Rahasia Kelam di Balik Jalan Kunti


author photo

25 Nov 2025 - 21.16 WIB



Oleh: Sarah Ainun

Tak ada yang lebih memilukan dari melihat masa depan bangsa tercabik-cabik sebelum sempat tumbuh. Para remaja yang mestinya sibuk menghafal rumus, bermain futsal sepulang sekolah, atau mengerjakan tugas kelompok, kini justru berbaris menuju ruang pemeriksaan narkoba. 

Ketika 15 siswa SMP di Surabaya dinyatakan positif mengonsumsi narkoba, kita seharusnya tidak hanya kaget—kita seharusnya malu. Malu karena generasi yang kita gembar-gemborkan sebagai “bonus demografi” justru tercebur ke lubang kelam yang kita biarkan menganga tepat di tengah kota.

Kasus ini bukan sekadar berita kriminal. Ia adalah potret dari sebuah bangsa yang kehilangan kontrol, kehilangan empati, dan kehilangan keberanian untuk berkata: cukup. Wajar jika kini kita bertanya dengan getir: apakah ini harga dari kelalaian kita menjaga amanah Allah SWT berupa generasi?

Remaja Menjadi Korban di Tengah Kampung Narkoba

Dilansir dari kumparannews, 14/11/2025. BNNP Jawa Timur memastikan 15 anak SMP di Surabaya positif memakai narkoba. Sebagian dari mereka bahkan diduga mendapatkan barang haram itu dari kawasan yang sudah lama terkenal dengan julukan mengerikan: Kampung Narkoba di Jalan Kunti.

Di sepanjang jalan itu, berjejer bedeng-bedeng kayu yang beratap terpal, berdiri seperti saksi bisu dari transaksi narkoba dan pesta sabu yang berlangsung hampir tanpa rasa takut.

Beberapa kali aparat melakukan penggerebekan, tetapi fakta bahwa kampung narkoba masih hidup sampai hari ini menunjukkan bahwa persoalannya jauh lebih dalam daripada sekadar razia sesaat.

Dari laporan Kumparan, Detik, CNN Indonesia, dan Suara Surabaya, terlihat jelas bahwa peredaran narkoba di kawasan ini tidak lagi sembunyi-sembunyi. Ia telah menjadi ekosistem, normalisasi kemaksiatan yang berdiri kokoh di tengah kota besar—dan anehnya, semua orang mengetahuinya.

Jika 15 anak SMP bisa terseret, tidak ada jaminan bahwa besok tidak akan muncul 15 anak lainnya. Atau 50. Atau 150.

Mengapa Remaja Semakin Mudah Terjerat?

Pertama, kekosongan iman dan kebahagiaan hakiki pada remaja. Maraknya kasus narkoba di kalangan anak SMP dan generasi muda tidak bisa dipandang sekadar sebagai kenakalan individual atau kegagalan penegakan hukum. Ia adalah gejala dari krisis yang lebih dalam: kekosongan iman dan kekosongan makna hidup. 

Generasi yang tumbuh dalam keluarga dan sekolah yang terlalu menekankan prestasi materi tanpa menanamkan iman cenderung kehilangan kompas batin. Mereka tidak memiliki pegangan spiritual untuk menghadapi stres, kegagalan, atau tekanan sosial, sehingga mudah mencari pelarian cepat yang menyesatkan.

Dalam kondisi kosong secara spiritual ini, narkoba menjadi “pengisi ruang hampa” yang mereka kira bisa memberikan ketenangan, padahal hanyalah ilusi sesaat. Islam telah mengingatkan bahwa siapa pun yang berpaling dari nilai-nilai iman akan merasakan kehidupan yang sempit, sebagaimana firman Allah: “Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sungguh baginya kehidupan yang sempit…” (QS. Thaha: 124). 

Ayat ini menjelaskan akar dari kegelisahan yang mendera remaja hari ini—bahwa hati yang jauh dari Allah SWT akan selalu gelisah, kosong, dan mudah terseret pada pelarian yang merusak, termasuk narkoba.

Di sinilah pentingnya pendidikan yang tidak hanya mengajarkan angka dan teori, tetapi juga menanamkan iman, tujuan hidup, dan kebahagiaan hakiki. Remaja yang dibangun di atas pondasi iman akan lebih kuat menghadapi tekanan pergaulan dan tidak mudah terjerumus pada ajakan berbahaya. 

Maka solusi terhadap narkoba tidak cukup dengan hukuman atau razia, tetapi melalui pemulihan spiritual: menguatkan iman di rumah, menghadirkan pendidikan yang membimbing hati dan membentuk karakter, serta menghidupkan kembali nilai makna dalam kehidupan remaja. Tanpa itu, pelarian-pelarian baru akan terus muncul setiap kali jiwa mereka merasa sepi, sempit, dan tidak menemukan arah.

Kedua, peredaran narkoba di Indonesia sudah bersifat sistemik, terstruktur, dan mengakar. Di banyak kasus, remaja bukan hanya pengguna pasif, tetapi menjadi sasaran empuk dari jaringan yang lebih besar—mulai dari pengedar kecil hingga sindikat internasional. 

Narkoba hari ini bukan sekadar produk kejahatan jalanan; ia beroperasi melalui jaringan rapi yang memanfaatkan celah hukum, lemahnya pengawasan, dan tingginya permintaan dari generasi yang secara spiritual sedang kosong dan mudah dipengaruhi.

Ketika peredaran narkoba telah menyentuh ruang-ruang sosial remaja—sekolah, tempat tongkrongan, media sosial, bahkan dibungkus sebagai gaya hidup—maka masalah ini tidak bisa lagi dibiarkan menjadi urusan keluarga atau sekolah semata. 

