Produk Haram Marak Beredar, Islam Solusi sistematis Menjamin Kehalalan Makanan


author photo

7 Jun 2025 - 15.22 WIB


Oleh: Ferdina Kurniawati 
(Aktivis Dakwah Muslimah)

Dinas Perindustrian Perdagangan dan Usaha Kecil Menengah (Disperindagkop UKM) Paser menemukan 9 merek jajanan marsmellow mengandung babi (porcine). Hal ini ditemukan saat melakukan pengawasan di sejumlah ritel modern toko tradisional. Kepala Disperindagkop UKM Paser, Yusuf mengatakan pengawasan dilakukan menindaklanjuti surat edaran dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kalimantan Timur (Kaltim).
Produk jajanan mengandung babi yang ditemukan dari hasil pengawasan Disperindagkop Paser, saat ini telah digudangkan untuk ditarik dari peredaran. "Produk yang kami temukan sebelumnya sudah diamankan oleh petugas retail didalam gudang," Kata Yusuf, Kamis (29/5/2025).
Sampai saat ini, pengawasan terhadap 9 merek jajanan mengandung babi masih berlangsung, dengan memeriksa seluruh ritel modern dan toko tradisional di 10 Kecamatan se Kabupaten Paser. Ia mengingatkan, kepada masyrakat bila mendapati adanya  9 produk mengandung unsur babi tersebut untuk segera melaporkan, agar bisa segera ditindaklanjuti.(NOMORSATUKALTIM)

Standar Sistem Kapitalisme Sekuler 
Beredarnya 9 produk jajanan haram karena mengandung babi adalah bagian kecil dari akibat sistem ekonomi sekuler kapitalisme yang diterapkan saat ini. Sistem sekuler kapitalisme tidak memperdulikan halal dan haram atas apa yang mereka jual. Karena sistem sekuler kapitalisme adalah sistem yang memisahkan aturan dunia dari aturan dan hukum agama.
Selain itu sistem ekonomi sekuler kapitalisme juga hanya berorientasi pada keuntungan materi. Sistem ini hanya menjadikan pertumbuhan ekonomi dan akumulasi kapital sebagai tujuan utama.
Disamping itu ada beberapa dampak buruk akibat mengonsumsi makanan haram. Pertama, makanan haram akan menjadi penghalang bagi pengabulan doa. Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah itu Maha Baik dan tidak menerima, kecuali yang baik. Kemudian ada seorang laki-laki yang telah lama melakukan safar. Rambutnya kusut dan berdebu. Sambil menengadahkan tangan ke langit, ia berdoa, ‘Yâ Rabb…Yâ Rabb…’ Padahal makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan ia dikenyangkan dengan yang haram. Lalu bagaimana mungkin doanya dikabulkan?” (HR Muslim).
Kedua, makanan haram akan mengakibatkan hati gelap dan keras, serta kecenderungan untuk berbuat keburukan dan kemaksiatan. Jika tubuh dibangun dari sumber yang haram, akhlak dan perilaku pun akan cenderung rusak. Makanan haram bisa mengundang pengaruh setan. Pasalnya, setan suka dengan sesuatu yang kotor dan haram. Oleh karena itu, orang yang biasa mengonsumsi yang haram akan lebih mudah terdorong melakukan maksiat.
Allah Swt. selalu menegaskan bahwa makanan atau minuman haram dikaitkan dengan perbuatan setan. Hal ini sebagaimana firman-Nya, “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan panah adalah termasuk perbuatan setan. Oleh karena itu, jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kalian mendapat keberuntungan.” (QS Al-Maidah [5]: 90).
Selain yang mengandung babi, di antara makanan/minuman haram adalah yang mengandung alkohol (khamar). Diketahui bahwa alkohol bekerja langsung pada otak, melemahkan kontrol diri, menurunkan kesadaran, bahkan bisa menyebabkan hilangnya akal. Dalam Islam, akal adalah salah satu hal yang paling dijaga. Ini karena dari akal muncul kesadaran beragama dan tanggung jawab. Jika hilang akal dan kesadaran pada manusia, akan timbul berbagai kerusakan sosial.
Ketiga, orang yang mengonsumsi makanan haram berarti merusak amal ibadahnya dan diancam dengan ancaman siksa neraka. Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah saw., “Setiap daging yang tumbuh dari sesuatu yang haram, maka azab neraka lebih layak bagi dirinya.” (HR Ath-Thabarani).
Makanan bukan hanya untuk kesehatan tubuh, tetapi juga untuk membentuk karakter. Makanan memengaruhi spiritualitas dan kesehatan akal, serta menentukan keberkahan hidup. Oleh karena itulah, Allah memerintahkan kaum muslim untuk memakan makanan yang halal dan baik, bukan sekadar yang enak atau mengenyangkan.
Dengan adanya temuan sembilan jenis produk makanan yang mengandung babi ini, bukan tidak mungkin masih banyak makanan yang beredar di masyarakat muslim negeri ini juga mengandung babi. Tentu saja peristiwa ini sangat miris. Pasalnya, sebagai negeri muslim terbesar di dunia, semestinya makanan yang diproduksi dan dikonsumsi oleh masyarakat muslim telah benar-benar dijamin kehalalannya oleh negara.
Allah Swt. telah menegaskan keharaman babi dalam firman-Nya, “Katakanlah, ‘Aku tidak menemukan dalam wahyu yang telah diwahyukan kepada diriku sesuatu yang diharamkan untuk dimakan oleh seseorang, kecuali makanan itu adalah bangkai, darah yang mengalir, dan daging babi—karena sesungguhnya semua itu kotor—atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah.’” (QS Al-An’am [6]: 145).
Sebaliknya, Allah Swt. memerintahkan agar kaum muslim mengonsumsi makanan yang halal dan baik. Demikian sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya, “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal dan baik (halâl[an] thayyib[an]) dari apa saja yang terdapat di bumi, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi kalian.” (QS Al-Baqarah [2]: 168). 
Makanan halal adalah makanan yang berdasarkan hukum Islam boleh dikonsumsi (bukan dari babi, bangkai, darah, tidak mengandung khamar, dan disembelih dengan nama Allah). Adapun makanan yang baik (thayyib[an]) adalah yang bersih, sehat, serta tidak membahayakan tubuh dan lingkungan (bisa mencakup gizi, higienis, tidak beracun, dan tidak najis).
Menghindari makanan haram, bagi individu muslim, adalah bagian dari perwujudan keimanan dan ketakwaan kepada Allah Taala. Begitu juga dengan masyarakat muslim yang bertakwa. Mereka adalah masyarakat yang menjalankan perintah Allah Swt. dan menjauhi larangan-Nya. Individu dan masyarakat muslim wajib bersinergi dalam mencegah adanya peredaran produk makanan haram, di antaranya yang mengandung babi.

