Oleh: Asih Lestiani
Bencana longsor dan banjir bandang yang menerjang sebagian wilayah Sumatra Barat, Sumatra Utara, dan Aceh di penghujung November 2025 meninggalkan jejak kehancuran luar biasa. Hujan deras yang turun terus-menerus selama beberapa hari menyebabkan sungai-sungai meluap dan lereng perbukitan runtuh. Ratusan desa terendam banjir dan infrastruktur vital terputus, dan bencana ini juga menelan ratusan korban jiwa.
Dr. Ir. Hatma Suryatmojo, S.Hut., M.Si., IPU., Peneliti Hidrologi Hutan dan Konservasi DAS UGM menegaskan bahwa bencana banjir bandang di akhir November 2025 sejatinya bukan peristiwa yang berdiri sendiri. Para ahli bahkan menilai fenomena ini merupakan bagian dari pola berulang bencana hidrometeorologi yang kian meningkat dalam dua dekade terakhir. Kejadian ini dipicu oleh perpaduan antara faktor alam dan tindakan manusia. (ugm.ac.id, 1/12/2025)
Jadi penyebab dari bencana bukanlah karena faktor curah hujan yang sampai pada puncaknya, banjir bandang terlihat sangat parah karena diiringi oleh karena menurunnya daya tampung wilayah yang kian menurun. Hal ini sejatinya menunjukkan kepada kita bahwa ada persoalan struktural dan tersistematis, dimana lagi dan lagi kerusakan yang terjadi akibat ulah tangan manusia yang hari ini dibiarkan begitu saja oleh sistem dan negara lewat kebijakan-kebijakan yang dibuatnya, di antaranya dengan memberikan kelonggaran perizinan perusahaan sawit, tambang untuk ormas, pemberian konsesi lahan kepada korporasi dan asing, dan undang-undang yang mempermudah eksploitasi SDA seperti UU Minerba dan UU Cipta Kerja.
Namun, begitulah kehidupan di sistem kapitalisme sekuler-demokrasi. Praktik seperti ini bukanlah kebetulan, ini semua melekat secara struktural. Penguasa dan para pengusaha (pemilik modal) seringkali kongkalikong atau bekerja sama dalam kepentingan-kepentingannya, memanfaatkan dalih “pembangunan” untuk menguasai hak rakyat sambil menutup mata dan abai terhadap dampak kerusakan lingkungan yang ditimbulkannya. Dan pada akhirnya, rakyat juga yang menanggung dampak dan bencananya, sedangkan para penguasa dan para pemilik modal justru menikmati keuntungan dari eksploitasi tersebut.
Musibah banjir dan longsor di Sumatra dan Aceh memperlihatkan betapa rapuhnya ekologi setelah pembukaan hutan besar-besaran demi kepentingan bisnis. Tanah kehilangan daya serap, aliran sungai tak lagi tertata, dan bentang alam tak mampu melindungi masyarakatnya dari banjir dan longsor. Inilah efek dari negara meninggalkan hukum Allah atau sistem Islam dalam pengelolaan lingkungan. Masyarakat lagi-lagi yang menderita dan menjadi korban, sedangkan pengusaha dan penguasa yang menikmati hasil hutannya.
Allah di dalam firman-Nya sudah mengingatkan bahwa kerusakan di bumi ini akibat ulah manusia. Hal ini sebagaimana dalam ayat berikut:
ظَهَرَ ٱلْفَسَادُ فِى ٱلْبَرِّ وَٱلْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِى ٱلنَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ ٱلَّذِى عَمِلُوا۟ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
Artinya: “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rum [30]: 41)
Ayat di atas bukan hanya peringatan, tetapi juga arahan bahwa manusia bertanggung jawab menjaga kelestarian alam. Namun, dalam sistem kapitalisme yang orientasi utamanya adalah profit (keuntungan), bukan amanah sebagaimana dalam sistem Islam. Kebijakan dalam sistem kapitalisme dibuat bukan untuk menjaga bumi, tetapi untuk mengamankan kepentingan pemilik modal. Maka yang terjadi yakni rakyat menderita, sementara pengusaha dan penguasa memanen keuntungan dari hutan yang rusak itu.
Sedangkan di dalam Islam, umat Islam harus menjaga kelestarian lingkungan sebagai wujud keimanannya kepada Allah. Selain itu, negara dalam sistem Islam harus menggunakan hukum Allah dalam mengurusi semua urusannya, termasuk tanggung jawab menjaga kelestarian alam dengan menata hutan dalam pengelolaan yang benar. Negara akan memastikan hutan, tambang, sungai, air dan segala hajat hidup orang banyak tidak jatuh ke tangan korporasi atau para pemilik modal saja. Semua akan dikelola negara untuk kepentingan dan kesejahteraan masyarakat dan keberlanjutan lingkungan.
Negara juga siap mengeluarkan biaya untuk antisipasi pencegahan banjir dan longsor, melalui pendapat dan konsultasi dengan para ahli lingkungan, rehabilitasi hutan, dan sebagainya.
Hanya dengan hukum Allah, negara dapat meminimalisir terjadinya banjir dan longsor yang menyengsarakan rakyat. Khalifah atau pemimpin di dalam sistem Islam sebagai pemegang mandat dari Allah akan fokus setiap kebijakannya mengutamakan keselamatan umat manusia dan lingkungan dari dharar. Asasnya adalah:
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ
“Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak (pula) membahayakan orang lain".
Pemimpin di dalam sistem Islam atau Khalifah akan merancang blueprint tata ruang secara menyeluruh, melakukan pemetaan wilayah sesuai fungsi alaminya, tempat tinggal dengan semua daya dukungnya, industri, tambang, dan sebagainya. Khalifah tidak akan menggadaikan hutan untuk kepentingan investor. Keselamatan manusia dan keberlanjutan alam lebih penting dari keuntungan jangka pendek. Hanya dengan sistem Islam yakni dengan kembali kepada hukum Allah, kerusakan alam dapat dicegah dan diminimalisir, dan buku dapat menjadi tempat yang aman
Hanya dengan menerapkan kembali aturan Allah di muka bumi kerusakan dapat dicegah dan ditanggulangi, risiko bencana bisa diminimalisir, dan bumi dapat kembali menjadi lingkungan yang aman bagi kehidupan manusia. Wallahu a'lam bishawab.