Negara memiliki kewajiban syar’i dan konstitusional untuk melindungi rakyat, terutama generasi muda, dari segala bentuk ancaman yang merusak fisik, akal, dan masa depan mereka. Islam menegaskan bahwa pemimpin adalah ra’in (penggembala) yang bertanggung jawab menjaga amanah rakyatnya. 

Artinya, negara wajib memastikan lingkungan yang aman, bersih dari narkoba, serta menindak tegas segala pihak yang merusak generasi—baik pengedar kecil maupun aktor besar yang berdiri di balik bisnis haram ini.

Karena itu, penyelesaian masalah narkoba harus dilihat sebagai tanggung jawab kolektif: keluarga memperkuat iman dan makna hidup, sekolah menanamkan karakter dan ketahanan moral, sementara negara menutup semua celah peredaran narkoba dengan kebijakan yang tegas, sistem yang bersih, serta penindakan yang tidak pandang bulu 

Tanpa hadirnya negara sebagai pelindung dan regulator, remaja akan terus menjadi korban ganda: korban kekosongan spiritual dan korban sistem narkoba yang bekerja tanpa kontrol. Maka solusi terhadap narkoba harus menyeluruh.

Menghidupkan kembali kekuatan iman di tingkat individu, dan membangun sistem negara yang benar-benar melindungi generasi dari segala hal yang membahayakan masa depan mereka. Dan hanya bisa ketika negara berlandaskan sistem Islam yang mengharamkan narkoba.

Ketiga, pengawasan negara dan masyarakat melemah. Negara seharusnya menjadi pelindung generasi. Tetapi bagaimana mungkin remaja aman jika kampung narkoba tetap dibiarkan hidup di pusat kota?

Penggerebekan hanya menghentikan pesta beberapa jam. Setelah itu, semuanya kembali seperti semula. Di sisi lain, masyarakat semakin takut, semakin apatis, atau semakin terbiasa melihat kemungkaran hingga tidak lagi merasa itu salah. Inilah bahaya normalisasi dosa dan maksiat. Padahal Rasulullah SAW telah mengingatkan:

“Siapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubah dengan tangannya; jika tidak mampu, dengan lisannya; jika tidak mampu, dengan hatinya—dan itu adalah selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim).

Terakhir, jika pembiaran berlanjut, malapetaka remaja akan menjadi bencana nasional. Mereka yang duduk di bangku SMP hari ini adalah generasi yang akan memimpin Indonesia dua dekade lagi. 

Jika 15 anak SMP sudah terjerat narkoba dari kampung narkoba yang dibiarkan, maka kita sedang menanam bom waktu kehancuran bangsa. Karena Jika kemungkaran dibiarkan, maka ia akan membesar, merajalela, lalu menghancurkan generasi.

Harus Ada Perubahan Nyata

Keluarga adalah benteng pertama, sekolah adalah benteng kedua. Tetapi keduanya hari ini rapuh. Anak yang dibesarkan tanpa bimbingan keimanan akan mudah mencari validasi dan pelarian yang salah. Untuk itu keluarga perlu intensif membangun komunikasi, keteladanan, dan kontrol.

Sedangkan pendidikan yang hanya fokus akademik tanpa ruh akhlak dan pembinaan kepribadian akan gagal memproteksi remaja. Maka sekolah harus mengembalikan fungsi pembinaan karakter—bukan hanya kurikulum dan nilai.

Begitupun, negara tidak boleh membiarkan kampung narkoba eksis satu hari lagi. Jika negara sungguh-sungguh, maka kampung narkoba tidak hanya dirazia, tetapi dibongkar, diputus jaringannya, dan dihentikan total.

Melindungi remaja dari bahaya narkoba adalah amanah konstitusi, amanah moral, dan amanah agama. Allah SWT memperingatkan: “Dan peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…” (QS. At-Tahrim: 6). Tugas menjaga generasi bukan tugas keluarga saja, tetapi juga negara.

Peredaran narkoba adalah kemaksiatan yang merusak individu, keluarga, dan masyarakat. Membiarkan kampung narkoba berarti membiarkan batu bata kehancuran generasi terus ditumpuk hari demi hari.

Masyarakat harus berani melapor, berani menegur, berani peduli. Negara harus menciptakan mekanisme hisbah modern yang efektif: pengawasan moral dan sosial yang terintegrasi.

Kita Tidak Boleh Lagi Diam

15 anak SMP yang terjerat narkoba adalah sinyal bahaya bahwa generasi kita sedang digerogoti dari dalam. Jika kampung narkoba tetap berdiri, jika negara hanya melakukan razia sesaat, dan jika masyarakat terus diam, tragedi ini akan berulang—dengan korban yang lebih banyak, lebih muda, dan lebih rapuh masa depannya. 

Pada akhirnya, upaya memutus jaringan narkoba dan menyelamatkan generasi tidak akan pernah tuntas bila negara tetap beroperasi dengan standar untung–rugi dan orientasi kebahagiaan jasadiah semata. 

Hanya negara yang menjadikan syariat Islam sebagai landasan bernegara, dengan standar halal–haram dan tujuan meraih ridha Allah SWT, yang mampu menutup setiap celah kejahatan, menindak tegas para perusak generasi, dan sekaligus membangun lingkungan sosial yang bersih dari maksiat. 

Dengan sistem yang menata akidah, akhlak, dan kehidupan publik secara utuh, negara tidak sekadar memerangi narkoba, tetapi juga menumbuhkan generasi beriman yang kuat, berkepribadian mulia, dan siap membangun peradaban yang cemerlang. Sebab hanya dengan hukum Allah, manusia dan generasi akan menemukan keselamatan, kemuliaan, dan masa depan yang benar-benar berharga.
Bagikan:
KOMENTAR