter yang kokoh. Tidak hanya sebagai pusat ilmu pengetahuan, lembaga pendidikan harus berfungsi sebagai benteng penguat fitrah dan saya pendidik harus mendapatkan pelatihan yang memadai agar dapat menjalankan tugas ini dengan efektif.
Secara hukum, negara juga perlu menyiapkan regulasi yang memberikan sanksi tegas bagi mereka yang sengaja terus-menerus melakukan perbuatan yang merusak fitrah tanpa niat bertaubat. Sanksi ini bukan sekadar hukuman fisik, melainkan juga dimaksudkan sebagai upaya rehabilitasi dan pembinaan agar orang tersebut bisa kembali kepada jalan yang benar.
Dengan solusi yang terpadu antara keluarga, masyarakat, sekolah, dan negara berbasis nilai Islam, fenomena cowok gemulai yang saat ini menjadi isu sosial dapat ditangani secara efektif. Pendekatan ini memberikan keseimbangan antara pembinaan moral dan penghormatan terhadap individu, sehingga membentuk generasi muda yang kuat secara spiritual, terjaga fitrahnya, dan siap menyongsong masa depan yang lebih baik sesuai rahmat Allah.
Wallahu alam Bi showab