Lapangan Kerja Sempit, Cari Kerja Sulit


author photo

28 Jul 2025 - 19.31 WIB


Oleh : Meltalia Tumanduk, S. Pi
(Pemerhati Masalah Sosial)

Cita-cita dahulu setelah lulus sekolah maupun kuliah langsung mendapatkan kerja sepertinya harus tertunda. Bahkan bisa saja kandas. Pasalnya, mencari kerja di era globalisasi saat ini sangatlah sulit. Mengatasi hal tersebut, pemerintah pun melakukan berbagai upaya agar angkatan kerja mudah mencari kerja. Salah satunya dengan mengadakan Job Market Fair. 

Sebagaimana baru–baru ini pelaksanaani Job Market Fair di Kota Samarinda yang ramai dikunjungi para pelamar. Tak sedikit mereka menaruh harap agar mendapat pekerjaan, serta perluasan pasar kerja.

Mengutip dari kaltim.tribunnews.com, 29/6/2025, Novi, perempuan berusia 22 tahun seorang  fresh graduate lulusan Ilmu Hukum, berharap mendapat pekerjaan yang menunjang karirnya ke depan. "Harapannya sih, fresh graduate dibuka peluangnya. Karena perusahaan banyak melihat dari pengalaman," ujarnya.
Fresh graduate merupakan seseorang yang baru saja menyelesaikan pendidikan tinggi (diploma atau sarjana) dan belum memiliki pengalaman kerja yang signifikan. Jumlah fresh graduate tentu banyak. Apalagi baru saja kelulusan sekolah dan perguruan tinggi. Tentu menambah daftar pencari kerja. 

Sementara itu, kondisi ketenagakerjaan di Kalimantan Timur (Kaltim) sendiri dari Badan Pusat Statistik (BPS)  per Februari 2025 masih menunjukkan dominasi pekerja formal. 49,16 persen penduduk bekerja di Kaltim tercatat sebagai buruh, karyawan, atau pegawai.

Kepala BPS Kaltim, Yusniar Juliana menjelaskan secara umum, status pekerjaan di Kaltim terbagi dalam 2 kategori besar: formal dan informal. Pekerja formal meliputi mereka yang bekerja sebagai buruh/karyawan/pegawai dan pelaku usaha yang dibantu buruh tetap. Sedangkan pekerja informal mencakup pelaku usaha mandiri, pekerja dibantu buruh tidak tetap atau tidak dibayar, pekerja bebas non-pertanian, serta pekerja keluarga.

Pada Februari 2025, sektor informal menyerap 943.098 pekerja atau 46,92 persen dari total tenaga kerja. Kemudian pekerja formal masih mendominasi dengan jumlah 1.066.892 orang atau 53,08 persen.

Dibandingkan Februari tahun 2024 lalu, proporsi pekerja informal mengalami kenaikan sebesar 0,05 persen poin. Sedangkan pekerja formal mengalami penurunan dalam proporsi yang sama. 
Berdasarkan tingkat pendidikan, mayoritas pekerja merupakan lulusan SMA umum (28,39 persen). Pekerja berpendidikan Diploma (3,84 persen) dan Universitas (13,67 persen) masih tergolong rendah. Sementara itu, buruh/karyawan/pegawai mendominasi status pekerjaan sebesar 49,16 persen, disusul pekerja sektor informal. Pekerja bebas di pertanian menjadi yang paling sedikit, hanya 0,99 persen. (kaltim.tribunnews.com, 29/6/2025) 

Data tersebut merupakan angka yang terdata. Bagaimana yang tidak terdata? Bisa jadi lebih besar lagi. Sulitnya mencari pekerjaan sehingga tidak sedikit masyarakat memilih ke luar negeri karena lebih menjanjikan. Mereka yang memiliki keahlian tidak dihargai di negeri sendiri. Bahkan PHK terjadi besar-besaran. Tapi disisi lain sebaliknya, negara justru mengimpor tenaga kerja luar negeri.  Sehingga Fenomena ini tentu menjadi tanda tanya besar bagi kita. Mengapa?

Sulitnya Mencari Kerja

Pembukaan lapangan kerja erat kaitannya dengan sistem ekonomi yang sedang berjalan. Dalam sistem kapitalisme yang bercokol di negeri ini, salah satu problem ekonominya terdapat pada masalah kepemilikan. Sistem ini memberikan peluang bagi pemilik modal untuk menguasai aset strategis dan mengembangkan kepemilikan tersebut secara bebas, tanpa batas.

Penerapan sistem kapitalisme yang memberikan kebebasan kepemilikan SDA kepada swasta membuat negara tidak menjadi pengendali industrialisasi utama yang mampu menciptakan lapangan pekerjaan bagi rakyat. Ketika industri-industri itu ada di tangan swasta, fokus mereka bukan kesejahteraan pekerja, melainkan profit perusahaan. Perusahaan swasta akan dengan mudah melakukan PHK demi profit yang lebih banyak. Di sisi lain, mereka juga bebas merekrut tenaga kerja asing (TKA) tanpa bisa dihentikan oleh pemerintah. Pada akhirnya, pengangguran makin marak dan tidak bisa dicegah oleh negara.

