Ketahanan Keluarga dan Harapan yang Hilang: Saatnya Islam Kaffah Menawarkan Jalan Pulang


author photo

5 Des 2025 - 15.39 WIB




Oleh: Syahida Adha, S.Pd. 

Di Kalimantan Timur, angka kekerasan terhadap perempuan dan anak kembali menghentak nurani publik. Hingga Oktober 2025 tercatat lebih dari seribu kasus sepanjang tahun, atau setara tiga hingga empat korban baru setiap hari. Angka-angka itu bukan sekadar statistik, melainkan kisah nyata tentang luka, ketakutan, dan trauma yang mengendap di ruang paling privat: rumah. Tragedi yang seharusnya tidak pernah terjadi di tempat yang diyakini sebagai zona aman bagi jiwa-jiwa yang rapuh.
Beragam respons muncul dari pemerintah daerah. Seminar parenting diselenggarakan dengan mengusung tema sinergi ayah dan ibu, seolah melalui komunikasi lebih baik dan pola asuh setara, persoalan panjang ini dapat diredam. Pemerintah juga memperkuat layanan Pusat Pembelajaran Keluarga sebagai tempat aduan, konseling, dan edukasi bagi keluarga yang membutuhkan. Upaya-upaya ini tampak menjanjikan di permukaan, memberikan sekelas harapan bahwa ada usaha terukur untuk meredam tingginya kekerasan di balik dinding rumah.
Namun masyarakat seolah menyimpan pertanyaan yang tak pernah terucap. Apakah program-program ini mampu menjangkau akar persoalan, atau hanya mengobati permukaan luka tanpa menyentuh sumber yang paling dalam? Realitas menunjukkan bahwa banyak keluarga hidup dalam situasi ekonomi yang terhimpit, emosi yang tidak terkelola, dan tekanan hidup yang tidak berhenti. Rumah yang seharusnya menjadi tempat pulang, perlahan berubah menjadi medan pertengkaran, dan dalam kasus yang lebih buruk, arena kekerasan.
Pada saat yang sama, sistem kehidupan hari ini menempatkan keluarga pada posisi yang lemah. Orang tua dibebani banyak tanggung jawab, tetapi tidak dibekali fondasi moral dan spiritual yang kokoh untuk menjalankannya. Nasihat parenting yang berfokus pada teknik komunikasi, manajemen emosi, atau pendekatan psikologi modern, tak jarang berhenti hanya pada tips praktis, tanpa membangun fondasi nilai yang mampu menahan dorongan manusia untuk menyakiti ketika terjerat kemarahan atau frustrasi. Padahal tanpa fondasi nilai, keterampilan teknis nyaris tak berarti.
Di sinilah tampak jelas bahwa persoalan keluarga tidak hanya berkaitan dengan kemampuan individu mengelola konflik, tetapi juga berakar pada sistem kehidupan yang memisahkan manusia dari nilai dan tujuan hidup yang luhur. Dalam sistem sekuler kapitalis, keluarga dinilai berdasar fungsinya, bukan kesuciannya. Anak dipandang sebagai proyek investasi masa depan, bukan amanah. Pendidikan diarahkan untuk pencapaian materi, bukan pembentukan akhlak. Setiap individu berjalan sendiri, meski tinggal serumah. Tidak mengherankan jika kekerasan muncul, karena tidak ada nilai yang menahan tangan seseorang ketika amarah datang, dan tidak ada rasa takut kepada Tuhan ketika ia hendak berbuat zalim.
Islam memandang keluarga dengan cara berbeda. Dalam Islam, keluarga adalah institusi pembentuk karakter manusia, tempat keimanan dipupuk, akhlak ditanamkan, cinta disucikan, dan amanah kehidupan dijalankan. Orang tua bukan sekadar pengasuh, tetapi pemimpin, pendidik, penjaga, dan teladan. Rumah bukan sekadar tempat tinggal, tetapi arena pembentukan takwa. Namun Islam juga memahami bahwa keluarga tidak bisa berjuang sendiri. Kerusakan moral seringkali lahir dari ekosistem sosial yang rusak: media yang tak terkendali, pornografi yang mudah diakses, budaya permisif, hiburan vulgar, dan sistem pendidikan netral moral yang meminggirkan nilai agama.
Karena itu, Islam menempatkan negara sebagai penjaga ruang publik. Negara memiliki tanggung jawab membatasi, bahkan menutup akses informasi yang merusak moral masyarakat. Negara mengatur media, seni, dan ruang digital agar tidak menjadi generator kerusakan. Pada waktu yang sama, negara mencanangkan sistem pendidikan berbasis akidah Islam, yang tidak hanya mentransfer ilmu, tetapi membentuk kepribadian yang percaya kepada Tuhan, berakhlak, berilmu, dan bertanggung jawab sosial. Dalam sistem pendidikan seperti itu, anak belajar mencintai kebaikan, membenci keburukan, dan menyadari bahwa setiap perbuatan akan dipertanggungjawabkan. Nilai-nilai seperti itulah yang kelak menahan tangan seseorang untuk tidak menyakiti, meski marah.
Meningkatnya kekerasan keluarga seharusnya tidak hanya mendorong kita memperbaiki metode komunikasi, tetapi mengajak melihat kondisi sistemik yang melahirkan retaknya rumah-rumah hari ini. Sinergi ayah dan ibu memang penting, tetapi akan rapuh jika berdiri di atas fondasi sekuler tanpa dukungan sistem sosial dan politik yang sehat. Islam kaffah menawarkan jalan pulang, bukan dengan tambalan teknis, tetapi dengan membangun ulang pondasi moral individu, keluarga, dan masyarakat.
Rumah tidak akan kembali menjadi tempat aman hanya dengan materi seminar, tetapi melalui pembentukan manusia yang bertakwa, lingkungan sosial yang bermoral, dan negara yang melindungi generasinya dari kerusakan. Pada akhirnya, keluarga bukan sekadar tempat tinggal, melainkan tempat manusia belajar menjadi mulia.
Wallahu A'lam Bissawwab[].

.
Bagikan:
KOMENTAR