PARIWISATA DIJADIKAN SUMBER DANA, BERDAYA ATAU DIPERDAYA?


author photo

10 Nov 2023 - 08.56 WIB


Rini Rachmi Septiana, S. Pd.
Pemerhati Masalah Sosial

Pariwisata Malahing Bontang
Malahing adalah perkampungan di atas laut Kota Bontang. Kampung ini terletak di pesisir timur Kelurahan Tanjung Laut Indah, Kecamatan Bontang Selatan. Baru-baru ini, Kampung Malahing meraih predikat Juara 3 dengan kategori Kampung Wisata Maju, dalam acara Anugrah Desa Wisata  Indonesia (ADWI) 2023 yang diselenggarakan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Kampung Malahing yang dulunya dikenal sebagai kampung nelayan penghasil ikan dan rumput laut, kini telah bertransformasi dalam tatanan ekonomi baru.

Namun, dibalik perubahan tatanan ekonomi Kampung Malahing, yang terletak di tengah laut, ada cerita menyentuh dari pelajar yang harus menempuh perjalanan  dengan ojek kapal/perahu menuju sekolah di darat. Nasir Lakadda, Ketua RT 30, menyatakan, setiap hari mereka harus pergi pulang sekolah dengan menggunakan kapal/perahu. Biaya ojek kapal/perahu sekitar tiga ratus ribu rupiah per bulan, sementara pendapatan para orangtua pelajar tersebut sebagai nelayan tidak menentu. Dia berharap pemerintah memberikan perhatian khusus terhadap akses transportasi kapal/perahu bagi pelajar untuk memudahkan para pelajar.

Analisa
Sejalan dengan tujuan pembangunan kepariwisataan, pemerintah mengembangkan desa wisata yang bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi , kesejahteraan rakyat, menghapus kemiskinan, mengatasi pengangguran, melestarikan alam, lingkungan dan sumber daya serta memajukan kebudayaan. 

Pengembangan desa wisata juga merupakan salah satu bentuk percepatan pembangunan desa secara terpadu untuk mendorong transformasi sosial, budaya dan ekonomi desa. Karena itu, setiap daerah dan desa perlu mencermati potensi yang dimilikinya, untuk diangkat dan dikembangkan agar memberikan nilai tambah manfaat serta menghasilkan produktivitas yang tinggi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat. 
Adanya penetapan desa wisata oleh pemerintah diharapkan mampu menjadi lokomotif dalam meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat sekitar, menciptakan lapangan kerja, dan menumbuhkan UMKM. Pemerintah pun telah menggelontorkan dana puluhan milyar untuk membangun desa wisata. 

Pembangunan desa wisata tentu tak lepas dari campur tangan elemen masyarakatnya. Masyarakat diminta untuk berkreasi dan berinovasi sendiri demi kemajuan wilayahnya. Hasilnya roda perekonomian akan terus bergulir seiring dengan pencapaian wilayah tersebut. Pemerintah tak akan ikut campur, tetapi membantu mempromosikan wilayahnya sebagai tempat wisata yang menjanjikan. 
Setiap wilayah haruslah mandiri dalam menghadapi resesi ekonomi di negeri ini. Walaupun banyak pengangguran yang akhirnya pulang kampung, tak lantas berkecil hati, karena adanya ekonomi kreatif di daerahnya, tentu akan sangat membantu pemasukan untuk wilayahnya. Yang menjadi pertanyaan, benarkah desa wisata mampu menjadi solusi hakiki peningkatan kesejahteraan masyarakat? 
Ditengah kebijakan ini, sampai saat ini, masih ada sekitar 20.000 lebih desa dengan status sangat tertinggal dan tertinggal. Kondisi desa tertinggal sangat memprihatinkan, karena pembangunan seperti fokus pada wilayah perkotaan saja. Alhasil, kita menyaksikan pembangunan infrastruktur di kota yang jor-joran, tetapi pada saat yang sama jembatan ambruk di desa tak terperhatikan. Bahkan masih banyak wilayah yang kesulitan mengakses air bersih. 

Inilah fakta masyarakat di negeri korporatokrasi yang melepaskan tanggungjawabnya untuk mengurus seluruh kebutuhan warganya dan menyerahkan pengelolaan sumber daya alam sebagai sumber pemasukan besar negara pada swasta atau asing.

