Oleh : Herliana Tri M
Hidup sejahtera, bahagia bersama keluarga adalah impian setiap insan. Memiliki keluarga yang utuh ada ayah, ibu dan buah hati dengan kecukupan materi merupakan dambaan setiap manusia baik yang belum menikah ataupun yang sedang menjalani pernikahan. Namun, apalah jadinya saat harapan dan keinginan tak seindah kenyataan. Hidup mapan, harmonis dan bahagia serasa ada di negeri dongeng.
Gambaran kehidupan penuh kecemasan, ketidakpastian masa depan, justru menghantui generasi masa kini. Hal ini nampak dari opini medsos akhir Oktober 2025 lalu, threads diramaikan dengan pembahasan terkait anak-anak zaman sekarang yang justru lebih takut miskin daripada takut tidak menikah. Unggahannya viral hingga disukai lebih dari 12.500 kali dan ditayangkan ulang lebih dari 207.000 pengguna lainnya. Dengan kata lain, mereka yang menyukai unggahan tersebut setuju atau sependapat dengan pemilik akun (kompas.com,22/11/2025)
Situasi dunia, dari zaman ke zaman memang selalu dinamis, membentuk pola pikir dan tindakan setiap generasi manusia berbeda-beda. Dulu, pada generasi Baby Boomers (lahir 1946-1964), usia pernikahan mereka tergolong muda, belasan tahun sudah menikah. Berikutnya pada generasi setelahnya, generasi X (lahir 1965-1979), ada kenaikan usia menikah rata- rata di usia 20 tahunan dan terus mengalami peningkatan sampai pada Generasi Z (lahir 1995-2009) atau masa gen Z yang sekang ini mengalami masa 'marriage is scary'. Kekhawatiran menikah dipicu oleh kondisi kemiskinan yang dialami bangsa ini.
Berdasarkan data penduduk miskin Indonesia menurut Bank Dunia per 2024 terdapat 194,4 juta jiwa atau 68,2 persen dari total populasi hidup pada garis kemiskinan atau dibawah garis kemiskinan.
Kemiskinan yang Melingkupi Negeri
Sistem Kapitalisme yang diterapkan di Indonesia merupakan biaya mahal yang harus ditanggung oleh seluruh penduduk negeri karena mayoritas pembiayaan negara diperoleh dari pajak dan utang dan sedikit porsi kekayaan alam untuk pembiayaan negara.
Dengan kondisi ketergantungan negara pada pajak, menjadikan kehidupan masyarakat tidaklah mudah. Semakin banyak pembangunan negara dan utang luar negeri, menjadikan beban rakyat semakin besar baik untuk mencukupi kebutuhan pribadinya ataupun pembayaran pajak yang terus naik nilainya dan bertambah jenis dan ragamnya.
Sebagai contoh adalah kenaikan yang sempat menghebohkan masyarakat terkait dengan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Pembayaran tertinggi PBB ada pada Kabupaten Jombang, Jawa Timur, dengan kenaikan mencapai
1.202%, Kota Cirebon 1.000%, Kabupaten Semarang 441%, Kota Mojokerto 300%, dan Kabupaten Bone 300%. Realitas dengan ketergantungan negara pada pajak rakyat menjadikan beban rakyat semakin lama semakin bertambah yang menjadikan angka kemiskinan bertambah terus dan semakin menjauhkan dari impian sejahtera.
Fenomena tingginya angka kemiskinan di Indonesia menunjukkan kegagalan sistem kapitalisme memenuhi hak-hak ekonomi masyarakat. Bahkan kondisi hidup miskin, menjadikan banyak perempuan Indinesia menjatuhkan pilihan untuk bermigrasi ribuan kilometer hanya demi mempertahankan standar dasar kehidupan.
Meninggalkan anak, suami dan berbagai resiko menghadang di depan mata menjadikan pilihan ' terpaksa dijalani' karena keadaan.
Sistem yang bertumpu pada pajak dan utang menjadikan kekayaan negara sebagai ladang rebutan pemilik modal menguasai dan eksploitasi alam secara ugal-ugalan bahkan mengabaikan dampak lingkungan bagi masyarakat sekitar.
Sebagai contohnya, lebih dari 80% migas Indonesia dikuasai asing, sehingga kekayaan alam yang besar di negeri ini tak berpengaruh nyata pada kehidupan masyarakat, dan tetap berkubang dalam kesulitan dan kemiskinan.
Inilah yang menjadikan gambaran kemiskinan di Indonesia bersifat struktural, yakni akibat kebijakan Pemerintah yang kurang berpihak terhadap kepentingan rakyat banyak. Inilah buah dari sistem kapitalistik.
Sebagai bagian dari rangkaian kehidupan, maka kita dapat memahami, mengapa generasi muda saat ini yakni gen Z lebih memilih menikmati hidupnya melajang dan takut hidup kekurangan apalagi.berada pada titik miskin. Logika kehidupan berat secara finansial men jadikan mereka berpikir seribu kali untuk memutuskan menikah.
Perhatian Pemerintahan Islam atas Rakyatnya
Kemiskinan atau kefakiran adalah suatu fakta yang membutuhkan solusi. Solusi Islam dalam mengatasi kemiskinan bukanlah sebatas tataran konsep semata. Perjalanan panjang sejarah pemerintahan Islam membuktikan bahwa solusi dari penerapan Islam benar-benar dapat direalisasikan.
Dalam kitab Al-Amwal karangan Abu Ubaid, diceritakan bahwa Khalifah Umar bin al-Khaththab menerapkan politik ekonomi yang memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan primer rakyat. Beliau menikahkan rakyatnya yang tidak mampu, membayar utang-utang mereka dan memberikan biaya kepada para petani agar mereka menanami tanahnya.
Pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, pada saat itu, rakyat sudah sampai pada taraf hidup dimana mereka tidak memerlukan bantuan harta lagi. Umar bin Abdul Aziz memerintahkan pegawainya untuk berseru setiap hari di kerumunan khalayak ramai, untuk mencukupi kebutuhannya masing-masing. “Wahai manusia! Adakah di antara kalian orang-orang yang miskin? Siapakah yang ingin menikah? Ke manakah anak-anak yatim?” Ternyata, tidak seorang pun datang memenuhi seruan tersebut.
Jaminan pemenuhan kebutuhan hidup, tidak hanya diberikan kepada kaum Muslim, tetapi juga kepada orang non-Muslim sebagai warga negaranya.
Dalam hal ini, orang-orang non-muslim yang menjadi warga negara Daulah Khilafah mempunyai hak yang sama dengan orang Muslim, tanpa ada perbedaan.
Demikianlah secuail gambaran yang menunjukkan betapa Islam yang diterapkan ketika itu benar-benar membawa keberkahan dan kesejahteraan hidup. Bukan hanya bagi umat Muslim, tetapi juga bagi umat non-Muslim yang hidup di bawah naungan Islam.
Dengan penerapan panjang pemerintahan Islam yang mampu menghadirkan kesejahteraan dengan penerapan aturan Nya, maka 'marriage is scary' tak perlu terjadi. Keluarga sakinah dambaan setiap insan dapat terwujud nyata dalam kehidupan bernegara dengan mengikuti risalah- Nya.