Persatuan Umat dalam Haji, Paradoks di Tengah Umat yang Terpecah


author photo

5 Jun 2025 - 16.43 WIB


Oleh: Hamidah, M.Ak (Aktivis Muslimah)

Lebih dari 2 juta muslim berkumpul di tanah suci untuk melaksanakan ibadah haji. Mereka disatukan oleh Aqidah Islam, menghapus perbedaan duniawi. Keberadaan mereka disana tidak membeda-bedakan ras, suku, bangsa, bahasa, tingkat sosial dan ekonomi. Ibadah haji ini erat kaitannya dengan kegiatan para jamaah wukuf di Arafah pada hari Arafah tanggal 9 Dzulhijjah. Penentuan hari Arafah tentunya berkaitan pula dengan penentuan awal bulan Dzulhijjah. Dimana penentuan ini diperintahkan oleh Rasulullah berdasarkan pengumuman Amir Makkah, tidak diputuskan otoritas masing-masing pemimpin negri kaum muslim. 

Namun pada kenyataannya, negri-negri muslim masih berbeda dalam pelaksanaan idul adha. Sebagaimana yang terjadi saat ini. Indonesia melaksanakan hari raya idul adha pada tanggal 6 Juni 2025, sedangkan di Malaysia, pemerintahnya menetapkan perayaan idul adha pada tanggal 7 Juni 2025. Padahal dibentuk organisasi MABIMS (Menteri-Menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura) guna menyatukan penentuan awal bulan hijriah, khususnya Idul Fitri dan Idul Adha, guna memperkuat solidaritas umat Islam di Asia Tenggara.

Seharusnya kaum muslimin bersatu dalam pelaksanaan idul adha sebagaimana mereka bersatu dalam pelaksanaan ibadah haji. Ibadah haji selayaknya menjadi titik lebur kaum muslim di dunia. Karena dalam pelaksanaan ibadah haji, kaum muslimin telah menyatu, tanpa adanya sekat budaya, bangsa, bahasa. Mereka sama-sama menggunakan pakaian ihram, sama-sama melantunkan kalimat talbiyah, sama-sama mengagungkan Allah SWT dengan penuh kekhusyukan. Bayangkan bagaimana jika seluruh umat Islam di dunia bersatu, Hampir 2 miliar jumlah umat Islam akan menjadi satu kekuatan pun akan disegani. Bukan bercerai sebagaimana saat ini karena sekat nasionalisme dan golongan.

Pelaksanaan ibadah haji dan perayaan idul adha yang dilakukan kaum muslimin secara serentak menggambarkan persatuan dan persaudaraan yang sangat indah. Karena hanya ideologi Islam lah yang mampu melebur umat manusia menjadi satu, mengikatnya dalam ikatan ukhuwah Islamiyah. Allah swt berfirman: “Sungguh kaum mukmin itu bersaudara…(TQS al-hujurat:10). Dalam sebuah hadits, Rasulullah saw menggambarkan kaum mukmin itu laksana satu tubuh. Jika ada bagian tubuh yang sakit maka seluruh tubuh akan merasakan sakitnya. Ironi memang jika kaum muslim tidak mau merasakan penderitaan saudaranya. Padahal di antara tanda keimanan adalah bagaimana seseorang mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri.

Lantas, apakah saat ini umat islam sudah seperti satu tubuh dalam persatuan mereka? Saat ini, saudara-saudara kita diberbagai tempat belahan dunia mengalami penderitaan. Palestina misalnya, sampai saat ini masih mengalami penjajahan oleh zionis yahudi. Setiap hari kita disuguhkan bagaimana mereka terus berjuang menghadapi genosida sendirian. Mengahadapi Israel yang disokong negara adidaya, tanpa adanya bantuan kekuatan militer dari negeri-negeri kaum muslimin lainnya. Demikian pula dengan muslim Rohingya yang terus mencari perlindungan dan tempat penampungan. Sebagaimana pula muslim Uighur yang mengalami krisis kemanusiaan karena diskriminasi oleh pemerintahnya.

Ironisnya, sikap penguasa dunia Islam semakin menambah luka tersebut. Mereka masih bersekutu, membuka hubungan diplomatik dan perdagangan dengan zionis Yahudi. Kita saksikan juga, bagaimana Penguasa Mesir misalnya, bukan hanya menolak kehadiran pengungsi Gaza, tapi juga menolak membuka gerbang perbatasan agar kaum muslimin bisa memberikan bantuan kepada saudara seiman. Begitu pun kaum muslimin Rohingya yang mencari penampungan kerap mendapat pengusiran karena dianggap menambah masalah. Selain itu, penguasa negeri-negeri muslim terus bergandengan tangan dengan Cina yang telah melakukan pembantaian terhadap umat Islam Uighur.

Bagaimana bisa kita melaksanakan ibadah dengan khusyu. Tawaf, sai, wukuf dan rangkaian ibadah haji lainnya bisa kita laksanakan dengan perasaan syukur, kebahagiaan dan ketenangan. Namun di belahan dunia lain, banyak saudara kita yang mengalami kemalangan.

Patut direnungkan. Dimanakah persatuan kaum muslimin saat ini? Apakah hanya sebatas dalam pelaksanaan ibadah ritual sebagaimana haji? Ketika perhelatan ibadah haji selesai, masih tersisakah persatuan umat itu? Inilah yang menjadi paradoks 
ditengah persatuan umat dalam ibadah haji.

Persatuan dalam haji hanyalah sesaat, selepasnya umat kembali tercerai dan bahkan saling bermusuhan. Mereka lupa dengan penderitaan saudara seiman di berbagai penjuru dunia. Tidak peduli dengan urusan negeri muslim lainnya. Kondisi terkoyaknya mereka hari ini karena paham nasionalisme dan konsep negara-bangsa. Menjadikan persatuan umat tersekat dan menghapus ukhuwah Islamiyah. Paham ini menjadikan umat terbelenggu, bahkan menjadikan mereka buta mata dan hati sehingga tidak berdaya menghilangkan penderitaan saudara muslim lainnya.

Persoalan umat di Palestina, Myanmar, Cina, dan berbagai penjuru dunia lain hanya bisa dituntaskan ketika umat bersatu secara hakiki, bukan persatuan fatamorgana. Persatuan yang mampu melebur mereka, membebaskan mereka dari belenggu kebangsaan dan nasionalisme, menyatukan mereka dalam satu tubuh dan tujuan. Persatuan ini hanya bisa terwujud jika mereka berada dibawah satu kepemimpinan untuk kaum muslimin di dunia. Sebagaimana masa kekhalifahan, dimana khalifah berperan sebagai junnah (perisai) umat dan ra’in (pengurus urusan) mereka. 

Ibadah haji dianggap ibadah ritual yang tinggi, dianggap penyempurna rukun Islam seorang individu. Semangat hari raya idul adha dan haji mengajarkan pengorbanan dan ketaatan mutlak kepada Allah swt. Seharusnya menjadi pendorong umat agar siap mengorbankan segalanya untuk taat pada syariat Allah secara kaffah (total), tidak hanya aspek ritual tapi juga dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara agar persatuan umat yang hakiki dapat terwujud. Wallahu’alam bissawab.
Bagikan:
KOMENTAR