Sorong – Ketua Pengadilan Negeri (PN) Sorong diduga kuat tidak menjalankan prosedur persidangan atas kasus sengketa tanah, yang melibatkan PT. Bagus Jaya Abadi (BJA) yang menggugat Samuel Hamonangan Sitorus, dengan benar dan profesional. Hal itu terlihat dari enggannya sang Ketua PN Sorong, yang menjadi Ketua Majelis Hakim dalam perkara itu, untuk menyampaikan putusan sela atas eksepsi yang diajukan oleh pengacara tergugat, Advokat Simon Maurits Soren, S.H., M.H.
“Saya heran, mengapa majelis hakim tidak mau melakukan sidang penyampaian putusan sela atas eksepsi yang kita ajukan. Ini sangat aneh dan menimbulkan tanda tanya, ada apa?” ungkap Simon Soren kepada media ini, Senin malam, 28 Juli 2025.
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, kasus sengketa lahan yang terletak di Jalan Patimura, Kelurahan Suprauw, Distrik Maladum Mes, Kota Sorong, Papua Barat Daya, telah memasuki persidangan pokok perkara setelah gagal mencapai kesepakatan di tingkat sidang mediasi. Persidangan atas kasus tersebut dipimpin langsung oleh Ketua PN Sorong, Beauty Deitje Elisabeth Simatauw, S.H., M.H.
Merespon materi gugatan yang disampaikan pengacara penggugat, Albert Fransstio, ke PN Sorong, pihak Samuel Hamonangan Sitorus, melalui pengacaranya, Advokat Simon Maurits Soren, S.H., M.H. telah menyampaikan eksepsi untuk menjawab gugatan penggugat. Dalam eksepsinya, Simon Soren menegaskan penolakannya atas gugatan tersebut dengan mencantumkan tiga alasan.
Alasan pertama adalah penggugat tidak mempunyai legal standing. Penggugat Ronal L. Sanuddin dan atau PT. Bagus Jaya Abadi tidak mempunyai dasar hukum untuk menggugat para tergugat. Hal itu dikarenakan dasar gugatan penggugat menggunakan Surat Pelepasan Hak Atas Tanah Adat Nomor: 593.8/03/2013, tertanggal 11 Februari Tahun 2013, kepada atas nama Paulus George Hung, bukan atas nama Penggugat Ronal L. Sanuddin atau PT. Bagus Jaya Abadi, yang oleh karena itu, semestinya penggugatnya adalah Paulus George Hung.
Pihak penggugat sengaja tidak memunculkan Paulus George Hung sebagai penggugat dalam perkara ini, karena status kewarganegaraan Paulus George Hung yang merupakan warga negara asing (Malaysia – red) yang tidak mungkin dapat memiliki hak atas tanah di Indonesia. Berdasarkan Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 BAB II Bagian III Tentang Hak Milik Pasal 21 Ayat (1), dengan tegas dinyatakan bahwa “Hanya warganegara Indonesia dapat mempunyai hak milik” dan ayat (4) berbunyi “Selama seseorang di samping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing, maka ia tidak dapat mempunyai tanah dengan hak milik …”.
Alasan kedua yakni gugatan tidak jelas atau obscuur libel. Lokasi tanah yang diklaim didasarkan pada Surat Keputusan Walikota Sorong Nomor: 188.45/122/2013, tertanggal 04 November 2013; Surat Keputusan Walikota Sorong Nomor: 545/158/2014, tertanggal 15 Desember 2014; dan Izin Reklamasi yang dikeluarkan Walikota Sorong Nomor: 556.1/05, tertanggal 26 Oktober 2016. Lokasi tersebut tidak sesuai titik koordinat dan luasan yang diklaim oleh penggugat dalam berkas gugatannya. Penggugat juga tidak dapat menjelaskan dengan pasti terkait luasan lahan yang dijadikan obyek gugatannya. Perizinan reklamasi yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Sorong untuk PT. Bagus Jaya Abadi hampir dipastikan cacat hukum karena tidak sesuai mekanisme administrasi yang baik dan atau mekanisme perundang-undangan yang berlaku. Bahkan, berdasarkan penelusuran atas proses penerbitan SK Walikota Sorong tentang reklamasi dimaksud, terdapat indikasi kuat adanya penyalahgunaan wewenang dan dugaan pemalsuan dokumen. Fakta tersebut menimbulkan multitafsir dan ketidakjelasan atas objek tanah yang dimiliki dan atau dikuasasi oleh penggugat.
