Penghormatan Pada Negara Pengusung Islamophobia, Layakkah?


author photo

15 Jun 2025 - 19.07 WIB




Oleh: Qori

Kunjungan Presiden Prancis, Emmanuel Macron, ke Indonesia menarik perhatian luas dari masyarakat. Pasalnya, tidak sering seorang pemimpin besar dari Eropa, seperti Prancis, datang berkunjung ke Tanah Air. Pemerintah, termasuk Presiden Prabowo sendiri, menyambut kunjungan tersebut dengan antusias dan menyebut kehadiran Macron beserta delegasinya sebagai sebuah kehormatan besar bagi Indonesia.

Prabowo menegaskan bahwa hubungan Indonesia-Prancis selama ini dibangun atas dasar saling menghormati. Lebih dari satu dekade, kedua negara menjalin kemitraan strategis yang solid, terutama dalam bidang politik. Kerja sama itu didasarkan pada prinsip-prinsip seperti penghormatan terhadap kedaulatan, HAM, dan demokrasi. Jakarta, Kompas.com

Tapi kalau kita lihat lebih dalam, kunjungan ini bukan sekadar silaturahmi antarnegara. Perlu diingat bahwa Prancis merupakan salah satu negara adidaya setelah Amerika Serikat dan Inggris. Prancis adalah negara besar, negara kapitalis, dan punya kekuatan global yang tidak main-main. Di banyak sektor penting seperti pertahanan, teknologi, dan energi, mereka punya pengaruh besar. 

Jadi, kedatangan Macron tentu membawa misi strategis, ada kepentingan besar yang sedang dibawa, bukan cuma basa-basi diplomatik. 

Indonesia sendiri, meskipun punya potensi besar dan populasi Muslim terbanyak di dunia, masih tergolong negara berkembang. Dalam peta politik global, sering kali posisi Indonesia lebih sebagai “pengikut” dibanding “pengarah”. Banyak keputusan penting di level dunia masih ditentukan oleh negara adidaya seperti AS, Inggris, atau Prancis. Akibatnya, Indonesia kerap harus menyesuaikan diri.

Dalam kunjungan ini, Macron tampaknya sukses menjalankan misinya pada berbagai bidang. salah satu keberhasilannya membuka ruang baru bagi pengaruh Prancis di Indonesia. Misalnya, dalam isu sensitif Palestina–Israel. Di hadapan Macron, Presiden Prabowo menyatakan bahwa Indonesia siap mengakui negara Israel asal Israel bersedia mengakui Palestina. 

Ini jelas merupakan langkah besar yang sebelumnya tabu dibicarakan secara terbuka oleh pemimpin Indonesia. Narasi "solusi dua negara" yang selama ini didorong Barat kembali mengemuka, dan Indonesia terlihat mulai digiring ke arah normalisasi.

Selain itu, di bidang budaya, Prancis juga cerdik memanfaatkan momen ini untuk memperbaiki citranya. Lewat kerja sama budaya, mereka mencoba menutupi rekam jejak buruk sebagai negara yang kerap dianggap mendukung islamofobia. Padahal, sejarah mencatat bagaimana Prancis berulangkali membuat kebijakan yang merugikan umat Islam—mulai dari pelarangan hijab, pembiaran terhadap penghinaan Nabi Muhammad ﷺ lewat kartun, hingga sikap abai terhadap penderitaan Muslim di Gaza.

Sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, seharusnya Indonesia bersikap lebih tegas terhadap negara yang terang-terangan memusuhi Islam. Namun sayangnya, dalam sistem sekuler kapitalisme, pertimbangan manfaat dan kepentingan ekonomi kerap mengalahkan prinsip keimanan dan solidaritas terhadap umat. Maka tak heran, ketika negara yang punya rekam jejak panjang dalam memusuhi Islam justru disambut bak sahabat dekat.

Islam sejatinya telah memberikan panduan yang jelas: bagaimana bersikap terhadap negara-negara kafir, terutama yang terang-terangan memusuhi Islam dan umatnya. 

Dalam sejarah Islam, para khalifah tidak pernah ragu bersikap tegas terhadap kekuatan asing yang menjajah atau menghina agama. Mereka menunjukkan bahwa kehormatan umat Islam jauh lebih penting daripada kepentingan ekonomi atau diplomasi politik.

Adapun Negara dalam pandangan Islam dibedakan antara Darul Islam dan Darul Kufur, dengan perlakuan yang disesuaikan berdasarkan posisi dan sikap negara tersebut terhadap umat.
Karena itu, umat Islam saat ini butuh negara yang kuat, berpengaruh, dan mampu membela kehormatan Islam di kancah internasional, sebagaimana dulu pernah diwujudkan oleh Khilafah Islamiyah. 

Maka dari itu, Sudah saatnya umat Islam berjuang menegakkan khilafah untuk menghadirkan kembali kekuatan global yang berlandaskan Islam. Bukan hanya sebagai pelengkap diplomasi dunia, tapi sebagai pemimpin yang benar-benar peduli terhadap umat dan agama ini.

Wallahu'alam
Bagikan:
KOMENTAR