Heroiknya Radio Rimba Raya dalam Agresi Militer Belanda


author photo

8 Feb 2020 - 12.53 WIB


Radaraceh.id l Aceh - Memang patut mendapat Provinsi istimewa. Daerah paling barat di negeri ini, bukan hanya mayoritas penduduknya muslim, juga kontribusinya saat kemerdekaan sangat besar.

Mereka, bukan hanya memberikan pesawat Seulawah sebagai cikal bakal lahirnya Garuda, juga turut menyiarkan eksitensi republik ini masih ada, terutama saat agresi pertama, Juli 1947.

"Republik Indonesia masih ada, karena pemimpin republik masih ada, tentera republik masih ada, pemerintah republik masih ada, wilayah republik masih ada dan di sini adalah Aceh".

Begitulah siaran tersebut berkumandang  dari lebatnya hutan di Aceh, atau tepatnya dari Radio Rimba Raya, di desa Rimba Raya, Kecamatan Timang Gajah, Kabupaten Bener Meriah, Tanah Gayo, Aceh. Berkat siaran singkat itu dunia tahu Indonesia tetap ada. Indonesia tetap merdeka.

Berita itu disiarkan melalui stasion radio berkekuatan satu kilowatt pada frekwensi 19,25 dan 61 meter.

Keterangan beberapa tokoh yang berjasa mendirikan Radio Rimba Raya yang kemudian dihimpun dalam buku berjudul "Peranan Radio Rimba Raya" terbitan Kanwil Depdikbud Aceh, menyebutkan, begitu besarnya kiprah radio perjuangan tersebut.

Dalam buku itu diceritakan, saat menyampaikan berita tentang Kemerdekaan Republik Indonesia itu dapat ditangkap jelas oleh sejumlah radio di Semananjung Melayu (Malaysia), Singapura, Saigon (Vietnam), Manila (Filipina) bahkan Australia dan Eropa.

Pada awalnya, selain mengudara untuk kepentingan umum, para awak radio ini juga melakukan monitor, mengirim berbagai pengumuman dan instruksi penting bagi kegiatan angkatan bersenjata. 

Siaran Radio Rimba Raya di tengah hutan belantara Aceh Tengah itu, menampilkan lima bahasa, yakni bahasa Inggris, Belanda, Cina, Urdu dan Arab.
Dalam tempo enam bulan mengudara.

Bahkan, seperti halnya perang gerilya, radio itupun berpindah-pindah. 
Di Koetaradja (Banda Aceh), radio pemancar itu dipasang di desa "Cot Gue", delapan kilometer arah selatan ibukota tersebut. Penyiarannya dilakukan dalam sebuah gedung peninggalan Belanda di Kawasan Peunayong.
Pemancar di desa "Cot Gue" dan Studio Peunayong, dihubungkan dengan kabel dan selain juga disiapkan studio cadangan lain untuk mengantisipasi bila sewaktu-waktu Koetaradja direbut musuh.

Pemancar radio pada saat itu tidak sempat mengudara, karena terjadi agresi militer Belanda ke-dua pada 19 Desember 1948. Dalam keadaan yang genting itu, 20 Desember 1948 pemancar diberangkatkan ke Aceh Tengah dengan pengawalan ketat dan dirahasiakan. Daerah yang dituju, ialah desa Burni Bius, Aceh Tengah dengan pertimbangan lokasi itu dinilai strategis dan secara teknis dapat memancarkan siaran dengan baik.

Karena perannya yang sangat besar, maka Orde Baru Radio Rimba Raya yang monumennya diresmikan oleh Menteri Koperasi/Kepala Bulog, Bustanil Arifin pada 27 Oktober 1987 pukul 10.30 WIB itu, terletak di desa Rimba Raya, Kecamatan Timang Gajah, Kabupaten Bener Meriah.

Sayangnya, tugu itu kini hanya sebatas monumen bisu yang tak terurus. 
"Butuh perhatian pemerintah untuk melestarikan salah satu tonggak sejarah pending berdirinya republik ini," ujar putra Ketua DPD Provinsi Aceh Aliansi Indonesia, Asri Didiansyah, didampingi Mahda Niza dan Arman Ihsandika.

Ketiganya berkunjung ke DPP Aliansi Indonesia, diterima oleh Ketua Kasgab HM Gunter Gempar Alam, yang didampingi oleh Ketua Umum PWOIN, Feri Rusdiono.

"Itu sejarah yang tak terlupakan dalam sejarah Kemerdekaan Indonesia," ujar HM Gunter yang diiyakan oleh Feri.

Bahkan Feri siap mengerahkan anggotanya untuk mensosialisasikan kiprah Radio Rimba Raya untuk merenovasi monumennya.

"Kami siap bersinergi untuk sejarah bangsa," tegas Feri. (Romy)
Bagikan:
KOMENTAR