Oleh: Novita Ekawati
Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Kota Samarinda menegaskan pentingnya pembinaan ideologi Pancasila bagi pelajar sebagai pondasi dalam menghadapi arus globalisasi dan modernisasi yang semakin kuat. Melalui kegiatan bertema “Penguatan Nasionalisme Generasi Muda Melalui Paskibraka”, Kesbangpol berupaya menumbuhkan kembali semangat cinta tanah air dan kebanggaan sebagai warga negara Indonesia.
Kabid Ideologi, Wawasan Kebangsaan, dan Karakter Bangsa Kesbangpol Kota Samarinda, Ida Zuraidah, mengatakan kegiatan tersebut merupakan tindak lanjut dari berbagai regulasi pemerintah pusat terkait penguatan nilai-nilai kebangsaan. Menurutnya, kegiatan ini tidak hanya sebatas seremoni tahunan, tetapi bagian dari strategi pembinaan karakter generasi muda agar memiliki rasa nasionalisme yang kuat serta mampu mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.
Globalisasi
Globalisasi secara bahasa terdiri dari kata global dan isasi. Global berarti mendunia, sedangkan isasi menunjukkan proses. Singkatnya, globalisasi adalah proses menuju sesuatu yang mendunia. Secara lebih luas, arti globalisasi adalah proses integrasi internasional yang terjadi akibat pertukaran pandangan dunia, produk, pemikiran, dan aspek kebudayaan lainya. Proses ini didukung kemajuan infrastruktur komunikasi dan transportasi, sehingga globalisasi merupakan pemadatan dunia dan pemerkayaan kesadaran masyarakat dunia.
Tidak dipungkiri globalisasi telah membawa dampak dalam tatanan kehidupan, baik itu positif maupun negatif bagi masyarakat. Cepatnya perkembangan teknologi dan informasi sebagai bagian dari arus globalisasi terkadang berjalan tanpa filter dan berkembang sesuai dengan ideologi yang berkembang di dunia saat ini (Kapitalisme). Di mana derasnya opini dan informasi yang tidak berlandaskan pada nilai keimanan dan nilai-nilai akidah, membuat para generasi yang masih dipenuhi dengan rasa ingin tahu yang besar telah terjebak tanpa sadar dalam budaya yang semakin menjauhkan mereka dari nilai-nilai moral dan keislaman.
Kehidupan serba kapitalistik dan materialistik, membuat siapa pun berpikir untuk menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuan. Para generasi muda dituntut untuk membawa perubahan tanpa meninggalkan identitas kebangsaannya. Seakan indentitas kebangsaan menjadi kunci untuk menuju pembangunan yang lebih baik di tengah derasnya gempuran modernitas dan globalisasi.
Di era globalisasi dan modernisasi ini, wacana menjaga keseimbangan antara kebangsaan dengan nasionalisme dan keislaman adalah kunci untuk membangun Indonesia yang lebih baik terus diopinikan. Namun menjadi pertanyaan, apakah benar nasionalisme dan nilai-nilai kebangsaan itu dapat menghantarkan masyarakat pada suatu peradaban yang lebih baik dan mulia?
Nasionalisme Menjauhkan Nilai Islam
Paham kebangsaan/nasionalisme dan Islam adalah dua “isme” yang berbeda, bahkan bertolak belakang. Nasionalisme adalah tatanan hidup bernegara yang lahir dari sistem sekuler kapitalisme Barat yang memisahkan agama dari kehidupan. Ideologi ini menyebarkan pemikiran-pemikirannya melalui penjajahan. Bentuk penjajahan itu sendiri bermacam-macam, di antaranya kebudayaan, ekonomi, dan militer.
Barat telah mencekoki kita bahwa mereka telah bangkit berlandaskan nasionalisme dan memaksakan kebudayaan mereka pada umat Islam dengan memasukkan kebudayaan-kebudayaan tersebut dalam kurikulum pendidikan dan berbagai media informasi. Akibatnya, berbagai persepsi dan eksperimen Barat telah dijadikan patokan baku bagi pelajar dan politikus muslim. Jadilah semua yang serba kebarat-baratan pun diadopsi, dianggap modern dan maju. Sebaliknya, semua yang tidak berasal dari Barat ditolak, dianggap ketinggalan zaman. Begitu juga dengan putra-putri terbaik kaum muslim yang belajar di universitas-universitas di Barat, mereka terpesona dengan peradaban Barat hingga mereka menyerukan untuk meniru peradaban Barat dalam menyongsong kebangkitan umat Islam.
