Objektivitas Media Modern : Berita Edukasi atau Penggiringan Opini?


author photo

1 Jul 2025 - 08.13 WIB


Oleh : Nur Miftahul Jannah Nasrah
(Pemerhati Masalah Ibu dan Generasi)

Bupati Penajam Paser Utara (PPU) Mudyat Noor menegaskan pentingnya peran media siber dalam mendukung pembangunan daerah. Hal itu disampaikan saat menerima audiensi Ketua Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) Kalimantan Timur (Kaltim) Mohammad Sukri beserta ketua dan pengurus JMSI di daerah Balikpapan,  PPU dan Kutai Kartanegara (Kukar). Menurut Mudyat Noor, media bukan hanya penyampai informasi, tetapi juga mitra strategis pemerintah dalam menyuarakan program secara berimbang dan konstruktif. Baginya, pertemuan ini menjadi langkah awal membangun sinergi yang lebih kuat antara pemerintah daerah dan media siber.
 (kotaku.co.id, 15/05/2025)

Media massa sejatinya memiliki fungsi fundamental dalam kehidupan bermasyarakat, yaitu sebagai sarana edukasi yang dapat mencerdaskan publik. Melalui penyampaian informasi yang akurat, berimbang, dan mendidik, media seharusnya menjadi jembatan antara masyarakat dengan realitas sosial, ekonomi, dan politik yang terjadi di sekitarnya. Dengan demikian, masyarakat dapat memahami isu-isu penting yang berdampak pada kehidupan mereka serta mampu memberikan respons yang kritis dan konstruktif terhadap kebijakan-kebijakan yang diambil oleh para pemegang kekuasaan.

Sayangnya, dalam sistem kapitalisme sekuler yang kita anut hari ini, fungsi luhur media tersebut kerap tereduksi menjadi alat pencitraan. Alih-alih mencerdaskan, media justru sering kali membingkai realitas sesuai kepentingan elite politik dan pemilik modal. 

Dalam banyak kasus, informasi yang disampaikan kepada masyarakat cenderung bias, tidak utuh, bahkan dimanipulasi untuk membentuk opini publik sesuai kepentingan kelompok tertentu. Kritik dan suara-suara yang berseberangan seringkali disingkirkan atau dilemahkan, sehingga masyarakat tidak memperoleh gambaran yang utuh mengenai situasi yang sebenarnya.

Fenomena populisme otoritarian turut memperparah keadaan. Pemerintah dengan gaya populis kerap membungkus kebijakan otoriter dalam retorika yang memikat hati rakyat, seolah-olah berpihak kepada mereka. Media berperan besar dalam memperkuat narasi ini, menciptakan ilusi bahwa segala kebijakan pemerintah merupakan bentuk kepedulian terhadap rakyat, meskipun kenyataannya sering kali bertolak belakang. Hal ini menjadi bentuk pengelabuan terhadap masyarakat yang pada akhirnya membungkam kesadaran kritis mereka.

Salah satu contoh konkret yang dapat dilihat adalah bagaimana pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) baru di Kalimantan digambarkan sebagai proyek ambisius yang kerap dikemas sebagai simbol kemajuan, solusi desentralisasi, dan momentum kebangkitan ekonomi nasional. Proyek ini kerap digambarkan secara positif oleh media arus utama, seolah-olah membawa manfaat ekonomi yang besar bagi masyarakat lokal maupun nasional. 

Narasi yang dibangun pada media sangat menekankan pada kemajuan, modernitas, dan peningkatan kesejahteraan sebagai dampak dari pembangunan tersebut. Namun, jika ditelaah lebih dalam, terdapat berbagai persoalan mendasar yang luput dari pemberitaan media.

Dari segi pendanaan, pembangunan IKN menghadapi berbagai tantangan, termasuk belum jelasnya komitmen investasi jangka panjang. Sebagian besar anggaran masih mengandalkan dana negara yang seharusnya bisa dialokasikan untuk menyelesaikan masalah-masalah dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan pengentasan kemiskinan.

Sementara itu, masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan pembangunan IKN belum sepenuhnya merasakan manfaat dari proyek ini. Masyarakat lokal yang berada di sekitar kawasan proyek pun justru masih berjibaku dengan kemiskinan, keterbatasan akses, dan ketimpangan sosial yang mengakar. Aspirasi mereka kerap diabaikan dalam proses pembangunan yang elitis dan top-down. Janji-janji kesejahteraan yang digaungkan belum menjelma menjadi kenyataan, dan pembangunan justru dikhawatirkan memperparah marginalisasi masyarakat lokal. Narasi media yang berkembang lebih banyak bersifat kosmetik daripada substansial.

Dalam Islam, terdapat lembaga khusus yang menangani urusan penerangan atau media informasi. Penerangan merupakan kegiatan yang memiliki peran penting dalam mendukung dakwah serta urusan kenegaraan. Lembaga ini tidak termasuk dalam departemen yang secara langsung menangani kepentingan masyarakat, namun berada di bawah wewenang langsung pimpinan tertinggi negara dan bersifat independen. Kedudukannya sejajar dengan lembaga-lembaga lain dalam struktur pemerintahan.

Dalam kitab Struktur Daulah Islam karya Taqiyuddin an-Nabhani (hlm. 248), dijelaskan bahwa strategi informasi yang disusun dengan jelas, disampaikan secara kuat, dan membekas dalam penyampaiannya mampu menggerakkan akal manusia untuk mengarahkan pandangannya kepada Islam, serta mendorong mereka untuk memahami dan mendalami ajarannya secara menyeluruh. Pendekatan ini juga mempermudah upaya penyatuan wilayah-wilayah Muslim ke dalam satu kesatuan negara. Terlebih lagi, banyak informasi penting yang berkaitan erat dengan urusan kenegaraan, terutama dalam bidang keamanan dan strategi, sehingga penyebarannya harus mendapat izin dari pemimpin tertinggi negara.

Pembangunan ibu kota dalam Islam dilandaskan pada prinsip kemaslahatan masyarakat, kecukupan dana serta pemilihan lokasi yang strategis. Ibu kota bukan sekadar pusat pemerintahan, tetapi juga pusat dakwah, peradaban, dan pengambilan keputusan. Pemilihannya mempertimbangkan aksesibilitas, keamanan, serta dukungan terhadap aktivitas sosial, ekonomi, dan pertahanan negara. 

Pada masa Khalifah Umar bin Khattab saat mendirikan Kufah dan Basrah, lokasi dipilih secara strategis dan dana pembangunan diambil dari Baitul Mal, tanpa membebani rakyat. Dengan demikian, pembangunan ibu kota dalam Islam mencerminkan keadilan, efisiensi, dan kesejahteraan bersama. Wallahualam bissawab
Bagikan:
KOMENTAR