Aisyah Karim (Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban
Sejarawan Mesir Dr. Raghib As-Sirjani dalam bukunya berjudul "Qishah Al-Andalus" (Kisah Andalusia) menjelaskan setidaknya ada 3 faktor penting yang menyebabkan kejayaan Islam di negeri Andalusia runtuh. Ketiganya adalah gaya hidup mewah dan glamour dari pemimpin, sibuk dengan urusan dunia dan meninggalkan urusan jihad dan merebaknya berbagai kemaksiatan dan kemungkaran yang dibiarkan.
Dr. Raghib As-Sirjani melanjutkan, "Tenggelam dalam kemewahan, cenderung pada kesenangan duniawi, dan bergelimangan dalam kenikmatan-kenikmatan sementara. Masa-masa keterpurukan dan kejatuhan sering terkait dengan banyaknya harta, tenggelam dalam kesenangan, rusaknya generasi muda, dan penyimpangan besar pada tujuan..."
------------
Awal Februari lalu masyarakat Kota Langsa menyoroti peresmian sebuah cafe dengan fasilitas 8 meja billiard. Pro kontra muncul setelahnya, konon pusat latihan billiard ini bertujuan untuk mencari bibit atlit yang nantinya akan bertanding di tingkat Daerah, Provinsi maupun tingkat Nasional, bukan tempat penjudian.
Berbagai pihak kemudian turun menyaksikan langsung bahwa tidak ada perjudian disana, tak menggunakan koin hanya membayar uang dengan jumlah tertentu untuk pemakaian per jam. Tidak hanya sampai disitu, seorang jurnalispun harus berurusan dengan pihak berwajib karena menurunkan berita yang diduga mempolitisir peresmian cafe billiard tersebut. Pejabat gampong setempat mengapresiasi keberadaan cafe mampu menyerap tenaga kerja mulai dari menjadi tukang parkir, pekerja cafe dan menjaga pusat pelatihan billiard.
Seorang tokoh ulama Huda (Himpunan Ulama Dayah Aceh), Tgk. Syeh Muhajir Usman, S. Ag LLM menyampaikan dengan tegas melarang segala bentuk permainan yang bisa mengarah dan menjurus kepada perbuatan maisyir (pab-indonesia.co.id 1/2/2020). Beliau berpendapat bahwa Aceh merupakan satu-satunya daerah dengan penerapan syariah Islam, namun disisi lain ada pihak-pihak yang terus memberi peluang yang bertentangan dengan penegakan syariah Islam itu sendiri.
Syariah Islam yang diterapkan di Aceh senantiasa berkembang dengan dinamikanya sendiri. Kita harus objektif dan jujur mengakui bahwa syariah Islam yang di usung propinsi ini adalah syariah parsial bukan syariah kaffah. Sistem kepemimpinan politik dan ekonomi menggunakan corak kapitalisme sekuler. Corak yang sama diterapkan di semua kabupaten/kota termasuk di Kota Langsa.
Penerapan syariah parsial meniscayakan hadirnya problematika yang kemudian berpeluang mengguncang syariah Islam itu sendiri. Karena secara fitrah masyarakat akan terbelah, yang pro syariah atau pro kapitalisme sekuler.
Bagi mereka yang mendamba syariah jelas keberadaan cafe billiard mengancam kehidupan sosial masyarakat. Biliard tidak hadir sebagai olah raga semata. Jika hanya soal melatih konsentrasi dan ketangkasan masih banyak jenis olah raga lain yang mampu memberikan manfaat tersebut.
Bagi mereka yang mendamba syariah jelas keberadaan cafe billiard mengancam kehidupan sosial masyarakat. Biliard tidak hadir sebagai olah raga semata. Jika hanya soal melatih konsentrasi dan ketangkasan masih banyak jenis olah raga lain yang mampu memberikan manfaat tersebut.
Keberadaan billiard terkait erat dengan gaya hidup. Kapitalisme telah menyihir manusia untuk keluar dari zona hidup apa adanya. Terdapat perubahan pola konsumsi manusia dari hanya sekadar mengonsumsi apa yang menjadi kebutuhannya, menjadi konsumtif dengan mengkonsumsi segala sesuatu yang tidak hanya berdasarkan kebutuhan, melainkan karena gengsi demi mencapai kepuasan.
Salah satu contoh kebutuhan baru manusia yang lahir dari rahim kapitalisme global dan membentuk budaya konsumerisme di Aceh (khususnya generasi mellenial) adalah budaya bersantai di cafe. Cafe tak lagi menjadi tempat yang esensial untuk memenuhi kebutuhan kuliner, tetapi telah menjadi kebutuhan baru bagi gaya hidup masyarakat modern perkotaan.
