Skandal Jenazah Banjir di RS Cut Mutia: Jika Tak Bayar Rp3 Juta, Mayat Tak Diurus?


author photo

2 Des 2025 - 01.42 WIB


Aceh --- Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBH) CaKRA mengecam keras praktik pengutipan biaya pengurusan jenazah korban banjir di RS Cut Mutia, Aceh. Praktik ini dinilai tidak manusiawi, melanggar prinsip pelayanan publik, dan bertentangan dengan mandat negara dalam situasi darurat bencana. Selasa (2 Desember 2025).

Ketua YLBH CaKRA, Fkahrurrazi, menyatakan keluarga korban seharusnya tidak dibebani biaya apa pun saat sedang dilanda musibah. Negara, kata dia, memiliki tanggung jawab penuh memastikan seluruh layanan kemanusiaan termasuk pengurusan jenazah diberikan secara cuma-cuma.

“Dalam situasi bencana, masyarakat sedang berada dalam tekanan psikologis dan ekonomi. Pengutipan biaya terhadap keluarga korban jelas tidak etis dan tidak dapat dibenarkan,” tegasnya.

Dugaan Pungutan Rp3 Juta di RS Cut Mutia

YLBH CaKRA mengaku menerima laporan adanya pungutan biaya sebesar Rp3 juta kepada keluarga salah satu jenazah korban banjir. Uang tersebut disebut-sebut sebagai biaya memandikan dan mengkafani jenazah.

Tim YLBH CaKRA kemudian melakukan penelusuran ke RS Cut Mutia. Di lapangan, petugas rumah sakit membenarkan adanya pungutan tersebut dengan alasan layanan itu tidak ditanggung BPJS Kesehatan.

Lebih jauh, pengakuan keluarga korban membuka fakta yang jauh lebih ironis: jika uang Rp3 juta itu tidak diserahkan, jenazah disebut tidak akan diurus dan tidak akan dipulangkan ke rumah duka.

Situasi ini menimbulkan pertanyaan serius.

Apakah pemulasaraan jenazah korban bencana kini berubah menjadi jasa berbayar yang menentukan apakah mayat layak diurus atau tidak?

Bertentangan dengan Undang-Undang Penanggulangan Bencana

YLBH CaKRA menegaskan, praktik tersebut bukan hanya tidak berperikemanusiaan, tetapi juga berpotensi melanggar hukum. Fkahrurrazi merujuk pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.

Pasal 26 ayat (2) dengan jelas menyatakan bahwa korban bencana berhak mendapatkan pelayanan kesehatan dan penanganan jenazah. Sementara itu, Pasal 60 menegaskan bahwa pemerintah bertanggung jawab penuh atas penyelenggaraan penanggulangan bencana, termasuk aspek pembiayaan.

Dengan demikian, seluruh layanan yang berkaitan dengan penanganan korban bencana mulai dari evakuasi hingga pemulasaraan jenazah berada di bawah tanggung jawab negara dan tidak boleh dibebankan kepada keluarga korban.

Desakan Evaluasi dan Penindakan

YLBH CaKRA mendesak pemerintah daerah untuk segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap pihak-pihak yang diduga terlibat dalam praktik pengutipan biaya ini, baik individu maupun institusi.

“Pemerintah tidak boleh sekadar berperan sebagai penonton. Ini menyangkut martabat korban dan hak dasar warga negara. Jika ada oknum yang menjadikan bencana sebagai ladang keuntungan, itu harus diusut tuntas,” kata Fkahrurrazi.

Ia juga menuntut agar pemerintah segera memastikan tersedianya layanan darurat yang benar-benar bebas biaya, mulai dari proses evakuasi korban hingga fardhu kifayah jenazah.

Bencana, Bisnis, dan Krisis Kemanusiaan

Kasus di RS Cut Mutia ini membuka babak baru pertanyaan tentang wajah layanan publik di tengah bencana. Di satu sisi, pemerintah secara normatif mengklaim hadir untuk melindungi warga. Di sisi lain, di lapangan, keluarga korban justru berhadapan dengan tagihan jutaan rupiah di saat mereka bahkan belum selesai berduka.

YLBH CaKRA menegaskan, apabila praktik ini dibiarkan, akan terbentuk preseden berbahaya: bahwa hak korban bencana bisa dinegosiasikan dengan uang.

“Negara tidak boleh kalah oleh logika transaksi ketika berhadapan dengan nyawa dan jenazah warganya,” tutup Fkahrurrazi. 

Terkait hal diatas wartawan media ini belum bisa menghubungi para pihak terkait hal diatas yang dialami oleh keluarga miskin yang diduga dipalak oleh pihak RS Cut Mutia Aceh Utara (A1)

Bagikan:
KOMENTAR