Alasan ketiga adalah para pihak yang digugat penggugat dinilai kurang pihak atau Error in Persona. Selain Samuel Hamonangan Sitorus cs, setidak-tidaknya ada tiga pihak lagi yang semestinya diikutsertakan dalam gugatan sebagai tergugat atau turut tergugat, yakni oknum warga yang melepaskan hak atas tanah adat (Jan PJ Buratehi/Bewela dan Willem RN Buratehi/Bewela – red), Walikota Sorong sebagai pihak yang menerbitkan Surat Keputusan yang tidak bisa dieksekusi karena lahan tersebut dalam penguasaan pihak lain, dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Sorong.
Baca selengkapnya di sini: Gugatan Perdata “Tipu-tipu Abunawas” Semestinya Ditolak Majelis Hakim PN Sorong, Ini Alasannya (https://pewarta-indonesia.com/2025/07/gugatan-perdata-tipu-tipu-abunawas-semestinya-ditolak-majelis-hakim-pn-sorong-ini-alasannya/)
Menanggapi dugaan kelalaian Majelis Hakim PN Sorong dalam perkara sengketa lahan tersebut, alumni PPRA-48 Lemhannas RI tahun 2012, Wilson Lalengke, S.Pd, M.Sc, MA, mengatakan dirinya sangat menyayangkan sikap oknum Ketua PN Sorong yang terkesan tidak adil dan terindikasi ‘masuk angin sorga’. “PN Sorong ini dikenal luas sebagai salah satu lembaga pengadilan yang banyak menuai sorotan masyarakat. Beberapa waktu lalu sejumlah warga ramai-ramai menyerbu PN Sorong dan hampir membakar gedung pengadilan itu karena kesal atas banyaknya oknum hakim di sana yang ‘masuk angin sorga’ sehingga putusannya selalu berpihak kepada pemberi angin sorga itu,” ungkap wartawan senior ini, yang turun langsung melakukan investigasi ke PN Sorong beberapa waktu lalu.
Semestinya, tambah Wilson Lalengke, Ketua PN Sorong dapat memberikan contoh sebagai figur hakim yang baik, bijaksana, dan berkarakter jujur, bagi para hakim yang dipimpinnya. Hakim Beauty Simatauw perlu memperlihatkan perilaku hakim yang ideal, professional, dan senantiasa menjalankan tugas sesuai SOP alias peraturan yang ada, sesuai tuntunan Hukum Acara, agar dapat menghadirkan keadilan bagi masyarakat.
“Bagaimana mungkin para pihak yang bersengketa di pengadilan mengetahui apakah eksepsi diterima atau ditolak jika hakim melalaikan tahapan pengambilan keputusan hakim atas eksepsi yang diajukan tergugat?” ujar lulusan pasca sarjana bidang Applied Ethics dari Utrecht University, The Netherlands, dan Linkoping University, Sweden, itu mempertanyakan profesionalitas Ketua PN Sorong.
Lebih jauh, Wilson Lalengke menduga bahwa sangat mungkin para hakim yang mengadili perkara gugatan tipu-tipu abunawas ini mendapat intervensi dari pihak-pihak tertentu. “Semua orang di Papua paham betul pemilik PT. BJA, yakni Paulus George Hung alias Ting-Ting Ho alias Mr. Chin, sebagai orang asing yang diback-up oleh para petinggi penegak hukum di negeri ini. Oleh karena itu saya menduga kuat Hakim Beauty cs mendapat tekanan intervensi dari pihak berkepentingan, bisa intervensi uang, bisa intervensi kekuasaan,” jelas tokoh pers nasional itu.
Sebagaimana fungsi hukum adalah untuk menghadirkan keadilan berdasarkan kebenaran fakta lapangan, maka tidaklah berlebihan jika para tergugat, Samuel Hamonangan Sitorus dan kawan-kawan, berharap agar Majelis Hakim yang mengadili gugatan perdata ini mempertimbangkan dengan baik dan sungguh-sungguh serta membuat keputusan yang berpihak kepada kebenaran. Perkara ini sekaligus menjadi batu uji bagi Majelis Hakim PN Sorong dalam menunjukkan komitmen lembaga peradilan Indonesia yang sedang bersih-bersih, membenahi sistem penerapan hukum yang benar dan berkeadilan di seluruh wilayah NKRI.
“Para tergugat hanya meminta perlindungan hukum atas hak-haknya, mereka sama sekali tidak bermaksud merugikan penggugat atau pihak manapun. Oleh karena itu, kami berharap Majelis Hakim yang mulia dapat mempertimbangkan eksepsi dan jawaban serta gugatan rekonvensi yang kita sudah sampaikan ke persidangan Senin, 30 Juni 2025 lalu, yang kemudian mengabulkan permohonan eksepsi kami dalam putusan sela,” terang Advokat Simon Maurits Soren berharap. (TIM/Red)