Oleh : Siti Nur Ainun Ajijah (Pemerhati Masalah Umat)
Menyikapi persoalan maraknya kejahatan media di dunia maya pemerintah melalui Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) Kalimantan Timur mengingatkan masyarakat untuk lebih waspada terhadap maraknya modus penipuan berkedok aktivasi Identitas Kependudukan Digital (IKD). Kasus ini mulai banyak dilaporkan dari sejumlah daerah di Kaltim dengan pola yang serupa.
Identitas Kependudukan Digital atau IKD merupakan versi elektronik dari KTP-el yang dapat diakses melalui aplikasi di smartphone. Program ini diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) sebagai bagian dari transformasi layanan publik berbasis digital.
Namun, di tengah upaya pemerintah mempermudah layanan kependudukan, sejumlah oknum justru memanfaatkan situasi ini untuk menipu masyarakat. Mereka mengaku sebagai petugas Dukcapil dan menawarkan bantuan aktivasi Identitas Kependudukan Digital melalui telepon, pesan singkat, atau aplikasi WhatsApp. kaltim.tribunnews.com ›
Tidak dipungkiri di tengah derasnya arus digitalisasi saat ini, teknologi telah menjadi bagian penting dalam kehidupan manusia. Banyak manfaat serta kemudahan yang lahir dari kemajuan teknologi, mulai dari pelayanan publik, transaksi ekonomi, hingga komunikasi jarak jauh, semua jadi lebih mudah efisien dengan kemajuan teknologi saat ini. Namun sayangnya, di balik manfaat besar itu tersimpan pula ancaman yang tak kalah besar.
Ketika teknologi dikuasai tanpa landasan moral dan aturan yang sohih, ia justru berubah menjadi alat kejahatan dan kecurangan. Fakta maraknya penipuan digital, peretas data, hingga penyalahgunaan identitas pribadi menunjukkan bahwa teknologi yang seharusnya mempermudah kehidupan, kini justru lebih membawa mudarat bagi masyarakat.
Kian maraknya kejahatan tidak bisa dilepaskan dari pengaruh sistem kehidupan hari ini. Sistem sekuler kapitalisme adalah sistem yang memisahkan agama dari kehidupan, menjadikan manusia berpikir materialistis, yaitu seseorang akan melakukan apapun demi memperoleh harta. Ini karena standar kebahagiaan dalam kapitalisme adalah kepuasan secara jasmani dan banyaknya harta. Akibatnya lahirlah dari masyarakat sekuler kapitalistik, orang-orang yang menghalalkan segala cara demi mendapatkan harta. Mereka mengira hanya harta yang dapat membuat seseorang bahagia. Tidak peduli lagi apakah yang dilakukan merugikan orang lain atau tidak, yang terpenting adalah keuntungan bagi dirinya.
Ditambah lagi dengan kondisi ekonomi saat ini yang kian menurun dan sulit yang membuat banyak orang menjadi susah dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Akhirnya menjadikan orang dengan mudah melakukan kejahatan, baik demi memenuhi kebutuhan hidupnya dengan cara instan ataupun gaya hidup hedonisme hari ini. Inilah pangkal kian maraknya pelaku kejahatan di dunia maya.
Termasuk kebocoran-kebocoran data pribadi yang mudah diretas oleh orang-orang yang tidak bertangung jawab, maka bisa kita simpulkan bahwa di satu sisi pemerintah memang berupaya menciptakan sistem yang cepat dan efisien, namun di sisi lain negara kerap gagal melindungi keamanan data-data tersebut sehingga justru terjadi kebocoran. L8agi-lagi rakyat jadi korban, sementara pelaku kejahatan siber bebas memanfaatkan kelemahan sistem tersebut.
Berbeda dengan Islam, Islam memiliki pandangan yang menyeluruh dalam menjaga dan mengendalikan teknologi. Dalam Islam , data pribadi merupakan bagian dari hifzh al-mal (penjagaan harta) dan hifzh al-ridh (penjagaan kehormatan),sehingga wajib dilindungi oleh negara. Perlindungan ini mencakup di dunia nyata maupun di dunia maya/ elektronik. Negara dalam sistem Islam bertanggung jawab penuh atas keamanan data warga, serta memastikan tidak ada pihak yang menyalahgunakan teknologi untuk kepentingan pribadi, sebab negara melalaui para ahli di bidangnya dan pihak terkait menjamin keamanan data masyarakat aman terkendali.
Ketika Islam dijadikan sebagai panduan hidup, teknologi tidak hanya menjadi alat praktis, tetapi juga sarana menegakkan kemaslahatan. Islam mendorong penguasaan ilmu dan inovasi untuk kemajuan peradaban, menjadikan umat Islam sebagai mercusuar dunia, bukan sekedar pengguna teknologi buatan pihak lain.
Sistem Islam memiliki tiga pilar penjagaan utama, pertama individu yang bertakwa, yaitu setiap pengguna teknologi memiliki kesadaran iman untuk tidak berbuat zalim, menipu, ataupun mencuri data. Kedua masyarakat yang peduli dan saling mengingatkan, membanguan budaya amar makruf nahi mungkar dalam ruang digital. Ketiga negara berperan sebagai perisai, dengan kebijakan tegas dan teknologi yang kuat untuk melindungi rakyatnya dari segala bentuk ancaman siber.
Dengan ketiga pilar ini, teknologi informasi terkait akan terkendali dan bermanfaat. Dunia digital bukan lagi ladang kejahtan, melainkan sarana dakwah, ilmu, dan kemajuan umat. Terbukti dengan begini bahwasannya Islam bukan hanya sekedar agama ritual, melainkan sistem kehidupan yang mampu menjadi pengendali sekaligus perisai dalam dunia elektronik modern.
Jika prinsip Islam ditegakkan dalam pengelolaan teknologi atau seluruh sendi kehidupan, niscaya keamanan data terjaga, kejahatan berkurang, dan teknologi benar-benar membawa berkah bagi seluruh manusia. Wallahu a’lambishawab