Dalam hal perilaku, umat Islam sendiri saat ini telah jauh menyimpang dari hukum-hukum Islam dan melakukan berbagai aktivitas atas dasar manfaat. Atas nama nasionalisme pula, Barat telah merampok dan mengeksploitasi besar-besaran kekayaan alam di negeri-negeri muslim dan digunakan untuk membiayai eksistensi penjajahannya. Mereka juga mengambil nilai-nilai Islam untuk merawat nasionalisme dengan program moderasi beragama yang sejatinya merupakan serangan terhadap Islam, yakni sekularisasi Islam. Tujuannya, merusak ajaran Islam dan menjauhkan umat dari Islam.
Selain itu, mengambil Islam sebatas nilai-nilai tanpa menerapkan secara praktis, jelas tidak akan mampu melahirkan SDM unggul yang mengantarkan bangsa ini menjadi negara hebat. Berbagai permasalahan yang memorak-porandakan bangsa ini justru terjadi akibat penerapan sistem sekuler kapitalisme dengan konsep kebangsaan sebagai tatanan bernegara, pada saat yang sama menyingkirkan penerapan Islam dari kehidupan.
Generasi Unggul Lahir dari Sistem yang Benar
Islam adalah agama yang sempurna, tidak memerlukan lagi tambahan dari isme mana pun. Allah telah mengharamkan mengambil sistem atau aturan selain Islam dalam memecahkan setiap permasalahan hidup manusia. Allah juga mengharamkan untuk berhukum pada selain hukum Islam. Artinya, umat Islam diharamkan mengambil bagian-bagian mana pun dari peradaban Barat.
Di tengah kemerosotan mental tersebut, generasi ini malah dijauhkan dari ajaran agamanya yang hakiki dengan adanya proyek moderasi beragama. Para pelajar didesain untuk mewujudkan profil Pelajar Pancasila yang tidak pernah ada wujud hakikinya. Kurikulum yang ada hanya mencangkok sana cangkok sini. Akibatnya, negara tidak akan mampu menyelesaikan permasalahan generasi ini sampai tuntas.
Penerapan Kurikulum yang berbasis pada ideologi Sekularisme-Kapitalisme tampak hanya mengedepankan output menjadi mesin pabrik. Jauh dari pembentukan kepribadian dengan kualitas pola pikir, pola sikap, serta penguasaan pengetahuan dan teknologi yang bermanfaat bagi seluruh alam semesta ini.
Terlebih ketika asas kapitalistik menjadi dasar Kurikulum pendidikan saat ini belum menggunakan pemeringkatan, Programme for International Student Assessment (PISA) sebagai standar keberhasilan capaiannya dari nilai materi, yakni literasi dan numerasi yang ditetapkan PISA. Keberhasilan pendidikan pun hanya diukur dengan keterserapan lulusan di dunia kerja.
Sebaliknya, Islam sebagai sebuah sistem kehidupan, memiliki solusi tuntas atas permasalahan generasi, bahkan umat manusia. Hal ini dikarenakan Islam merupakan ajaran yang langsung bersumber dari Sang Pencipta kehidupan yaitu Allah Azza Wajalla.
Sepanjang sejarah penerapan Islam, melalui negara yang disebut Khilafah, telah menerapkan Islam secara menyeluruh (kaffah) dalam seluruh aspek kehidupan, baik itu kebijakan di dalam negeri maupun kebijakan/ aturan di luar negeri. Peradaban Islam mampu bersaing di kancah dunia internasional. Bahkan, peradaban Islam melalui Khilafah telah menjadi mercusuar dunia yang mana banyak negara di luar Islam ingin menikmati kehebatan dan kejayaan peradaban Islam.
Maka dari itu, jika ingin menjadikan bangsa ini maju dan memiliki nilai dimanapun, maka yang paling dasar adalah mengubah sistem di negeri ini, dengan kembali kepada sistem yang benar dan hakiki (Islam). Kemudian meninggalkan mengambil role model peradaban Barat yang telah nyata usang dan rusak, dan menggantinya dengan role model peradaban Islam, yang telah terbukti pernah berjaya selama hampir 13 abad lamanya. Sehingga bukan hal yang mustahil bagi kaum Muslimin untuk kembali kepada kejayaan itu, selama kaum Muslimin bersatu dan menginggalkan sekat-sekat kebangsaan/ Nasionalisme. Wallahu a’lam bissawab.