Kemunculan “Truth Claim” Baru, Akibat Sekulerisasi Terselubung


author photo

15 Des 2025 - 13.47 WIB



Oleh : Yulita Andriani (Da’iyyah Samarinda)

Pandangan umum yang sepakat mengenai klaim kebenaran (truth claim) dalam agama menyatakan bahwa sebagai penganut agama, penting untuk mengakui hubungan yang erat antara kepercayaan dan klaim kebenaran. Agama tanpa klaim kebenaran dapat diibaratkan seperti pohon tanpa buah. Klaim kebenaran inilah yang kemudian disebut sebagai dogma oleh Alfred N. Whitehead atau aspek transenden (transcendence aspect) oleh Fazlur Rahman. Tanpa adanya hal ini, agama yang seharusnya bersifat form of life yang distinctive justru akan kehilangan kekuatan simboliknya yang khas.

Menurut Whitehead, baik dalam agama maupun ilmu pengetehuan, truth claim berupa dogma adalah sah. Dogma dalam agama merumuskan kebenaran pengalaman beragama, sedang dogma dalam ilmu pengetahuan mengungkap kebenaran pengamatan rasional.( Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Cet. II, 1999) hal. 49.)Klaim kebenaran (truth claim) bagi suatu agama adalah sesuatu yang alami atau natural. Lebih dari itu ia merupakan esensi jati diri sebuah agama. Oleh karena itu solusi apapun yang dimaksud untuk menyelesaikan problem pluralitas klaim kebenaran yang saling bertentangan (conflicting truth claim) tidak boleh menggangu keunikan dan eksklusivitas ini, baik dengan cara reduksi, distorsi atau relativisasi, apalagi dengan negasi. Sebab hal ini akan membunuh karakter atau jati diri agama itu sendiri.
(Asimilasi Simbol Keagamaan: Antara Truth Claim, Toleransi, dan Pluralisme Agama di Indonesia – CIOS UNIDA GONTOR)

*‘Truth Claim’ Baru, Membenarkan untuk Meyakini Agnotisisme*

Berdasarkan survei Pew Research Center terhadap hampir 80.000 orang di 36 negara, banyak yang beralih dari agama 'warisan', terutama yang menganut Kristen dan Buddha. Dalam penelitian tersebut, dijabarkan bahwa kebanyakan yang cenderung pindah agama atau menjadi ateis dan agnostik berada dalam kelompok usia muda. Misalnya di Singapura, 29% orang berusia 18-34 tahun mengaku memeluk agama berbeda dari yang diwariskan orang tua. Di Spanyol, 48% orang berusia 18-34 tahun telah beralih agama, dibandingkan 'hanya' 36% orang berusia 50 tahun ke atas yang melakukan hal serupa. Begitu juga di Kolombia, 34% anak muda berpindah agama berbanding dengan 14% di kelompok usia lebih tua.

Hal ini menunjukkan tren sekulerisme yang dianut anak muda mulai pada usia 20 tahunan. Beberapa negara seperti Spanyol, Kanada, Italia, dan AS, mencatat penduduknya menjadi tidak religius seiring perkembangan waktu. (https://www.cnbcindonesia.com/news/20250517063949-4-633976/makin-banyak-anak-muda-tidak-percaya-agama-tuhan-ini-datanya)

Bagaimana dengan di Indonesia? Fenomena agnostisisme di Indonesia menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. Berdasarkan data Pew Research Center tahun 2023, sebanyak 36 persen masyarakat Indonesia menyatakan diri sebagai agnostik, atau tidak lagi mengakui afiliasi terhadap agama tertentu.
Hal tersebut diungkapkan oleh Dosen Hubungan Internasional (HI) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Dr. Surwandono, S.Sos., M.Si., dalam wawancara pada Jumat (17/10) di Ruang Dosen Prodi HI UMY. Ia menyebut fenomena ini sebagai sesuatu yang unik sekaligus mengkhawatirkan. “Gejala ini unik sekaligus mengerikan,” ujar Surwandono.
Surwandono menyoroti salah satu penyebabnya, yakni pergeseran pengaruh dan otoritas keagamaan di media sosial. Ia bahkan sempat menyoroti perbandingan di platform TikTok antara akun dakwah dan akun yang berafiliasi dengan paham agnostik.

