Krisis Air Bersih Semakin Keruh


author photo

24 Mei 2024 - 19.14 WIB


Oleh Leha (Pemerhati Sosial) 

Mayoritas daerah di Kalimantan Timur (Kaltim) mulai kesulitan mendapatkan air untuk kebutuhan sehari-hari. Seperti masyarakat Desa Perangat Selatan, Kecamatan Marangkayu, Kabupaten Kutai Kartanegara kembali mengeluhkan sulitnya akses air bersih. Hal tersebut diakibatkan karena, dalam dua bulan terakhir fasilitas air bersih di Desa Perangat Selatan tidak dapat berfungsi maksimal. Padahal fasilitas air bersih tersebut dibangun dengan Bantuan Keuangan Khusus Desa (BKKD) sebesar Rp600 Juta.

Warga yang mulai kesulitan air sejak dua bulan lalu, terpaksa harus membeli air dengan harga sekitar Rp90 ribu per tandon. Bagi yang tak punya cukup uang mereka harus mengangkat air dari sungai atau rumah keluarga untuk keperluan sehari-hari mereka. (Tribunnews.co, 11/05/2024)

Selain itu, di Balikpapan dan PPU juga terjadi krisis air. Bahkan  PDAM di PPU baru dapat melayani sekitar 26 persen sambungan rumah (SR). Artinya banyak warga yang belum menikmati fasilitas sambungan PDAM. Di Samarinda di salah satu perumahan pipa PDAM belum pernah masuk ke pemukiman sejak didirikan tahun 2006 lalu sehingga warga memanfaatkan air tampung hujan dan sumur bor. Kendala mulai dirasakan ketika musim kemarau tiba, karena tidak ada air baku yang bisa dimanfaatkan oleh warga.
(Nomorsatukaltim.co, 03/05/2024) 

*Pengelolaan Sistem Kapitalisme*

Pemenuhan air bersih merupakan kebutuhan mutlak bagi seluruh masyarakat harusnya dijamin oleh negara. Namun jika kita detaili faktanya terlihat bahwa konsep pengelolaan sumber daya air dijalankan dengan prinsip sekuler kapitalisme yang melahirkan kebijakan politik demokrasi neoliberal dan politik ekonomi kapitalistik.

Paradigma kapitalisme neoliberal memposisikan air sebagai komoditas ekonomi. Akibatnya, air menjadi objek bisnis yang bisa dikelola siapa pun untuk mencari untung. Dengan kebijakan privatisasi, berbagai sumber mata air dilego ke korporasi penyedia air bersih maupun korporasi air minum. Pengelolaan sumber mata air oleh korporasi menyebabkan tertutupnya akses mayoritas rakyat terhadap mata air. Selain itu rakyat harus membayar mahal untuk sumber daya air yang telah dikuasakan kepada korporasi tadi, baik air bersih maupun air untuk diminum. 

Eksploitasi SDA juga berjalan masif disertai kerusakan lingkungan dan berdampak pada penurunan ketersediaan air. Belum lagi kualitas air yang tersedia kurang bagus serta pendistribusian yang kadang tersendat. 

Sementara Negara hanya berperan sebagai regulator dan fasilitator antara korporasi dengan rakyat tetapi tidak bertanggung jawab secara langsung terhadap pemenuhan air bersih bagi kebutuhan masyarakat. Buruknya pengurusan negara juga terlihat dari ketidaktegasan terhadap tindakan perusakan lingkungan yang terus terjadi. Terjadi perusakan pada sumber air baku permukaan (seperti sungai, danau, waduk) akibat pembuangan limbah industri yang masif, maupun perusakan berupa deforestasi dan perubahan tata guna lahan yang memicu peningkatan intensitas kekeringan. 

*Islam Solusi Hakiki*

Solusi hakiki yang bisa rakyat harapkan hanyalah solusi yang diturunkan oleh Allah Swt. kepada Rasulullah Saw., yakni syariat Islam. Islam menegaskan bahwa negara harus hadir sebagai pengurus/penanggung jawab dan pelindung umat. 

Rasulullah Saw. bersabda,
«الإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ».
“Imam/Khalifah itu laksana penggembala dan hanya ialah yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya.” (HR Bukhari dan Muslim).

Negara tidak boleh lepas tangan terhadap pengurusan air, terkait pengambilannya, distribusinya, maupun penjagaan kebersihan dan keamanannya. Negara pun akan mendirikan industri air bersih sehingga kebutuhan air bersih setiap individu masyarakat akan terpenuhi kapan pun dan di mana pun. Status kepemilikannya adalah harta milik umum dan atau milik negara, dikelola penguasa untuk kemaslahatan Islam dan seluruh rakyatnya. 

Negara juga akan memanfaatkan berbagai kemajuan sains dan teknologi, memberdayakan para pakar yang terkait berbagai upaya tersebut, seperti pakar ekologi, hidrologi, ilmu perairan, teknik kimia dan industri, juga ahli kesehatan lingkungan. Sebagai contoh pada masa Kekhilafahan Utsmaniyah mampu mencukupi kebutuhan air bersih dengan membangun berbagai infrastruktur untuk menyalurkan air dan membangun banyak bendungan untuk mencegah krisis air. Sampai-sampai, ada seorang Khalifah bernama Fannakhusru bin Hasan (324—372 H/936—983 M), tetapi lebih populer dengan nama Adud ad-Daulah. Beliau digelari Khalifah Pembangun Bendungan karena begitu banyak membangun bendungan untuk menjamin ketersediaan air. Subhanallah demikianlah Islam dalam pemenuhan air untuk umatnya. Wallahu 'alam bishawab.
Bagikan:
KOMENTAR