Wilayah pedesaan dipaksa mengembangkan potensi sumber daya alam demi meraup keuntungan yang sebesar-besarnya. Wisata dijadikan sumber pemasukan utama ketika new normal life diberlakukan. Adanya penetapan protokol kesehatan, suasana yang nyaman dan terjamin kebersihannya akan mengundang banyak wisatawan datang. 
Aturan yang berasaskan materialisme inipun akan terus mendukung ekonomi kreatif setiap desa. Artinya setiap desa harus menggali sumber daya manusia agar berdaya. Jangan mengharap bantuan dari pemerintah daerah ataupun pemerintah pusat. Jika dapat memberdayakan diri sendiri,  tentu akan menghasilkan keuntungan yang cukup bagi kebutuhannya. Negara telah lepas tangan dalam memenuhi kebutuhan rakyatnya. 
Pengembangan desa wisata dan ekonomi kreatif konon mengajak untuk dapat mandiri dalam mengelola kebutuhan hidupnya. Ketika berhasil, maka keuntungan  telah menanti. Itulah sistem yang tak ada jaminan dari  pemerintah untuk rakyat dari segi penyediaan lapangan pekerjaan atau dari sisi pemenuhan kebutuhan hidup. Sistem inilah yang dinamakan kapitalisme yang rusak dan merusak.

Pariwisata dalam Islam

Berbeda dengan sistem Islam. Islam merupakan satu-satunya sistem yang memiliki aturan yang  sempurna untuk  menjadikan rakyatnya sejahtera dan hidup sesuai dengan fitrahnya. Aturan kepemilikan dalam Islam, mengharamkan pengelolaan sumber daya alam diserahkan kepada asing. Negaralah yang wajib mengelola sumber daya alam untuk kemaslahatan umat. Inilah jaminan kesejahteraan dalam Islam.

Dalam pandangan Islam, saat desa, kota atau pulau dijadikan sebagai tempat wisata, hukumnya adalah mubah atau boleh, jika dalam rangka melestarikan alam. Namun, ada hal yang harus diperhatikan, yaitu jika didalamnya terdapat pelestarian budaya yang berunsur kesyirikan, merusak alam, produksi/konsumsi miras dan hal-hal yang bertentangan dengan syariat Islam, maka semua itu hukumnya haram.

Pariwisata, dalam Islam, bukanlah bagian utama dari sumber perekonomian negara. Pariwisata, dalam sistem kapitalisme,sangat kental dengan budaya hedonis. Sedangkan dalam Islam, umat akan disibukkan dengan hal-hal produktif, membuat karya terbaik sebagai kontribusi untuk negara dan agama atas dorongan keimanan. Masyarakat tidak akan didorong untuk lalai dengan kenikmatan dunia yang sesaat. Akan tetapi, masyarakat disibukkan beramal untuk bekal kehidupan yang abadi di akhirat nanti.

Islam memandang bahwa proyek-proyek strategis yang berkaitan dengan hajat orang banyak dan kepemilikan umum, seperti pantai, hutan,  laut, jalan, harus dikelola oleh negara. Tidak boleh dikelola oleh swasta. Karena jika dikelola oleh swasta, orientasinya adalah profit. Sementara semua itu adalah sesuatu yang dibutuhkan oleh masyarakat banyak. 
Dalam Islam, pemasukan negara adalah dari kepemilikan umum, yaitu benda-benda yang dibutuhkan dan menguasai hajat hidup orang banyak. Yaitu barang tambang dan hutan. ”Kaum Muslim bersekutu dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput dan api.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)
Kepemilikan negara yaitu harta yang merupakan hak seluruh kaum Muslimin yang dikelola oleh negara, seperti zakat, pajak, jizyah, kharaj, ghanimah, harta orang murtad serta yang tidak mempunyai ahli waris. Maka, pariwisata tidak pernah menjadi aset untuk menjamin kesejahteraan rakyat. Tempat-tempat wisata tetap menjadi fasilitas umum yang boleh dinikmati oleh siapa saja dan negara jelas mengharamkan untuk diprivatisasi oleh swasta ataupun individu. Wisata akan dikelola langsung oleh negara untuk tujuan dakwah  dan mengokohkan keimanan hamba-Nya, menemukan cinta sejatinya kepada Rabbnya, ketika merasa takjub menikmati keindahan ciptaan-Nya.

Seyogyanya, desa wisata dijadikan tempat untuk mensyiarkan ajaran Islam. Tidak dijadikan sumber pemasukan. Karena perputaran ekonomi haruslah sesuai dengan syariat Islam. Oleh karena itu, untuk melepaskan diri dari penjajahan pariwisata, dibutuhkan kesadaran, kemauan, dan kekuatan yang bersifat ideologis di dalam diri penyelenggara negara dan masyarakat. 
Bias ideologi negara yang selama ini terbuka pada sosialisme komunisme dan condong kepada kapitalisme harus dihilangkan. Caranya dengan mengembalikan penerapan ideologi yang berasal dari Penguasa Alam Semesta, sebagai jaminan untuk mewujudkan kesejahteraan dan kedaulatan politik suatu negara. Dan Khilafah, institusi yang menerapkan  aturan Islam dengan keagungannya, merupakan alternatif yang tunggal yang sepadan untuk menghadapi penjajahan global kapitalisme. Wallaahu a’laam bish-shawwaab.
Bagikan:
KOMENTAR