*Penganut Agnotisisme Semakin Banyak, Akibat Islam dianggap Sama dengan Dogma Agama*

Penganut Agnotisisme, sebenarnya tidak menyadari bahwa mereka sedang membuat “truth claim” yang baru, yaitu dengan mereka menuntut pembenaran bahwa Tuhan itu benar ada tapi agama semua sama saja, tidak ada yang lebih benar. Pandangan ini sebenarnya cabang atau anak pemikiran dari asasnya yaitu sekulerisme, dimana sekulerisme menuntut tidak ada ranah Tuhan dalam kehidupan manusia, urusan Tuhan hanya urusan dalam rumah ibadah. 
Apakah ini berbahaya? Ya, jelas berbahaya, karena tanpa mereka sadari mereka telah menjadi penganut sekulerisme, dengan menyingkirkan agama mereka sendiri. Inilah PR generasi tua, karena penyebab mereka menganggap agama hanya dogma, atau menganggap agama tidak sesuai dengan rasionalitas, adalah karena mereka dibiarkan mengenal agama melalui jalan pewarisan dari orangtua sebelumnya. Tidak dilatih untuk menggunakan akalnya, untuk berfikir tentang tiga pertanyaan mendasar yang akan menjadi cikal bakal pembentuk tujuan hidup mereka. Pertanyaan darimana mereka berasal, untuk apa mereka hidup, kemana mereka setelah mati, justru diabaikan, dan akhirnya mereka mencari jawaban dari luar Islam. Efek sekulerisasi terselubung ini, menghantarkan pada jawaban sebagaimana halnya jawaban kaum sekuleris, yaitu manusia diciptakan dari Tuhan, Sesudah mati nanti kembali kepada Tuhan tetapi Tuhan hanya sekedar menciptakan, sedangkan selama hidup didunia, itu ranah manusia mengurusinya sendiri dengan menjadikan mater i(manfaat) sebagai pusat hidup.
Akibatnya, mereka tidak faham bahwa Islam adalah agama yang rasional, bahwa Islam memerintahkan mereka untuk berfikir sebelum membuat klaim baru tentang apa itu kebenaran atau mana agama yang benar (shahih) itu. Ditambah, efek digitalisasi, membuat mereka menelan mentah-mentah informasi apapun yang berasal dari dunia digital tanpa mereka berminat untuk bertatap muka mencari kebenaran dengan para ulama hanif. Bahkan mereka tidak faham bahwa mereka telah meyakini pemikiran kufur. Na’udzubillahi min dzaalik.
Islam, sudah mengingatkan kepada kita, dalam firman Allah SWT yaitu QS.An-Nisa ayat 9 :
وَلْيَخْشَ ٱلَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا۟ مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَٰفًا خَافُوا۟ عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَلْيَقُولُوا۟ قَوْلًا سَدِيدًا
Artinya: “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.”

Cukuplah ini menjadi peringatan bagi para generasi tua untuk mempersiapkan anak keturunan mereka dalam keadaan kuat, kuat tidak hanya fisik tapi juga spiritualnya. Anak-anak kita, generasi penerus masa depan, jika tidak dibentuk oleh kita, maka mereka akan dibentuk oleh penganut keyakinan atau agama lain. Dan jika kita tidak dibantu dengan sistem yang faham bagaimana bentukan kepribadian Islam itu adalah hasil sinergi antara individu-individu bertakwa, masyarakat yang aktif dan bertakwa, serta negara yang menjaga ketakwaan itu terus meningkat, maka kerja keras teramat keras harus kita curahkan disebabkan tantangan teknologi dan berseliwerannya berbagai paham diluar Islam akan mempengaruhi akal dan jiwa mereka. Wallaahu’alam bish-showwab.
Bagikan:
KOMENTAR