Melerai Jadi Malapetaka: Kadus Padang Sakti Babak Belur Diseret Massa Gegara Dugaan Khalwat Prematur!


author photo

5 Jul 2025 - 11.43 WIB



Lhokseumawe — Ironi hukum dan moral kembali dipertontonkan di Kota Lhokseumawe. Seorang kepala dusun (Kadus) bernama Jalaluddin (32) menjadi korban kebiadaban sekelompok warga di Gampong Padang Sakti, Kecamatan Muara Satu, hanya karena mencoba mencegah kekerasan. Aksi brutal ini dipicu oleh dugaan khalwat yang bahkan belum terbukti sahih, Sabtu (5 Juli 2026).

Insiden terjadi pada Rabu dini hari, 1 Juli 2025, sekitar pukul 03.00 WIB. Sejumlah warga histeris setelah memergoki sepasang muda-mudi berinisial AN dan DN yang hanya kedapatan duduk berduaan tanpa ada bukti pelanggaran nyata. Meski belum ada kepastian hukum, warga dengan semangat vigilante langsung menggiring keduanya ke meunasah untuk diadili secara adat — langkah yang terkesan lebih reaktif ketimbang rasional.

Ketika pasangan tersebut hendak diamankan oleh Satpol PP dan Wilayatul Hisbah (WH), suasana berubah liar. Wanita berinisial AN sempat ditarik paksa dari mobil petugas dan hendak dilempar ke dalam parit, hingga terjadi kekacauan. Di tengah amuk massa yang kehilangan akal, Kadus Jalaluddin datang mencoba menenangkan situasi. Alih-alih dihormati sebagai penengah, ia justru menjadi target kemarahan. Sekitar enam hingga tujuh warga, beberapa bersenjata tajam, mengeroyok sang kadus hingga babak belur.

Tak puas sampai di situ, massa beringas bahkan mendobrak kantor geuchik tempat korban berusaha berlindung. Jalaluddin kemudian dilarikan ke RS Arun dengan luka serius. Peristiwa ini menjadi bukti nyata kegagalan masyarakat membedakan antara amar ma’ruf dan aksi barbar.

Aparat Terkesan Lemah, Hukum Diremehkan

Kapolres Lhokseumawe, AKBP Dr. Ahzan, melalui Kapolsek Muara Satu Iptu Sadli menyatakan bahwa pihaknya telah menerima laporan dan mulai melakukan penyelidikan. Namun publik bertanya: di mana negara saat aparat desa dikeroyok? Kenapa massa bisa begitu percaya diri menyerang seorang pejabat desa di depan kantor resmi pemerintahan?

Camat Muara Satu, Taruna, ikut angkat suara. Ia meminta warga tidak main hakim sendiri dan menyayangkan tindakan brutal terhadap aparat. Tapi imbauan seperti ini terdengar klise, apalagi jika tidak disertai tindakan tegas terhadap pelaku.

Kepala Satpol PP WH, Ashabul Jamil alias Mimi, malah mengaku tidak tahu ada insiden pengeroyokan pasca penjemputan. Sebuah pengakuan jujur yang justru menelanjangi lemahnya koordinasi aparat dalam menangani situasi rawan konflik sosial.

Tanggung Jawab Siapa?

PJ Geuchik Gampong Padang Sakti, Samsul Bahri, mengecam keras insiden ini dan menuntut proses hukum. Namun pernyataan ini seperti menepuk air di dulang. Jika aparat gampong sendiri tak bisa menjamin keselamatan anggotanya, bagaimana bisa menjamin keamanan warganya?

Kasus ini menjadi cermin buram bagi wajah penegakan hukum dan tata kelola sosial di Lhokseumawe. Dugaan khalwat yang belum pasti malah berbuntut pada tindakan tidak beradab terhadap aparat negara. Apakah kita sedang hidup di negara hukum atau zona bebas etika?

Pesan untuk Warga dan Pemerintah

Khalwat yang belum sahih bukan alasan untuk melegalkan kekerasan. Jika aparat yang beritikad baik untuk meredam emosi massa saja bisa dianiaya tanpa ampun, maka siapa pun bisa menjadi korban berikutnya.

Warga Gampong Padang Sakti perlu diingatkan: hukum adat tidak boleh melampaui batas kemanusiaan. Dan pemerintah  jika masih ada nyali  harus memastikan para pelaku pengeroyokan dijerat hukum seberat-beratnya. Jika tidak, ini akan jadi preseden buruk: bahwa kekerasan bisa menang atas hukum, dan niat baik bisa berujung darah.(**)
Bagikan:
KOMENTAR