Generasi muda saat ini lahir di era digital, sehingga media sosial dan smartphone bagi mereka ibarat dunia kedua. Besarnya pengaruh buruk media sosial tidak disadari oleh mereka sebagai sebuah ancaman. Mereka disetir oleh media sosial yang fana sejak bangun tidur hingga tidur lagi sehingga tak sedikit anak dan remaja mengalami gangguan kesehatan mental seperti depresi hingga bunuh diri. Dampak lain dari tingginya akses digital tanpa pengawasan beresiko besar pada terpaparnya remaja dengan konten-konten negatif, seperti kekerasan, perundungan daring, gaya hidup liberal serta kecanduan konten dewasa. Data dari UNICEF menunjukkan bahwa anak-anak di Indonesia menggunakan internet rata-rata 5,4 jam per hari. Sebanyak 48 persennya mengalami cyberbullying, dan 50 persen diantaranya terpapar konten dewasa. (Kompas.com, 06/12/2025)
Untuk mengantisipasi lonjakan ancaman digital pada anak dan remaja, pemerintah melalui kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2025 (PP Tunas). Melalui PP Tunas ini, Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) berkewajiban menyediakan teknologi dan fitur aman bagi anak seperti verifikasi usia, kontrol orang tua, dan edukasi keamanan digital. Kementerian Komdigi berharap dengan hadirnya PP Tunas ini bisa membimbing generasi dalam penggunaan teknologi secara aman dan bertanggung jawab. (Bisnis.com, 19/11/2025)
Isu gangguan kesehatan mental yang dialami generasi muda saat ini memang bukan perkara baru dan butuh solusi yang cepat dan menyeluruh karena jika dibiarkan bisa menghambat potensi bahkan menghancurkan generasi yang notabene sebagai tonggak peradaban masa depan. Hanya saja akar masalah dari problem ini harus ditelusuri secara mendalam agar solusi yang diberikan tepat. Sesungguhnya teknologi sendiri adalah sesuatu yang dibutuhkan oleh generasi, hanya saja sistem kapitalisme sekuler lah yang menjadi sumber masalah. Sistem yang memisahkan agama dengan kehidupan ini dengan sengaja menciptakan konten-konten merusak di media sosial.
Konten-konten tersebut kemudian diakses oleh generasi, membentuk pola pikir dan pola sikap keseharian mereka serta membentuk pemahaman sehingga mereka tidak memiliki kemampuan berfikir dan bertindak secara benar karena panca indera mereka terbiasa mengakses informasi yang salah dan merusak. Dan dengan cara pandang itulah mereka menghukumi segala sesuatu. Tidak adanya landasan aqidah yang benar semakin membuat generasi muda tidak memiliki filter dan mudah terkena gangguang mental.
Untuk itu, pembatasan akses digital pada generasi muda tidaklah cukup untuk menyelesaikan problem generasi saat ini. Solusi bagi gangguan kesehatan mental harus bersifat komprehensif dan bersumber dari ideologi yang benar, yakni Islam. Di dalam Islam, aqidah adalah benteng utama yang kokoh bagi generasi memfilter pemikiran asing yang merusak. Oleh karenanya, negara dalam Islam (khilafah) memiliki peran penting setelah keluarga untuk memberikan pendidikan yang tepat yang membentuk kepribadian Islam pada diri generasi. Pendidikan yang berbasis pada akidah Islam yang ditempuh melalui proses pembinaan (tatsqif) sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah saw kepada pada sahabat dan dilanjutkan oleh pada khalifah setelah beliau. Dari proses pembinaan inilah lahir generasi yang membawa pada perubahan yang revolusioner.