Berkunjung ke cafe dianggap sebagai sebuah kemewahan karena dianggap sebagai sebuah tren yang wajar untuk di ikuti dan perlu untuk dipenuhi demi memuaskan ego. Apalagi jika cafe tersebut memiliki fasilitas tambahan seperti billiard dan live music. Melalui Cafe dengan aneka fitur, kapitalisme global telah merasuki sekat-sekat kehidupan secara massif dan agresif sehingga mampu mengecoh manusia untuk menentukan dan membagi skala prioritas dalam kehidupan mereka.
Berkunjung ke cafe dianggap sebagai sebuah kemewahan karena dianggap sebagai sebuah tren yang wajar untuk di ikuti dan perlu untuk dipenuhi demi memuaskan ego. Apalagi jika cafe tersebut memiliki fasilitas tambahan seperti billiard dan live music. Melalui Cafe dengan aneka fitur, kapitalisme global telah merasuki sekat-sekat kehidupan secara massif dan agresif sehingga mampu mengecoh manusia untuk menentukan dan membagi skala prioritas dalam kehidupan mereka.
Billiard sendiri adalah jenis olahraga yang dihasilkan dengan sentuhan hadharah (peradaban) Barat. Jangankan di Aceh, di kota metropolitan sekalipun imej buruk dari tempat-tempat billiard telah melekat. Biliard bersenyawa dengan judi karena inilah fitrahnya. Justru ketika sejumlah pihak yang mendukung keberadaan tempat ini dengan sejumlah klaim pengawasan dan pemantauan berkelanjutan, terkesan sebagai sesuatu yang dipaksakan. Lambat laun sesuatu toh akan kembali ke fitrahnya, itulah hukum alam.
Keberadaan billiard juga berpotensi mengukuhkan kaum muda tenggelam dalam kehidupan hedonis, begitulah kapitalis mememainkan perannya. Di kota-kota besar billiard menempati ruang kumpul para profesional muda selepas beraktivitas. Beberapa diantaranya khusus ditujukan untuk masyarakat menengah keatas. Kapitalisme menyulap tempat billiard menjadi meeting point yang menyenangkan dan elegan bagi kaum muda, eksekutif muda, anak-anak muda untuk bersenang-senang dengan teman, keluarga maupun kolega. Ditempat itu dilangsungkan aneka pesta, gathering dan turnamen gembira.
Ditempat semacam ini para pemuda tidak akan menemukan komunitas yang mengasah fikirnya tentang problematika bangsa. Tentang ekonomi yang semakin sulit, dinamika politik oportunis, politik dagang sapi, tentang harga bawang dan kebutuhan pangan yang kian melambung, tentang penggerusan aqidah yang massif dan sistematis dan lain sebagainya.
Mereka hadir untuk bersantai, untuk bermain dan untuk bersenang-senang. Pada akhirnya, generasi ini akan menjadi generasi yang lemah. Budaya ini berpeluang menulari kaum muda lainnya, sebagaimana tempat semacam ini juga pasti akan menggandakan dirinya. Mungkin saat ini baru satu, esok lusa akan hadir diberbagai sudut kota.
Yang harus dilakukan saat ini bukanlah berdebat, penting bagi penguasa dan masyarakat untuk duduk menata ulang semuanya, hendak dibawa kemana Langsa ini ? Jika memang syariah yang di pegang, istiqamahlah. Terapkan syariah kaffah, memerintahlah dengan Islam, berekonomi Islam, berpendidikan Islam, bumikan Islam dalam segala aspek kehidupan. Jaga generasi, jangan gadaikan mereka hanya untuk mengejar materi.
Termasuk didalamnya masalah olah raga, selektiflah. Ikuti sunnah Rasulullah, Islam menganjurkan olah raga yang mampu memberikan ekspektasi jauh melampaui billiard dalam hal konsentrasi, kecerdasan dan ketangkasan. Ada berenang, berkuda dan memanah. Sudahkah yang disunnahkan Rasulullah ini di syiarkan ?
Terakhir, sekadar mengingatkan bahwa diantara tanda baiknya seorang muslim adalah ia meninggalkan hal-hal yang sia-sia dan tidak bermanfaat. Waktunya hanya diisi dengan hal yang bermanfaat untuk dunia dan akhiratnya. Sedangakan tanda bagi orang yang tidak baik Islamnya adalah sebaliknya. Dari Abu Hurairah r.a, dari Nabi SAW, beliau bersabda;
"Diantara kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat" (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan Syaikh Al Albani, bahwa hadits ini shahih).
Andalusia yang tegak selama 800 tahun, mengajarkan kepada kita bahwa bersenang-senang dan lalai akan berakhir menyedihkan, tidakkah kita mengambil ibrah dari semua itu ?