Dalam sepekan terakhir, dua siswa SMP di Cianjur dan Sukabumi ditemukan meninggal dunia diduga akibat bunuh diri. Kasus serupa juga terjadi di Sawahlunto, Sumatera Barat, ketika dua pelajar ditemukan gantung diri di area sekolah. Hasil penyelidikan menyebutkan tidak ada indikasi perundungan, menandakan bahwa faktor pemicu bunuh diri tidak semata berasal dari tekanan eksternal, tetapi juga kondisi kejiwaan yang rapuh.
Fenomena ini menambah daftar panjang kasus gangguan mental di kalangan pelajar Indonesia. Data Kementerian Kesehatan menunjukkan, dari 20 juta anak yang diperiksa, lebih dari dua juta mengalami masalah kesehatan jiwa. Lonjakan ini menggambarkan adanya krisis yang bersifat sistemik, bukan sekadar persoalan individu.
Secara analitis, meningkatnya angka bunuh diri pelajar merupakan gejala dari rapuhnya fondasi kepribadian generasi muda. Sistem pendidikan sekuler cenderung menekankan capaian akademik dan kompetisi, namun mengabaikan pembentukan moral dan spiritual. Akibatnya, banyak anak tumbuh dengan orientasi materialistik dan tidak memiliki kekuatan batin untuk menghadapi tekanan hidup. Pendidikan agama pun sering kali diajarkan secara teoritis, tanpa membentuk kesadaran mendalam tentang makna hidup dan tujuan penciptaan.
Selain itu, paradigma pendidikan modern yang memandang kedewasaan semata-mata berdasarkan usia membuat anak-anak yang telah balig tidak diarahkan untuk berpikir dan bersikap dewasa. Ditambah lagi, paparan media sosial yang intens terhadap isu bunuh diri menciptakan efek penularan emosional dan memperbesar risiko di kalangan remaja yang rentan.
Dalam konteks ini, diperlukan sistem pendidikan yang tidak hanya mencerdaskan intelektual, tetapi juga menumbuhkan ketahanan spiritual dan moral. Pendidikan yang berlandaskan nilai-nilai agama harus menjadi fondasi sejak dini, agar anak memiliki pola pikir dan sikap yang kuat dalam menghadapi tekanan hidup.
Pendidikan berbasis nilai ketuhanan tidak hanya membentuk karakter, tetapi juga memberikan arah hidup yang jelas—bahwa manusia hidup bukan semata untuk prestasi duniawi, melainkan untuk menjalankan amanah moral dan kemanusiaan. Dengan demikian, membangun generasi tangguh memerlukan reformasi paradigma pendidikan menuju keseimbangan antara akal, moral, dan spiritual.