Ratna Munjiah (Pemerhati Sosial Masyarakat)
Potensi banjir rob Kaltim, pasang laut, peringatan BMKG, pesisir Kalimantan Timur, dan periode 5–7 Desember 2025 menjadi perhatian utama masyarakat pesisir. Sejumlah kawasan diproyeksikan mengalami kenaikan muka air laut yang dapat mengganggu aktivitas harian warga.
Ancaman pemberitahuan banjir di berbagai daerah Kaltim, Penajam Paser Utara, Kukar, Mahulu, Berau, dan Samarinda, dstnya. (https://seputarfakta.com/seputar-kaltim/bmkg-berau-imbau-warga-waspadai-potensi-banjir-rob-pasang-tertinggi-7-desember-2025-15498)
Banjir rob adalah banjir yang terjadi akibat naiknya air laut ke daratan, terutama di wilayah pesisir. Banjir ini tidak disebabkan oleh hujan, melainkan oleh faktor laut.Yakni:
1.Pasang air laut
Saat air laut mengalami pasang tinggi, air dapat meluap ke daratan yang elevasinya rendah.
2.Penurunan muka tanah (land subsidence)
Banyak terjadi di kota pesisir akibat pengambilan air tanah berlebihan, sehingga daratan makin rendah.
3.Kenaikan permukaan air laut
Dampak dari perubahan iklim dan pemanasan global.
4.Rusaknya ekosistem pesisir
Hilangnya mangrove yang berfungsi sebagai penahan gelombang memperparah banjir rob.
5.Sistem drainase yang buruk. Saluran air tidak mampu menahan atau mengalirkan air laut yang masuk. Adapun ciiri-ciri banjir Rob, terjadi meskipun tidak hujan dan ada pada air asin.
Menangani banjir, termasuk banjir rob (banjir akibat pasang laut), tentu tidak cukup hanya dengan pemberitahuan. Peringatan dini memang penting, tetapi itu hanya satu bagian kecil dari sistem penanganan yang efektif. Solusi harus terpadu, mencakup pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat, hingga pendanaan yang berkelanjutan.
Mengatasi banjir rob tentu tidak cukup hanya dengan pemberitahuan, karena pemberitahuan sifatnya hanya untuk mengurangi korban jiwa, memberi waktu evakuasi, dan mengamankan aset penting. Namun tidak mencegah banjir terjadi.
Tanpa langkah struktural dan non-struktural, maka kerugian tetap besar dan banjir akan terus berulang.
Butuh perubahan sistem kehidupan untuk menangani terjadinya banjir rob dan itu hanya bisa dilakukan dengan penerapan sistem Islam.
Islam menganggap banjir rob sebagai bencana yang harus di atasi dengan sistem sistemik.
Mitigasi Bencana Banjir (Pra-Bencana) dengan
Mitigasi Struktural (Fisik) dan mitigasi non struktural.
Mitigasi fisik akan berfokus pada pengendalian air, normalisasi dan naturalisasi sungai. Pembangunan dan perawatan drainase kota. Tanggul laut dan pintu air (untuk banjir rob), membangun Kolam retensi, waduk, sumur resapan dan biopori.
Restorasi mangrove di wilayah pesisir yang bertujuan untuk mengurangi volume dan kecepatan air
Adapun Mitigasi Non-Struktural akan berfokus pada tata kelola dan perilaku, seperti
Penataan ruang (larangan bangunan di sempadan sungai/pantai), Penegakan hukum lingkungan, Edukasi masyarakat tentang kebersihan dan kesiapsiagaan. Pemetaan risiko banjir berbasis data dengan tujuan untuk mengurangi kerentanan manusia dan aset
Kesiapsiagaan & Tanggap Darurat. Saat banjir mulai terjadi sistem peringatan dini berbasis cuaca & pasang laut. Jalur dan tempat evakuasi yang jelas juga Logistik darurat (makanan, air, obat)
Dalam perspektif sistem Islam, penanganan banjir tidak dilihat hanya sebagai masalah teknis, tetapi sebagai amanah pengelolaan bumi yang mencakup aspek akidah, hukum, tata kelola negara, dan akhlak manusia. Berikut penjelasannya secara ringkas dan terstruktur.
Islam memandang manusia sebagai khalifah (pengelola) bumi, bukan pemilik mutlak. Sebagaimana firman Allah SWT:
> “Dialah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di bumi …” (QS. Al-An‘am ayat 165).
Merujuk pada ayat tersebut maka alam tidak boleh dieksploitasi sembarangan. Kerusakan lingkungan (deforestasi, alih fungsi lahan, penutupan resapan air) adalah pelanggaran amanah
Banjir sering dipandang sebagai akibat kelalaian manusia, bukan sekadar bencana alam. Islam mencegah melalui Hukum dan Kebijakan Negara.
Dalam sistem Islam, negara wajib mencegah sebab-sebab banjir, antara lain, dengan mengatur tata Kelola lahan dan lingkungan.
Larangan penebangan hutan secara serampangan. Perlindungan daerah resapan air, sungai, dan hulu. Pengaturan ketat alih fungsi lahan
Sungai tidak boleh dipersempit atau ditutup demi kepentingan pribadi
Prinsip fiqih:
> “Tidak boleh menimbulkan bahaya dan tidak boleh membalas bahaya dengan bahaya.”
(La dharar wa la dhirar)
Akan ditetapkan Sistem Hisbah (Pengawasan Publik). Negara memiliki lembaga hisbah untuk:
Mengawasi aktivitas masyarakat dan korporasi. Menindak pelanggaran lingkungan sejak dini. Mencegah penimbunan sampah, bangunan liar di bantaran sungai, dll
Dengan prinsip Ini akan mampu mencegah kerusakan sebelum banjir terjadi.
Dalam Islam, air adalah milik umum:
> “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara: air, padang rumput, dan api.” (HR. Abu Dawud)
Implikasinya, Negara bertanggung jawab penuh atas Sungai, Drainase, Waduk dan Kanal banjir. Kepemilikan umum tersebut tidak boleh diserahkan ke swasta yang berorientasi profit
Jika banjir tetap terjadi, sistem Islam menjamin Tanggung Jawab Negara, melakukan evakuasi korban. Negara akan memenuhi kebutuhan dasar (pangan, sandang, tempat tinggal) akan disediakan perawatan kesehatan gratis
Untuk itu tentu dibutuhkan dana yang tidak sedikit, maka dana diambil dari Baitul Mal (zakat, kharaj, fai’, dsb)
Tanpa menunggu donasi rakyat.
Distribusi Zakat dan Wakaf, Zakat diberikan kepada korban sebagai mustahik, Wakaf dapat digunakan untuk normalisasi sungai, pembangunan tanggul,
Infrastruktur air.
Islam juga membangun kesadaran individu. Larangan membuang sampah sembarangan.
Menjaga kebersihan sebagai bagian dari iman. Menumbuhkan rasa tanggung jawab sosial. Memberikan pemahaman bahwa kerusakan lingkungan bukan hanya pelanggaran hukum, tapi dosa.
Hanya Sistem Islam yang mampu mengatasi banjir dengan solusi yang sistemik. Banjir tidak diperlakukan sebagai takdir semata, tetapi sebagai masalah yang wajib dicegah dan diselesaikan secara sistemik. Untuk itu negara akan menjalankan fungsinya dengan sebaik-baiknya Wallahua'lam