Oleh : Wiwik Afrah (Aktivis Muslimah)
Ratusan perusahaan swasta dan BUMN antusias menyambut program pemagangan nasional yang akan diluncurkan pada 15 Oktober 2025 mendatang. Hingga dua pekan jelang digulirkan, tercatat sudah 451 perusahaan mengajukan diri sebagai penyelenggara pemagangan untuk 1300 posisi yang diajukan dan 6000an calon pemagang. Tahap pertama, sebanyak 20 ribu lulusan baru perguruan tinggi akan menjalani program Magang Nasional selama 6 bulan (15 Oktober 2025 - 15 April 2026) dan akan ditambah jika animo mahasiswa fresh graduate terus meningkat. "Hingga hari ini, sudah ada 451 perusahaan yang mendaftar untuk ikut program magang yang akan dijalankan melalui skema kerja sama antara perguruan tinggi dengan dunia usaha, " ujar Sekjen Kemnaker Cris Kuntadi dalam Siaran Pers Biro Humas Kemnaker, di Jakarta, Minggu (5/10/2025).
Cris Kuntadi menjelaskan Magang Nasional merupakan bagian dari Paket Ekonomi 8+4+5 2025 yang diluncurkan oleh Kemenko Perekonomian atas arahan Presiden Prabowo Subianto.
Program ini menyasar lulusan Diploma (D1-D4) dan Sarjana (S1) yang lulus dalam maksimum 1 tahun terakhir. "Magang Nasional bertujuan untuk mengenalkan dunia kerja, meningkatkan kompetensi terkait bidang keilmuannya, dan memberikan pengalaman kerja sehingga memiliki peluang untuk bisa bekerja, " kata Cris. Peserta yang lolos program Magang Nasional akan memperoleh fasilitas berupa uang saku (setara upah minimum) dibayar pemerintah yang disalurkan langsung ke peserta magang melalui Bank Himbara. Peserta magang juga memperoleh fasilitas jaminan sosial yakni Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JM) yang dibayar Pemerintah. Fasilitas lainnya yakni Mentor dari perusahaan. "Kewajiban perusahaan adalah memberikan laporan kemajuan magang setiap bulan kepada Kemnaker, " ujar Cris Kuntadi.
Wakil Rektor Bidang Pendidikan dan Kemahasiswaan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Prof. Zuly Qodir, memberikan pandangan kritis terkait inisiatif pemerintah ini. Menurutnya, program ini menyimpan dilema. Di satu sisi, Program Magang Nasional dapat menjadi jembatan antara dunia pendidikan dan dunia kerja. Hanya saja, ada potensi eksploitasi terhadap para fresh graduate yang minim daya tawar. Hal ini sesungguhnya mengindikasikan bahwa sistem ekonomi kapitalisme saat ini menghasilkan problem sistemis untuk generasi, yakni meningkatnya pengangguran. Bagaimana komparasi sistemis atas masalah ini.?
Akar masalah pengangguran sesungguhnya bersumber pada paradigma ekonomi kapitalistik. Falsafah ekonomi ala kapitalis menitikberatkan pada penguasaan modal oleh segelintir orang.
Kapitalisme memberikan ruang yang sebesar-besarnya bagi siapa pun untuk bebas memiliki dan mengembangkan sesuatu. Jaminan kebebasan, ditambah minimnya intervensi negara menjadikan para pemodal memiliki superioritas dalam mengendalikan ekonomi. Untuk mewadahi keserakahan para pemodal, negara yang sejatinya mitra bagi pemodal (negara korporasi) menciptakan pasar bebas yang menjadi ruang kompetitif bagi para pemodal. Pasar bak hutan yang menegakkan prinsip hukum rimba, “siapa yang kuat, dialah yang berkuasa”.
Dalam sistem ekonomi kapitalisme pula, kepemilikan faktor produksi didominasi oleh individu atau swasta.
Prinsip utamanya adalah pencarian melalui mekanisme pasar bebas. Namun dalam praktiknya, hal ini sering menimbulkan konsentrasi kekayaan di tangan segelintir orang atau korporasi besar.
Akibatnya, perputaran harta tidak merata di antara seluruh lapisan masyarakat. Golongan kaya memiliki kekuatan untuk terus menambah modal melalui investasi dan akumulasi aset, sedangkan golongan miskin kesulitan mengakses sumber daya ekonomi seperti modal usaha, pendidikan, dan pekerjaan layak. Pada akhirnya, kesenjangan ekonomi pun tercipta. Pengangguran struktural terus meningkat karena kesempatan kerja lebih banyak bergantung pada kepentingan pemilik modal. Sementara itu, negara yang mengadopsi kapitalisme sebagai sistem hidup percaya bahwa keberadaan para pemodal akan mengurai masalah pengangguran. Padahal, pemindahan tanggung jawab ini jelas tidak mampu mengurai problem pengangguran.
