Bencana Sumatera dan Aceh Tak Cukup Diselesaikan Dengan Empati Dan Kunjungan


author photo

5 Des 2025 - 21.00 WIB




Oleh : Herliana Tri M

Musibah dan bencana yang dihadapi saudara kita belumlah berakhir. Dilansir detik news, 04 Des 2025 menggambarkan banjir yang menerjang wilayah Aceh, Sumatera Utara, hingga Sumatera Barat menjadi perhatian berbagai lapisan masyarakat. Tingginya jumlah korban dan kerusakan infrastruktur membuat masyarakat menanti penetapan banjir Sumatera sebagai bencana nasional.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) belum menetapkan peristiwa banjir bandang di wilayah Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat sebagai bencana nasional. Mengapa? Banjir Sumatera belum ditetapkan sebagai bencana Nasional, karena menurut
Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto, penetapan status bencana nasional mengacu pada skala korban dan akses menuju lokasi bencana. Ia mencontohkan bencana nasional sebelumnya adalah pandemi COVID-19 dan tsunami Aceh pada 2004. Sedangkan bencana: gempa Palu, gempa NTB, kemudian gempa Cianjur tidak masuk bencana nasional (detiknews,03/12/2025).

Syarat Penetapan Status Bencana Nasional mengacu pada Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Dalam aturan tersebut, pemerintah pusat berwenang menetapkan status bencana nasional berdasarkan besarnya dampak dan kemampuan daerah dalam menangani situasi.

Dalam Pasal 7 ayat 2 disebutkan lima indikator penetapan status bencana nasional, yaitu:

1. Jumlah korban
2. Kerugian harta benda
3. Kerusakan prasarana dan sarana
4. Cakupan luas wilayah yang terkena bencana
5. Dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan.

Sebagai gambaran, bencana nasional merupakan status keadaan darurat bencana yang ditetapkan pemerintah di Indonesia. Menurut Pedoman Penetapan Status Keadaan Darurat Bencana BNPB, penetapan status bencana nasional merupakan cerminan kemampuan daerah dalam menjalankan sistem tanggap darurat. Selama pemerintah daerah masih mampu melakukan penanganan, koordinasi, dan pemulihan, status bencana tetap menjadi bencana daerah.

Mengatasi Bencana Setengah Hati

Bermain- main dengan nyawa. Inilah gambaran suara hati masyarakat yang harusnya segera mendapatkan bantuan dan pertolongan. Gentingnya kondisi pasca longsor dan banjir bandang, banyaknya penduduk yang belum ditemukan, minimnya ketersediaan pasokan kebutuhan pokok yang dibutuhkan warga terdampak, putusnya jalan dan rusaknya infrastruktur, hilangnya beberapa kampung terbawa arus air atau tertimbun , terisolasinya warga akibat rusaknya jalur penghubung wilayah menjadikan permasalahan ini butuh solusi segera. 

Berdasarkan data BNPB pada 3 Desember 2025, 770 orang yang meninggal dunia, dan 463 jiwa masih hilang. Korban meninggal di Provinsi Aceh sejumlah 277 orang dan 193 orang dilaporkan masih hilang. Di Sumatera Utara, korban meninggal sebanyak 299 orang dan yang masih dalam pencarian ada 159 jiwa. Sumatera Barat tercatat 194 orang meninggal dan yang masih dalam pencarian 111 jiwa. Jadi secara total korban meninggal yang sudah tervalidasi dan terverifikasi 770 jiwa dan korban hilang dan masih dalam pencarian 463 jiwa.

Rasanya janggal dan aneh saat musibah ini menghantarkan banyaknya nyawa melayang serta korban hilang belum ditemukan, pemerintah masih menimbang- nimbang kelayakan status naik menjadi bencana nasional yang artinya APBN pusat harus digelontorkan membantu mengatasi bencana tersebut. Bukankah nyawa sudah selayaknya terselamatkan dengan bantuan secepatnya dari manapun arahnya? menunda-nunda perubahan status bencana menuju bencana nasional seolah menunda menyelamatkan nyawa yang mungkin masih banyak yang dapat terselamatkan baik karena terisolasi, tertimpa timbunan puing- puing dan lain-lain.

