Pelaku Amoral Kebanjiran Job di Sistem Sekuler Liberal


author photo

10 Sep 2021 - 12.10 WIB


Oleh Habibah (Aktivis Dakwah Peduli Umat)

Bebasnya terpidana kasus pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur telah mendapat sambutan meriah bak pahlawan di negeri yang mayoritas penduduknya muslim. Jelas saja hal ini mendapat reaksi keras dari berbagai kalangan serta dinilai berbagai pihak sebagai sikap yang terlalu berlebihan.
Masyarakat makin dibuat geram saat dikabarkan sudah banyak job yang menanti penyanyi dangdut tersebut. Kabarnya, pria yang akrab dipanggil Bang Ipul ini juga akan kembali ke panggung hiburan Tanah Air. Seruan boikot pun ramai ditujukan untuk Saipul Jamil. Zoya Amirin dalam salah satu unggahannya, Kamis (2/9) menuliskan "Saatnya cancel culture yang tepat sasaran! Cancel pelaku pedofilia di Televisi Nasional #CancelpedofiliadiTVNasional," 
Unggahan tersebut sontak menuai berbagai reaksi netizen. Warganet bahkan terang-terangan mendukung gerakan boikot Saipul Jamil di berbagai TV Nasional. Melalui medsos, di Twitter, kata Saipul Jamil menjadi trending topic. Kebanyakan mencuitkan kalimat pedas bercampur kesal melihat penyambutannya. Sebagaimana dilansir dari laman Kompas.com (5/9/2021), petisi daring berisi ajakan untuk memboikot SJ yang ditujukan kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) terus bertambah.

"Jangan biarkan mantan narapidana pencabulan anak di usia dini masih berlalu-lalang dengan bahagia di dunia hiburan, sementara korbannya masih terus merasakan trauma." Demikian salah satu isi keterangan petisi yang dibuat di laman change.org oleh Lets Talk and Enjoy. (Kompas.com, 5/9/2021).

Sungguh miris, di negeri yang mayoritas muslim ini para pelaku kekerasan seksual diperlakukan istimewa bak pahlawan yang baru pulang berjuang di medan perang. Bagaimana dengan perasaan korban yang melihat Saipul Jamil yang sudah tampil di stasiun televisi sedangkan korbannya sedang berjuang untuk menghilangkan trauma atas apa yang menimpanya.

Hukuman penjara bagi pelaku saja tidak bisa buat korban lupa akan kejadian itu dan tentu saja tak setimpal dengan perbuatannya dan membuat jera pelaku. Ditambah lagi dengan sistem sekulerisme liberal yang diadopsi negeri ini yang tak menganggap perbuatan zina, pelecehan seksual sebagai dosa dan harus dihukum berat baik oleh negara maupun hukum sosial.

Di sisi lain KPI sebagai media penyiaran saat ini juga tengah menjadi sorotan karena dianggap membiarkan dugaan kasus kekerasan seksual dan perundungan menahun dalam lembaganya sendiri. Sebagaimana yang disampaikan advokat Dian Kartikasari dalam jumpa pers daring, Sabtu (4/9). "Hari ini kita melihat ada pembiaran terhadap kekerasan yang bertumpuk, kekerasan fisik, mental, verbal, dan seksual yang dilakukan oleh delapan staf KPI dan berjalan selama 10 tahun". (cnn.com, 4/9/2021). Warganet pun ramai-ramai mempertanyakan kinerja KPI sebagai pengatur penyelenggaraan penyiaran di Indonesia.

Belum lagi kita berbicara terkait tayangan yang ditampilkan di televisi, Tayangan-tayangan yang tak layak siar justru malah memadati prime time yaitu waktu dimana penonton paling banyak menonton televisi. Begitu juga dengan konten internet yang jauh dari filtrasi. Konten-konten "sampah" yang tak layak dikonsumsi masyarakat, terutama generasi, tak seharusnya disiarkan.
Inilah kegagalan media siar dalam tata kelola negara sekuler kapitalisme. Mereka kehilangan visi sebagai media dalam mengajarkan nilai-nilai luhur. Media hanya mengejar rating yang dengannya akan terhimpun keuntungan yang berlimpah. Tak peduli pesannya membawa petaka pada masyarakat khususnya generasi. Maka jangan heran, media begitu gencar mengekspos ide kebebasan tingkah laku. Jika dapat menghantarkan cuan, konten tak bermutu pun menjadi andalan. 

Melalui Media sekuler masyarakat senantiasa digiring untuk menghormati kebebasan tingkah laku seseorang dan diarahkan untuk mudah memaafkan kesalahannya dengan alasan setiap manusia pasti pernah melakukan kesalahan. Padahal, perkara ini bukanlah terkait maaf memaafkan, tetapi terkait menjadikan publik figure sebagai role model kebebasan. Karena tak bisa dipungkiri, bagi masyarakat yang jauh dari pemahaman agama, sosok artis adalah idola yang tingkah lakunya sering kali jadi inspirasi terutama kalangan remaja. Di sisi lain pemerintah sendiri seperti tak memiliki andil dalam menentukan mana yang boleh tayang dan mana yang tidak. padahal negara memiliki kuasa untuk hal tersebut.

Sungguh masyarakat hari ini sangat berharap kepada stasiun televisi agar melakukan hal yang dapat memberikan edukasi pada masyarakat. Bahwa setiap pelaku amoral seharusnya diberikan sanksi sosial atas perbuatannya serta alangkah baiknya semua TV memboikot mantan narapidana pencabulan anak diusia dini (pedofilia) muncul di televisi. Bagi para pelaku agar segera bertobat dengan kesungguhan untuk tidak lagi mengulang perbuatan maksiat tersebut. Negara juga harus memberikan sanksi yang tegas kepada setiap pelaku kekerasan seksual agar kasus ini tidak berulang kembali.

Wahai kaum muslimin sudah saatnya negeri ini harus berbenah dan berubah, tinggalkan sistem kapitalis sekuler yang mengagungkan kebebasan sebebas-bebasnya yang berdampak pada hilangnya moral manusia. Saatnya kita kembali kepada aturan Ilahi yang akan membawa kebaikan dan keberkahan di muka bumi ini, yakni sistem Khilafah Islamiyah. Dengan sistem ini pula lah yang akan menjadikan media menjalankan fungsinya untuk membangun masyarakat yang kukuh, yaitu masyarakat yang beriman dan bertakwa. Media tersebut juga akan senantiasa menayangkan acara-acara yang dapat menjaga keimanan dalam masyarakat serta menjalankan fungsi edukasi kepada publik tentang pelaksanaan kebijakan dan hukum Islam di dalam negara.
Wallahu 'alam bi ashowab.
Bagikan:
KOMENTAR