Kepastian Pemindahan IKN Belum Jelas, Dampak Sosial Sudah Meluas


author photo

16 Jun 2025 - 10.49 WIB




Oleh: Hartatik
(Pemerhati Sosial)

Pembangunan adalah sebuah keniscayaan dalam kehidupan manusia. Namun, paradigma pembangunan menentukan arah dan dampaknya. Ketika pembangunan dilandaskan pada ideologi kapitalisme-sekularisme, maka kerusakan sosial menjadi konsekuensi yang tak terhindarkan, seperti maraknya praktik pr0st1tusi online di kawasan Ibu Kota Nusantara (IKN).

Dilansir oleh Balikpapances_, Satpol PP Penajam Paser Utara (PPU) mengungkapkan maraknya praktik pr0st1tusi online di kawasan Ibu Kota Nusantara (IKN), khususnya di Desa Bumi Harapan, yang dilakukan melalui aplikasi seperti MiChat dan beroperasi di guest house karena biaya sewa yang lebih murah dibanding hotel. 

Kepala Bidang Ketertiban Umum dan Ketenteraman Masyarakat Satpol PP PPU, Rakhmadi, mengatakan bahwa meskipun pihaknya telah dua kali melakukan penggerebekan dan memulangkan para pekerja s3ks ke daerah asal mereka, praktik ini tetap marak dengan tarif layanan Rp300.000–Rp500.000 per transaksi. Ia menjelaskan bahwa sebagian besar PSK yang terlibat berasal dari luar daerah, seperti Makassar, Surabaya, dan Bandung, dan mereka menyasar pekerja IKN yang jauh dari keluarga.

Rakhmadi menegaskan bahwa masalah ini tidak hanya berdampak pada hukum, tetapi juga mengancam moral, sosial, dan kesehatan masyarakat, sehingga dibutuhkan kerja sama dari pemerintah, RT, tokoh masyarakat, tokoh agama, serta edukasi lewat media dan lembaga keagamaan untuk penanganan yang lebih komprehensif.   
(https://www.instagram.com/p/DJBcksXhR0p/?igsh=MTVram43amc2bDNh)


Beginilah akhirnya jika memandang pembangunan hanya dari sisi fisik dan ekonomi. Selama menghasilkan keuntungan dan pertumbuhan ekonomi, maka ia dianggap berhasil. Aspek moral, spiritual, dan sosial diabaikan atau bahkan dianggap menghambat kemajuan.

Sekularisme, sebagai pondasi ideologis kapitalisme, telah memisahkan agama dari kehidupan. Maka tidak heran, pembangunan ala sekularisme tidak menyentuh aspek ketakwaan, akhlak, dan tatanan sosial yang sehat.

Contoh nyata dari pembangunan sekular adalah pemindahan dan pembangunan Ibu Kota Negara (IKN). Fokus utamanya adalah infrastruktur, investasi, dan pertumbuhan. Padahal, dampak sosial semestinya menjadi perhatian utama dalam pembangunan jangka panjang.

Kenyataannya, kemaksiatan seperti prostitusi, pergaulan bebas, hingga kriminalitas mulai tampak di wilayah pembangunan baru. Ini bukan sekadar ekses kecil, melainkan konsekuensi dari sistem yang tidak berpijak pada aturan Ilahi.

Ironisnya, ketika kemaksiatan merebak, negara seakan gagap. Kalaupun ada reaksi, sifatnya reaktif dan tidak menyentuh akar persoalan. Tidak ada regulasi ketat yang mampu membendung gaya hidup liberal yang menyuburkan maksiat.

Hal ini terjadi karena tiga pilar kehidupan umat, yakni ketakwaan individu, kontrol masyarakat, dan peran negara dalam menerapkan syariah, berada dalam kondisi lemah bahkan nyaris mati.


Masyarakat pun kehilangan fungsi sosialnya. Budaya amar ma’ruf nahi munkar digantikan oleh slogan "toleransi" terhadap semua gaya hidup. Bahkan ketika maksiat terjadi di depan mata, masyarakat lebih memilih diam atau menormalisasi.

Negara, yang seharusnya menjadi pelindung moral publik, justru menetapkan regulasi yang mengakomodasi liberalisme. Pergaulan bebas, prostitusi terselubung, hingga kampanye LGBT, dibiarkan atas nama HAM dan kebebasan pribadi.

Inilah bukti bahwa pembangunan ala kapitalisme-sekularisme tidak menjamin kesejahteraan hakiki. Sebaliknya, ia justru menjadi jalan lebar bagi kerusakan moral, kehancuran keluarga, dan hancurnya tatanan masyarakat.

Islam hadir dengan pandangan pembangunan yang sangat berbeda. Pembangunan dalam Islam bukan hanya membangun gedung, jalan, atau ekonomi, tetapi juga membangun manusia dan masyarakat yang bertakwa kepada Allah.

Islam menjadikan akidah sebagai dasar pembangunan. Segala aktivitas termasuk pembangunan diarahkan untuk meraih ridha Allah, menjaga kehidupan masyarakat dari kerusakan, dan menegakkan hukum-Nya di muka bumi.

Tiga pilar kehidupan dijaga secara sistemik dalam Islam. Ketakwaan individu dibentuk melalui pendidikan yang menanamkan akidah, syariat, dan akhlak Islam sejak dini. Kontrol sosial ditegakkan dengan budaya amar ma’ruf nahi munkar yang didukung oleh masyarakat.

Negara dalam sistem Islam (Khilafah) memiliki tanggung jawab penuh untuk menerapkan hukum Allah secara menyeluruh. Termasuk dalam menjaga moral publik, mencegah prostitusi, dan menegakkan hukum hudud bagi pelanggar.

Islam memiliki mekanisme efektif dalam memberantas prostitusi. Hukuman hudud yang bersifat jawabir (penebus dosa) dan jawazir (pencegah) tidak hanya memberikan efek jera, tetapi juga menjaga kesucian masyarakat.

Islam tidak berhenti pada pemberian sanksi, namun juga menyediakan solusi preventif: pendidikan Islam, pemisahan ruang laki-laki dan perempuan dalam kehidupan umum, hingga pemberdayaan ekonomi wanita secara syar’i.

Sudah saatnya umat Islam kembali menyadari bahwa pembangunan yang menjauh dari syariat akan selalu berujung pada kehancuran moral. Hanya dengan kembali kepada Islam kaffah, kerusakan ini bisa dihentikan dan peradaban mulia bisa ditegakkan.
Wallahu a'lam bish shawab
Bagikan:
KOMENTAR