Aceh Selatan -- Anggaran Sekretariat Daerah (Setda) Kabupaten Aceh Selatan tahun ini kembali jadi sorotan. Di tengah keluhan rakyat tentang jalan rusak, sekolah bocor, dan harga kebutuhan pokok yang melambung, angka-angka dalam pos belanja Setda justru menunjukkan pesta kemewahan birokrasi yang sulit dicerna logika publik. Jumat (31 Oktober 2025).
Catat saja belanja makanan dan minuman jamuan tamu mencapai Rp 1,6 miliar. Ya, lebih dari satu miliar hanya untuk menjamu tamu angka yang bisa memberi makan ribuan keluarga miskin selama berbulan-bulan.
Tak berhenti di situ, belanja makanan dan minuman rapat menelan Rp 376 juta, sementara aktivitas lapangan ikut menambah daftar dengan Rp 34,6 juta. Bahkan, ada pos belanja natura dan pakan-natura yang menguras Rp 1,02 miliar entah untuk siapa dan untuk apa pakan sebesar itu di sebuah kantor pemerintahan.
Kemewahan berlanjut ke pos perjalanan dinas. Perjalanan dinas biasa mencapai Rp 3,78 miliar, ditambah perjalanan dinas dalam kota sebesar Rp 221 juta. Jika dijumlah, hampir Rp 4 miliar uang rakyat habis untuk jalan-jalan para pejabat.
Urusan kendaraan pun tak kalah boros. Sewa kendaraan dinas sebesar Rp 150 juta, sementara pemeliharaan mobil dinas pribadi pejabat mencapai Rp 463 juta. Ada pula pemeliharaan motor dinas sebesar Rp 108 juta, dan bahan bakar serta pelumas sebesar Rp 830 juta cukup untuk menghidupkan bengkel selama setahun penuh.
Kemudian, sewa gedung dan bangunan pertemuan menghabiskan Rp 220 juta, bangunan terbuka disewa Rp 184 juta, dan bahan bangunan dibeli hingga Rp 246 juta.
Sementara itu, logistik kantor dan alat tulis juga tak kalah mencengangkan. Penyediaan bahan logistik kantor menghabiskan Rp 1,59 miliar, alat tulis kantor Rp 891 juta, bahan cetak Rp 433 juta, dan barang cetakan serta penggandaan Rp 460 juta.
Ada pula alat dan bahan lainnya untuk kegiatan kantor senilai Rp 548 juta, benda pos Rp 25 juta, sewa alat kantor lainnya Rp 151 juta, serta bahan bacaan dan peraturan perundang-undangan Rp 111 juta.
Jika semua dijumlah, belanja Setda Aceh Selatan ini menembus angka di atas Rp 10 miliar hanya untuk kebutuhan rutin dan fasilitas pejabat bukan untuk program masyarakat.
Di tengah kondisi fiskal daerah yang terbatas dan rakyat yang masih berjuang dengan ekonomi pasca-pandemi, angka-angka ini seperti tamparan keras bagi nurani publik. Transparansi dan akuntabilitas pun menjadi tanda tanya besar.
Apakah benar semua pos belanja ini dibutuhkan untuk “kelancaran pemerintahan”? Atau ini justru potret klasik birokrasi yang semakin rakus di atas penderitaan rakyatnya sendiri?
Saat dikonfirmasi sekda Aceh Selatan melalui pesan WhatsApp menulis. Terimakasih informasinya, tetapi maaf, saya kurang tau dan akan saya pelajari tulisan secara singkat. (Ak)