ACEH BESAR — Di tengah tuntutan efisiensi dan kebutuhan dasar masyarakat yang belum sepenuhnya terpenuhi, Pemerintah Kabupaten Aceh Besar justru tercatat menghamburkan anggaran fantastis untuk belanja jasa iklan, reklame, film, dan pemotretan. Nilainya tidak main-main ratusan juta rupiah berulang kali dicairkan, dengan total akumulasi mendekati miliaran rupiah. Sabtu (20 Desember 2025).
Data realisasi anggaran yang berhasil dihimpun mengungkap pola belanja yang mengundang tanda tanya besar. Pos belanja iklan senilai Rp250 juta tercatat muncul dua kali, disusul pengeluaran jumbo lainnya sebesar Rp296 juta, Rp248 juta, dan Rp126 juta. Belum lagi sederet transaksi bernilai puluhan juta rupiah yang berulang: Rp63,2 juta, Rp48,95 juta, Rp32,64 juta (tiga kali), Rp21,76 juta, hingga Rp6,9 juta.
Akumulasi angka tersebut menimbulkan pertanyaan serius: publikasi apa yang begitu mendesak hingga harus dibiayai dengan dana sebesar itu? Dan yang lebih krusial, apa dampak nyatanya bagi masyarakat Aceh Besar?
Pengamat kebijakan anggaran menilai, belanja publikasi pemerintah seharusnya berorientasi pada kebutuhan informasi publik, bukan sekadar membangun citra atau menggugurkan kewajiban serapan anggaran. Tanpa indikator kinerja yang jelas seperti jangkauan, efektivitas, dan output yang terukur belanja iklan berpotensi berubah menjadi pemborosan yang dilegalkan oleh administrasi.
Ironisnya, hingga kini Pemerintah Kabupaten Aceh Besar belum memberikan penjelasan terbuka terkait rincian kegiatan, bentuk materi publikasi, media yang digunakan, maupun alasan di balik pengulangan nilai belanja pada pos yang sama. Sikap diam ini justru memperkuat kecurigaan publik akan minimnya transparansi dan akuntabilitas.
Di tengah sorotan tajam masyarakat, muncul desakan agar lembaga pengawasan seperti Inspektorat, BPK, hingga aparat penegak hukum turun tangan melakukan pemeriksaan menyeluruh. Setiap rupiah uang rakyat wajib dipertanggungjawabkan, terlebih ketika nilainya mencapai skala miliaran.
Publik Aceh Besar kini menunggu jawaban bukan sekadar klarifikasi normatif, tetapi penjelasan berbasis data dan bukti nyata apakah belanja iklan tersebut benar-benar untuk kepentingan masyarakat, atau hanya menjadi ruang abu-abu yang menguntungkan segelintir pihak.(Ak)