Bahkan, seperti yang dikhawatirkan oleh banyak pihak, potensi eksploitasi para pemodal terhadap pekerja akan terjadi. Terlebih di kalangan fresh graduate yang sedang berada pada fase mencari kerja. Jika demkian adanya, konsumsi masyarakat berpenghasilan rendah cenderung turun, sehingga permintaan agregat pun melemah dan memengaruhi produktivitas nasional. Dampaknya, aktivitas ekonomi nasional dapat mengalami kelesuan, stagnasi, atau perlambatan.
Islam memiliki mekanisme untuk mengurai penumpukan kekayaan itu pada segelintir orang. Rasulullah saw. adalah teladan dalam mewujudkan distribusi harta yang merata dalam sistem sosial masyarakat. Hal tersebut tampak melalui berbagai beberapa mekanisme yang telah syariat tetapkan. Pertama, penerimaan harta dari keluarga dalam berbagai bentuk seperti nafkah dan warisan. Ini merupakan mekanisme syariat dalam rangka mewajibkan para laki-laki untuk bekerja dan menafkahi tanggungannya sebagaimana dalam QS Al-Baqarah ayat 233 dan QS Ath-Thalaq ayat 6.
Kedua, syariat mewajibkan distribusi harta dari orang kaya (aghniya) melalui mekanisme zakat sebagaimana di dalam QS At-Taubah ayat 103 dan QS Al-Baqarah ayat 43, juga melalui infak dan sedekah yang negara simpan di baitulmal.
Ketiga, negara berperan menyediakan lapangan kerja, terutama bagi laki-laki agar kewajiban pada poin pertama dapat terwujud. Ini merupakan tanggung jawab negara yang tidak boleh dialihkan kepada individu ataupun swasta.
Negara sendiri memerlukan tenaga kerja dari berbagai disiplin ilmu dan kepakaran untuk bekerja di berbagai sektor jasa untuk melayani kebutuhan rakyat. Spirit melayani rakyat adalah aspek politis implementasi fungsi negara sebagai raa’in (pelayan/pengurus rakyat). Ini tentu berbeda dengan spirit pembukaan lapangan kerja dalam sistem kapitalisme, yakni saat negara membebankannya pada korporasi. Yang menjadi masalah, para pemodal tentu berfokus pada konsep untung dan rugi dari bisnis mereka. Tidak heran, kadang-kadang pekerja berhadapan dengan sulitnya lapangan kerja, tapi juga harus siap dengan ancaman PHK. Nasib pekerja sangat dipengaruhi oleh dinamika dunia usaha yang tidak menentu.
Dengan demikian, membuka lapangan kerja merupakan tanggung jawab negara, meskipun ada individu yang menjalankan bisnis dan membutuhkan tenaga kerja. Membuka lapangan kerja juga menjadi bentuk tanggung jawab negara dalam menjalankan amanah untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Keempat, pembagian jenis-jenis kepemilikan. Jika kapitalisme memberi kesempatan kepada pemilik modal untuk menguasai aset penting dan mengembangkan kepemilikan tanpa batas hingga tercipta kesenjangan ekonomi, Islam tidaklah demikian.
Islam mengatur aspek kepemilikan dengan tegas. Adanya pengaturan kepemilikan di dalam Islam berupa kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara, memberi batas tegas bahwa individu tidak bebas menguasai aset yang sejatinya milik umum maupun negara. Negaralah yang memiliki wewenang untuk mengelolanya. Hal ini memungkinkan negara untuk membuka banyak peluang kerja yang beragam, dengan tujuan mewujudkan kemaslahatan bagi masyarakat.
Kelima, setiap aset yang terkategori harta milik umum, akan negara kelola dan menjadi sumber pemasukan negara. Negara dapat menggunakannya untuk membangun fasilitas pendidikan, mewujudkan kesehatan gratis, dll. Dengan mekanisme ini seluruh rakyat memiliki akses terhadap harta milik umum. Adapun harta milik umum dalam jumlah terbatas, misalnya tambang yang jumlahnya sedikit maka rakyat bisa mengelolanya secara langsung. Negara hanya menyiapkan SOP agar tidak terjadi kerusakan baik bagi lingkungan maupun manusia.
Keenam, negara dapat memberikan sejumlah harta kepada individu sebagai modal (iqtha’). Rasulullah pernah memberi sebuah kapak kepada seorang pengemis untuk mencari kayu bakar. Kayu tersebut lantas ia jual di pasar hingga mampu memenuhi kebutuhannya.
Demikianlah, negara memberikan mekanisme yang jelas dan praktis agar setiap individu dapat memenuhi kebutuhannya secara layak.Dengan demikian, sungguh upaya untuk memutus mata rantai pengangguran yang terjadi saat ini harus bersifat sistemis. Para fresh graduate seharusnya tidak berhadapan dengan problem klasik feodalisme modern ala kapitalisme yang menempatkan korporasi sebagai pemegang kendali ekonomi.
Sebaliknya, negaralah yang bertanggung jawab menyediakan lapangan kerja sesuai mekanisme Islam yang merujuk pada syariat. Jika kapitalisme sedemikian problematik, mengapa masyarakat masih enggan memilih sistem ekonomi Islam sebagai solusi?
Wallahu ‘alam bissawab.