ACEH TIMUR – Ribuan warga di Kecamatan Pante Bidari, Kabupaten Aceh Timur, bertahan dalam kondisi kelaparan dan tanpa bantuan memadai setelah banjir besar melanda kawasan itu sejak 25 November 2025. Air kiriman dari hulu Sungai Arakundo datang tiba-tiba dengan arus deras, menghantam permukiman, lahan pertanian, dan seluruh sumber penghidupan warga.
Selama empat hari, hingga air mulai surut pada 29 November 2025, warga mengaku tidak mendapat evakuasi, logistik yang layak, maupun layanan darurat. Di sejumlah desa pedalaman, ketinggian air dilaporkan mencapai sekitar empat meter dan merendam rumah hingga nyaris ke atap.
Seorang warga, Anwar (45), hanya berdiri memandangi tanah kosong di bantaran sungai lokasi rumahnya yang hanyut disapu arus.
“Rumah saya hilang semuanya. Tidak ada yang bisa diselamatkan. Kami hanya sempat menyelamatkan keluarga,” ujarnya pelan saat ditemui, Senin, 1 Desember 2025.
Warga menyebut, ketika banjir berada pada titik tertinggi, tidak ada tim penyelamat yang masuk ke lokasi. Perahu penyelamat, sirene peringatan dini, maupun posko darurat tak terlihat. Proses penyelamatan dilakukan secara swadaya dengan peralatan seadanya, mengutamakan anak-anak dan lansia.
Situasi kian berat ketika persediaan makanan dan air bersih habis, sementara akses jalan terputus. Seorang ibu menceritakan, anak-anak terus merengek meminta makan sementara ia tidak memiliki apa pun untuk disajikan. “Anak-anak terus bertanya kapan bisa makan. Saya tidak punya jawaban,” tuturnya sambil memeluk anak balitanya yang masih tampak syok.
Setelah banjir surut, warga menilai bantuan yang datang sangat minim. Dari Kantor Camat, setiap desa disebut hanya menerima tiga sak beras. Jika didistribusikan ke seluruh kepala keluarga, masing-masing warga hanya memperoleh sekepal beras.
“Segenggam saja yang kami terima. Bagaimana itu bisa mengganjal perut anak-anak?” keluh seorang warga lainnya.
Kerusakan tampak parah di sepanjang aliran Sungai Arakundo. Banyak rumah roboh, sebagian hanyut terbawa arus. Kasur dan perabotan terendam lumpur, peralatan memasak hilang, dan pakaian hanya tersisa beberapa helai yang tersangkut di semak-semak. Ternak dilaporkan banyak yang hanyut, sementara kebun dan lahan garapan rusak berat.
Kini warga Pante Bidari hidup dalam kondisi serba darurat. Sebagian menumpang di rumah keluarga, lainnya masih berjuang membersihkan lumpur yang menimbun rumah mereka. Warga menunggu bantuan pangan yang layak, pendirian posko evakuasi, serta pendataan resmi dari pemerintah.
“Kami tidak meminta lebih. Kami hanya ingin tidak dibiarkan lapar,” kata Anwar, menatap aliran sungai yang merenggut rumah dan mata pencahariannya.
Banjir memang telah surut, tetapi rasa takut, kehilangan, dan lapar masih membayangi warga Pante Bidari, menanti keseriusan penanganan dari pihak berwenang.(RB)