Apalagi jika memperhatikan kondisi Sumatera, beberapa indikator kategori bencana nadional sebenarnya telah terpenuhi.
Jalur vital yang menghubungkan Aceh dengan Sumatera Utara terputus total. Begitu pula jalur antar kabupaten seperti Bireuen–Takengon, Gayo Lues–Aceh Tamiang, hingga Bener Meriah–Bireuen. Kondisi ini menandakan bahwa dampak bencana bersifat multi regional, sebuah indikator kuat untuk masuk kategori bencana nasional. Pemda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat menyampaikan menghadapi keterbatasan logistik, alat berat, dan sumber daya manusia. Kondisi daerah terisolasi membuat pasokan bantuan tidak dapat masuk tanpa intervensi pusat.
Kerusakan infrastruktur, kerugian pertanian, longsor besar, dan hancurnya pasar tradisional menunjukkan situasi yang berat dihadapi. 
Ribuan warga mengungsi. Banyak desa tidak terjangkau, fasilitas kesehatan terganggu, akses bantuan terbatas.
Dari kacamata hukum, indikator penetapan bencana nasional sebenarnya sudah terang-benderang terlihat.

Dari sudut pandang akademis, banjir di Sumatera memenuhi kriteria bencana nasional berdasarkan hukum, kebijakan, ekologi, dan sosiologi. Penundaan status ini dapat melemahkan efektivitas penanganan dan memperpanjang penderitaan warga. Ketika wilayah terisolasi, akses logistik terputus, korban terus bertambah, dan kerugian mencapai lintas provinsi, maka tanggung jawab negara tidak boleh setengah hati. Penetapan status bencana nasional adalah bentuk tanggung jawab moral, sosial, dan konstitusional negara terhadap warganya. 

Penanganan Islam terhadap Bencana

komprehensifnya syariah Islam menuntun kepala negara all out dalam menyelesaikan bencana/krisis. Dengan langkah-langkah strategis, taktis juga ­full power.  Kepala negara hadir memberi contoh langsung dan terbaik ketika ada bencana. Hadir sebagai sosok individu pemimpinnya ataupun gambaran penentu kebijakan yang memberikan instruksi cepat tanggap menangani bencana. 

Sebagai sosok individu pemimpin, tidak makan-makanan enak selama bencana/krisis. Makanannya dipastikan tidak lebih enak dari makanan rakyatnya yang terkena bencana. Demikian juga pakaian, tempat tidur dan gaya hidupnya. Semuanya disesuaikan dengan kondisi yang dihadapi masyarakatnya. Tujuannya satu, agar kepala negara bisa merasakan langsung penderitaan rakyat. Bukan basa-basi ataupun pencitraan, namun nyata menyesuaikan seluruhnya dengan kondisi masyarakat hingga selesai atau berlalunya krisis/ bencana. 
Pemimpin negara juga memastikan semua penanganan berjalan dengan baik. Seluruh aparat terlibat membantu dengan optimal menanggulangi krisis/bencana tersebut. Tidak ada ruang bagi ABS (asal Bapak senang) dan membiarkan aparat memberikan laporan tak sesuai fakta. Kepala Negara memastikan betul bahwa program tanggap darurat berjalan dengan baik dan bantuan sampai ke yang membutuhkan dengan layak dan mencukupi. Tersebar merata, tidak ada yang sampai kekurangan atau di satu titik berlimpah, sedangkan di titik lain kekurangan. Selain itu, memobilisasi bantuan dari daerah sekitar. Memotivasi agar berlomba-lomba meringankan kondisi saudaranya. Wajar jika bantuan datang berduyun-duyun. Tercatat dalam sejarah, kepala bantuan sudah sampai di tempat bencana/krisis, ekor bantuan masih berada di asal bantuan. Ini adalah sikap persaudaraan sejati. Bukan hanya itu saja, secara keimanan, kepala negara juga memimpin taubat[an] nasûhâ. Bisa jadi bencana/krisis yang ada akibat kesalahan-kesalahan atau dosa yang telah dilakukan oleh kepala negara, aparat atau masyarakatnya. Memohon ampun kepada Allah agar bencana ini segera berlalu. Terakhir adalah apa yang dilakukan kepala negara dengan nemberhentikan sementara hukum had bagi pencuri dan menunda pemungutan zakat.
Jelas tampak bahwa syariah Islam memiliki solusi tersendiri dan khas dalam menanggulangi krisis bencana. Religius, strategis, totalitas, menyeluruh dan penuh keteladanan. Ini semua dijalankan dalam bingkai keimanan dan ketakwaan karena Allah dalam menjalankan setiap amanah. Berada pada garda terdepan memberikan perlindungan dan keteladanan dalam menyelesaikan setiap konflik ataupun bencana.
Bagikan:
KOMENTAR