Islam Solusi Sistemik
Selama negeri ini masih menerapkan sistem ekonomi sekuler kapitalisme yang mengabaikan hukum halal dan haram, maka kaum muslim akan terus menghadapi masalah dalam kehidupannya. Di antaranya terkait jaminan halal atas makanan yang dibeli dan dikonsumsi. Fungsi pengawasan tidak akan berjalan efektif jika akar masalahnya tidak pernah dihilangkan. Akar masalah di negeri ini bersifat sistemik. Oleh karena itu, solusinya juga harus bersifat sistemik.
Islam sebagai sistem kehidupan yang mengatur semua aspek kehidupan berdasarkan wahyu Allah Swt. adalah yang paling layak diterapkan di negeri mayoritas muslim ini. Sebaliknya, sistem sekuler kapitalisme yang sangat merugikan dan membahayakan kaum muslim harus segera dicampakkan. 
Dalam sistem Islam, selain ketakwaan individu dan kepekaan masyarakat, seorang penguasa (khalifah) bertanggung jawab penuh atas pemeliharaan urusan umat. Menjamin kehalalan makanan dan minuman adalah bagian dari tanggung jawab negara dalam menjaga agama (hifzh ad-din) dan jiwa (hifzh an-nafs). Rasulullah saw. bersabda, “Imam (kepala negara) adalah pemelihara dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya.” (HR Al-Bukhari dan Muslim).
Di dalam sistem pemerintahan Islam, produk makanan yang diimpor ke wilayah akan disaring dan diperiksa kehalalannya sebelum masuk pasar. Negara tidak akan menjalin kerja sama dagang yang memungkinkan peredaran makanan haram di wilayahnya. Negara  juga akan menjamin dan memastikan produk halal bagi rakyatnya karena termasuk bagian dari ketaatan Khalifah kepada Allah Taala.
Dalam sejarah Kekhalifahan Islam, Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. pernah menolak untuk menerima daging yang berasal dari hewan yang tidak disembelih secara syar’i. Sistem pasar Islam di Madinah dijaga ketat oleh Rasulullah saw. dan dilanjutkan oleh para khalifah untuk menjamin perdagangan yang sesuai syariat.
Dalam sejarah Khilafah Islam (misalnya pada masa Umar bin al-Khaththab ra.), dikenal adanya Qadhi Hisbah yang bertugas mengawasi pasar agar tidak ada penipuan dan kecurangan, termasuk penjualan makanan haram atau kedaluwarsa. Qadhi Hisbah ini adalah otoritas independen yang bisa menindak pedagang secara langsung di tempat jika terbukti melanggar syariat.
Dengan demikian, hanya sistem pemerintahan Islam yang menjadikan halal dan haram sebagai standar produksi dan konsumsi yang bisa menjamin kehalalan bagi seluruh rakyatnya. Pemerintahan Islam akan menerapkan syariat Islam secara total dalam semua aspek kehidupan rakyatnya untuk mewujudkan kehidupan yang penuh keberkahan dan kemuliaan. Tentu hanya pemerintahan Islam yang mendasarkan sistem kepemimpinan dan kebijakannya di atas ketundukan kepada Allah Swt. dan Rasulullah ﷺ.

Wallâhu a’lam bi ash-shawâb.
Bagikan:
KOMENTAR