Oleh: Tri Lusiana, S.Pd (Aktivis Dakwah)
Peringatan Hari Santri Nasional 1447 H/2025 menjadi momen penting yang kembali menegaskan peran kaum santri dalam perjalanan bangsa Indonesia. Dalam upacara resmi yang digelar di Tugu Pahlawan, Surabaya, Presiden Republik Indonesia menyampaikan pesan yang sarat makna tentang pentingnya peran santri di era modern. Dalam sambutannya, Presiden menegaskan bahwa santri bukan hanya penjaga moral bangsa, tetapi juga pelopor kemajuan yang memiliki kontribusi nyata dalam membangun Indonesia yang beradab dan berkemajuan (setneg).
Presiden juga menekankan bahwa sejarah mencatat, perjuangan kaum santri tidak bisa dilepaskan dari terbentuknya Indonesia merdeka. Beliau mengingatkan kembali tentang Resolusi Jihad yang digelorakan KH. Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945, yang menjadi pemicu perlawanan besar-besaran melawan penjajah dan melahirkan pertempuran heroik di Surabaya. “Spirit jihad santri saat itu menjadi api semangat kemerdekaan,” ujar Presiden dalam pidatonya (kompas).
Tidak hanya menyampaikan pesan moral, Presiden juga mengumumkan langkah konkret pemerintah dalam memperkuat ekosistem pendidikan pesantren. Ia menyebutkan bahwa pemerintah akan membentuk Direktorat Jenderal Pesantren di bawah Kementerian Agama Republik Indonesia untuk memperluas akses pendidikan dan meningkatkan kualitas lembaga pesantren di seluruh Indonesia. Kebijakan ini diklaim sebagai bentuk komitmen negara dalam mengakui peran pesantren sebagai bagian integral dari sistem pendidikan nasional (kemenag).
Selain itu, Presiden juga mengajak santri untuk menjaga warisan perjuangan ulama dengan terus menghidupkan semangat cinta tanah air, bekerja keras, serta berkontribusi dalam pembangunan nasional. Ia menyebut santri sebagai penjaga moral bangsa, pilar peradaban Islam Nusantara, dan penggerak kemajuan masyarakat. Dalam berbagai media nasional, peringatan Hari Santri kali ini digambarkan sebagai momen yang penuh semangat persatuan dan optimisme (garuda).
Namun, di balik narasi yang indah itu, muncul pertanyaan mendasar: apakah peran santri yang diserukan pemerintah benar-benar bisa terwujud dalam sistem yang kini berlaku? Sebab, penghormatan terhadap santri memang tampak besar dalam seremoni, tetapi posisi mereka dalam sistem kapitalistik justru semakin terpinggirkan.
Pidato Presiden memang penuh semangat dan apresiasi terhadap kaum santri. Namun, jika dilihat secara lebih kritis, narasi yang disampaikan tampak berlawanan dengan kenyataan yang ada di lapangan. Sebutan penjaga moral bangsa dan pelopor kemajuan terdengar mulia, tetapi tidak akan bermakna apa pun jika sistem yang menaungi kehidupan masyarakat masih berpijak pada ideologi kapitalisme sekuler.
Dalam sistem kapitalisme, agama hanya ditempatkan sebagai urusan pribadi, bukan sebagai dasar pengaturan kehidupan publik. Moralitas yang dijunjung tinggi oleh santri tidak memiliki kekuatan struktural untuk mengubah sistem ekonomi, hukum, dan sosial yang ada. Akibatnya, santri hanya dijadikan simbol moralitas di tengah kehidupan yang terus diatur oleh logika keuntungan material.
Seruan agar santri menjadi pelopor kemajuan bangsa juga menyimpan bias ideologis. Dalam konteks kapitalisme, kemajuan selalu diukur dengan pertumbuhan ekonomi, industrialisasi, dan investasi asing, bukan dengan ketundukan kepada hukum Allah. Maka santri diarahkan untuk menyesuaikan diri dengan sistem pasar bebas, menjadi tenaga kerja, wirausahawan, atau profesional yang produktif tanpa diarahkan untuk memperjuangkan perubahan sistemik menuju penerapan Islam kaffah.
Padahal, Resolusi Jihad yang disebut Presiden sejatinya bukanlah gerakan nasionalisme sempit, melainkan panggilan aqidah untuk membela Islam dan negeri dari penjajahan kafir. Jihad yang dulu digelorakan KH. Hasyim Asy’ari bukan sekadar perjuangan fisik, tapi juga perjuangan ideologis untuk menegakkan hukum Allah di muka bumi. Kini, jihad itu direduksi menjadi semangat “kerja keras dan cinta tanah air”, padahal makna hakikinya jauh lebih tinggi dan mendasar.
Kapitalisme: Akar Masalah yang Harus Diungkap
Semua kontradiksi ini lahir dari sistem kapitalisme yang menjadi fondasi kehidupan berbangsa hari ini. Kapitalisme menempatkan negara sebagai regulator, bukan penanggung jawab kesejahteraan rakyat. Agama dipisahkan dari sistem pemerintahan, sehingga nilai-nilai Islam tidak menjadi dasar dalam penyusunan kebijakan. Pendidikan agama hanya dianggap pelengkap moral, bukan sarana untuk menumbuhkan kesadaran politik dan ideologis umat.
Dalam sistem ini, pesantren dipaksa menyesuaikan diri dengan logika industri pendidikan. Mereka bersaing mencari akreditasi, dana, dan pengakuan dari lembaga pemerintah, sementara ruh dakwah dan perjuangan mulai tergeser oleh tuntutan administratif dan ekonomi. Santri yang seharusnya menjadi mujahid penegak kebenaran justru diarahkan untuk menjadi tenaga profesional yang siap pakai di dunia industri kapitalistik.
Kapitalisme juga menjadikan kemajuan bersifat materialistik. Santri dianggap sukses jika mampu bersaing di pasar global, bukan jika mampu memperjuangkan tegaknya hukum Allah. Akibatnya, pesantren kehilangan perannya sebagai benteng peradaban Islam dan berubah menjadi lembaga yang tunduk pada arus sekularisasi.
Solusi Islam: Mengembalikan Ruh Peran Santri
Islam memandang santri bukan hanya sebagai penjaga moral, melainkan sebagai agen perubahan yang mengemban amanah dakwah Rasulullah ﷺ. Dalam sistem Khilafah Islamiyyah, pendidikan diatur berdasarkan aqidah Islam, sehingga tidak ada pemisahan antara ilmu agama dan ilmu dunia. Negara bertanggung jawab penuh terhadap pendidikan rakyatnya, termasuk pesantren, dengan memastikan bahwa seluruh kurikulum, tujuan, dan metode pembelajaran berlandaskan syariat.
Santri dalam sistem Islam dididik untuk menjadi ulama, mujahid, dan pemimpin umat yang memahami realitas serta mampu mengubahnya sesuai hukum Allah. Mereka tidak sekadar diajarkan untuk “berakhlak baik”, tetapi juga ditanamkan keberanian untuk menegakkan kebenaran, menolak kezaliman, dan memperjuangkan Islam kaffah.
Semangat Resolusi Jihad yang disebut Presiden hanya akan menemukan makna sejatinya jika diarahkan untuk memperjuangkan tegaknya hukum Allah di muka bumi, bukan sekadar semangat nasionalisme. Dalam sistem Khilafah, jihad bukanlah slogan, tetapi instrumen nyata untuk menjaga kehormatan umat, menegakkan keadilan, dan menyebarkan rahmat Islam ke seluruh dunia.
Wallahu'alam bishowab