Selain itu, dalam sistem ekonomi kapitalisme uang dianggap sebagai komoditas. Hal ini memunculkan aktivitas ekonomi nonriil, seperti bursa efek dan saham, perbankan ribawi, maupun asuransi. Selain hanya memperkaya pemilik modal, aktivitas ekonomi nonriil ini juga tidak menciptakan lapangan pekerjaan secara nyata. Sektor ekonomi riil seperti pertanian, perikanan, dan industri berat yang berpotensi menyerap banyak tenaga kerja akhirnya dipandang sebelah mata. Akibatnya lapangan kerja bagi masyarakat makin terimpit. 

Sempitnya pasar kerja hingga tingginya angka pengangguran sejatinya sedang menunjukkan bahwa pemerintah telah gagal dalam menciptakan lapangan kerja bagi rakyatnya. Kondisi ini pun sekaligus mengonfirmasi gagalnya pemerintah dalam menyejahterakan rakyatnya.

Inilah akibat dari penerapan sistem ekonomi kapitalisme. Negara hanya bertugas sebagai regulator yang menjembatani masyarakat dengan pihak swasta. Itulah mengapa kebijakan yang pemerintah rumuskan selalu mengakomodasi kepentingan swasta.Oleh karenanya, selama industri dikendalikan swasta apalagi asing, maka lapangan pekerjaan tidak akan terbuka lebar bagi rakyat lokal. 

Islam Membuka Lebar Lapangan Kerja

Dalam Islam, penguasa diwajibkan mengurus urusan rakyat dengan sempurna. Penguasa dalam Islam berperan sebagai pelayan dan pengurus rakyatnya. Negara bertanggung jawab mewujudkan kemaslahatan rakyat dan memberikan pelayanan. Untuk itu, semaksimal mungkin negara akan menyediakan infrastruktur pendukung, menyiapkan SDM andal, dan merekrut tenaga kerja (ajir) melalui pembukaan lapangan kerja yang membantu pemerintah dalam menjalankan amanahnya.

Salah satu mekanisme untuk memenuhi kebutuhan hidup adalah dengan bekerja. Dengan begitu, negara berperan penting untuk membuka lapangan kerja, terutama bagi para ayah/wali yang mengemban kewajiban dari Allah Swt untuk mencari nafkah.
Pada tataran ini, negara juga akan mengedukasi dan memotivasi para ayah/wali itu untuk memaksimalkan upaya dalam memenuhi kewajiban atas nafkah tersebut. Jadi jelas, penyelesaian benang kusut ketenagakerjaan pada dasarnya bertumpu pada upaya pemenuhan kebutuhan hidup serta upaya meningkatkan kesejahteraan hidup.

Negara bertanggung jawab membuka lapangan kerja untuk menunaikan amanah sebagai pengurus rakyatnya. Selain membuka lapangan kerja, negara dapat memberi modal kepada para ayah/wali itu untuk mengembangkan usaha dalam rangka meningkatkan taraf hidupnya.

Inilah mekanisme sistemis sebagai wujud relasi antara rakyat dan negara. Relasi ini akan menstimulasi produktivitas negara untuk mengelola SDA maupun aset negara, yang notabene akan membuka banyak lapangan kerja. Dalam pengelolaan SDA sendiri, negara tidak boleh menyerahkan pengelolaannya kepada pihak swasta maupun asing. Tetapi negara sendiri yang mengelola SDA tersebut. Sehingga hal ini menghindari intervensi swasta maupun asing dalam membuka lapangan kerja. 

Kemudian, adanya SDM dengan skill (keahlian, keterampilan) yang negara butuhkan tentu melalui proses yang tidak bisa instan. Di sinilah peran negara untuk mempersiapkan SDM. Hal itu bisa negara lakukan melalui pendidikan formal seperti mendirikan sekolah maupun pendidikan tinggi dengan berbagai jurusan. Juga berupa pelatihan, pembekalan skill, maupun program belajar dari negara lain. Ini sebagaimana yang pernah Rasulullah saw. lakukan saat mengutus beberapa sahabat untuk mempelajari teknologi perang di Yaman.

Di sisi lain, dalam kebijakan sosial yang berhubungan dengan pengangguran, Islam tidak mewajibkan perempuan untuk bekerja sehingga kondisi ini akan menghilangkan persaingan tenaga kerja perempuan dan laki-laki.
Begitulah mekanisme Islam dalam menciptakan lapangan pekerjaan secara adil. Sistem ini akan terwujud jika Islam diterapkan secara menyeluruh oleh negara. 

Wallahua'lam Bishowab
Bagikan:
KOMENTAR